Monday, October 1, 2012

Tanpa Titik

Berdebar kutatap smartphone-ku. Baru saja icon burung biru muncul di layarnya. Ah, semoga mention darimu, atau bahkan mungkin Direct Message. Ah, benar, kan?! Sebuah direct message. Darimu.
@diza_fauzi
Hai, Rama! Aku suka banget tulisanmu di kumpulan cerpen Pelangi Tanpa Hujan!
Nanti ajarin aku nulis cerpen, ya!
Jemariku tak kuasa meluapkan keriaan yang kurasa. Ia segera meliukkan diri, menarikan balasanku kepadamu.
@_ramaditya
Hai, Diza! Aku juga suka tulisan-tulisan di blogmu lho! Kapan-kapan nulis bareng, yuk?
Keakraban di-direct message tak lama dilanjutkan bertukar nomor telepon dan pin blackberry. Namun, kamu seharusnya tahu, yang kuberikan saat itu tak hanya sekedar angka-angka, ada getar bernama suka yang kukirimkan bersamanya.
***
Akitivitas bertukar cerita denganmu mengalir begitu saja. Selamat pagi, siang dan malam darimu menghiasi layar smartphone-ku setiap harinya. Akupun tak ketinggalan menghujanimu dengan syair-syair manis yang tak jarang kaubalas dengan lebih puitis. Atau sekedar cerita-cerita ringan tentang hari-hari yang berjalan; tentang kamu yang berhasil mencabut gigi geraham belakang pasienmu, tentangku yang ditugaskan menjadi delegasi Indonesia di salah satu event internasional, juga tentang kekesalan kita pada atasan masing-masing yang kadang bersikap semaunya.
Bertukar kata di langit maya tak pernah menyurutkan ketertarikanku padamu. Namun, sesekali ada keinginanku untuk mengenali hadirmu dalam nyata. Dan Tuhan sepertinya mendengar permintaanku. Pagi itu, kamu memberi kabar tak terduga.
Diza Fauzi:
Rama, hari ini aku ke Bandung.
Ada seminar yang harus kuhadiri.
Setelahnya ketemuan, yuk?
Kubaca pesan di blackberry messenger darimu dengan setengah tak percaya. Kuiyakan tawaranmu dengan segera. Bagaimana tidak? Ini berarti kesempatan pertamaku bertemu denganmu dalam nyata, bukan hanya dalam kata. Setelahnya, aku disibukkan dengan aktivitas memilih-milih baju apa yang harus kukenakan, juga menentukan mau dibagaimanakan rambutku yang biasanya berantakan.
***
Di sebuah kafe di seberang masjid raya, akhirnya kukenali ragamu. Malam itu, dalam balutan kemeja batik dan rok selutut, kamu nampak memesona. Cantik. Bahkan lebih cantik dari avatar-avatarmu yang setiap kauganti selalu kusempatkan untuk kusimpan di dua tempat, memorismartphone dan pikiranku.
Selanjutnya kita duduk berseberangan di satu meja. Kamu hanya memesan salad dan jus buah segar. Sudah malam, katamu, tak ingin merusak tubuh yang sejak lama kaurawat agar sempurna. Lalu kita bertukar cerita. Kisah-kisahmu terdengar lebih menarik ketika terlontar dari mulut indahmu. Bahkan cerita-cerita lama yang pernah kaututurkan dengan jemari tak menjadi basi ketika kauperdengarkan lagi.
Dua setengah jam malam itu seolah berlari. Katamu, kau harus segera kembali ke hotel tempatmu menginap karena esok paginya masih ada seminar selanjutnya untu kauikuti. Dengan berat hati kuiyakan permintaanmu agar perjumpaan kita segera diakhiri. Kutawarkan diri untuk mengantarmu kembali. Kamu menolak. Tidak hanya membalasnya dengan berterima kasih, kamu juga menambahkan bahwa kekasihmu sedang dalam perjalanan untuk menjemputmu. Aku kemudian tergerus bisu.
Malam itu aku mengutuk diriku sendiri yang berharap terlalu tinggi, tanpa pernah mengetahui bahwa kamu sudah termiliki. Tetapi aku juga memakimu, untuk balasan-balasanmu atas usaha-usahaku mendekatkanmu kepadaku. Kuputuskan untuk menjauhkan diri darimu perlahan. Tak ada lagi pesan-pesan yang bersahutan, atau sekedar mention dan reply.
***
Sebuah pesan darimu membangunkanku suatu pagi.
Diza Fauzi:
Selamat pagi, Rama!
Kok akhir-akhir ngga pernah cerita lagi?
Ah, Diza, tak mengertikah kamu? Atau pura-pura tak mengerti? Kebetulan sekali, banyak hal yang ingin kutanyakan kepadamu sejak malam itu.
Ramaditya Segara:
Selamat pagi, Diza!
Masih mau memberiku harapan-harapan palsu?
Dua kalimat tersebut membuatmu membuka mata akan perasaanku kepadamu. Selanjutnya kamu meminta maaf kepadaku. Katamu, kau tak bermaksud memberiku harapan palsu. Saat itu, katamu kau sedang dalam masa-masa sulit dalam hubunganmu dengan Randu, kekasihmu. Lalu kautemukan nyaman dalam kedekatan yang kubawakan, jelasmu kemudian.
Ada perih yang kembali kurasakan saat kudengar apa yang kaujelaskan. Namun, entah mengapa kudapati pula hangat yang sempat hilang ketika kamu kujauhkan.
***
Jika perih adalah air mata,
maka mencintaimu adalah genangannya atas luka.
Tapi jangan tanya,
mengapa aku masih saja berenang di kedalamannya.
Tahukah kamu, Diza, sejak malam dimana duniaku kaujungkir-balikkan, aku selalu berandai-andai, jika saja waktu itu aku tak membalas direct message-mu, mungkin aku tak akan merasa sesakit sekarang.
Selain itu, hal lain yang kubenci dari takdir yang mempertemukanku denganmu adalah diriku sendiri, yang lemah pada permintaan-permintaanmu kepadaku untuk menemanimu setiap kauingin menumpahkan keluh kesahmu tentang kekasihmu.
Ah, tapi sudahlah Diza, setidaknya mencintaimu mengajariku kesabaran. Kesabaranku menunggumu meninggalkan kekasihmu. Dan karena mengenalmu pun aku mengerti, bahwa dari sekian banyak kisah yang kuceritakan, hanya kisah tentang mencintaimulah yang ingin kutuliskan tanpa titik.
“Meski kau terus sakiti aku,
cinta ini akan selalu memaafkan.
Dan aku percaya nanti engkau
mengerti bila cintaku takkan mati.”
*) Diinspirasi dari lagu Bertahan - Rama
Ditulis oleh @__adityan dalam http://deetzy.tumblr.com

Hati

Aku duduk menangis dalam diam. Tak pernah aku merasa sekacau ini selama tiga puluh dua tahun hidupku.
Ruangan ini terasa begitu sempit dan menghimpit. Aku beranjak dari tepian tempat tidur menuju ke luar—ruang persegi panjang yang salah satu sisinya berhias sebuah piano. Mataku tertuju pada pigura besar yang menggantung manis di dinding, di atas piano tersebut. Pigura itu diisi dengan karya terbaik yang diambil oleh fotografer pernikahan kami. Mas Asa terlihat sangat tampan dan bahagia. Sebahagia aku, tentu saja.
Aku berdiri terpaku di depan pigura emas itu. Kemudian, tanpa kupanggil, kilasan kata-kata dokter tadi siang muncul kembali.

“Hasil lab sudah keluar…”
“Anda didiagnosa menderita…”
“Rata-rata tidak lama…”

Kubuka pelindung yang menutupi tuts piano, lalu aku duduk di kursinya. Ingin sekali kumainkan lagu sedih yang mungkin dapat mewakili perasaanku yang kini bernada minor. Seandainya aku bisa. Selama ini yang kubisa hanyalah menikmati permainan piano Mas Asa yang mengiringi melodi yang dilantunkan suaranya yang luar biasa. Aku membayangkannya sedang menyanyikan lagu kesukaannya.

Dia indah..
Peretas gundah..
Dia yang selama ini kunanti..
Pembawa sejuk..
Pemanja rasa..
Dia yang selalu ada untukku..

Mendadak hatiku seperti dihujam ratusan anak panah. Ya, hatiku yang dinyatakan tercemar kanker ganas itu.

***

Kondisi Padma semakin lemah. Berminggu-minggu proses kemoterapi dijalaninya, namun saya tak melihat perkembangannya.

Saya terbiasa membelai rambut istri saya setiap malam sebelum tidur, tapi kini hampir tak ada rambut yang bisa saya belai. Semua direnggut oleh penyakitnya yang entah dari mana sumbernya. Bagaimana bisa Tuhan tega menciptakan seorang wanita rupawan yang dibekali sebuah hati yang lembut sekaligus tertanami kanker?

Empat tahun kami menikah, tanpa dikaruniai anak, tapi hati istri saya tak lantas jadi resah. Ia justru menguatkan saya, menjadi teman bagi saya yang sangat kalut ketika divonis mandul oleh dokter. Padma dengan hatinya yang tulus tak menuntut haknya untuk menjadi seorang ibu. Ia menjalankan kewajibannya sebagai istri tanpa mengeluh.

Kepada saya dokter pernah mengatakan, bahwa hidup istri saya tak akan lama. Kankernya sudah terlalu parah. Hatinya sudah rusak. Ironis. Hatinya begitu terjaga, tapi rusak.
Yang bisa saya lakukan hanyalah menguatkannya. Saya tak tahu pasti seberapa sakit proses kemoterapi yang ia jalani. Saya benar-benar awam atas seberapa kuat ia setiap hari. Saya tak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya menjalani setiap sisa detik yang ia punya.
Saya terus mengumbar harapan. Saya memberinya harapan untuk tetap bertahan, dengan saya ada di sisinya. Saya ingin menghidupkan kembali semangatnya dan menjaga agar senyumnya tetap mengembang. Karena itu, saya menghujaninya dengan berbagai janji, antara lain jika ia sembuh nanti, saya akan mengajaknya umroh ke tanah suci, mengunjungi pedesaan yang dilingkung sawah dan tanaman-tanaman yang sangat ia suka, membuat syukuran lima tahun pernikahan kami bersama anak-anak di panti asuhan.
Saya menjanjikan apapun yang terpikirkan, asalkan semangat hidupnya tetap tumbuh dan menguat. Saya ingin ia tahu, bahwa ia selalu memiliki saya yang bisa ia andalkan, dan saya juga memberitahunya bahwa saya merasa bisa mengandalkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, untuk bertahan.

***

Untuk ukuran seorang wanita seusiaku yang seharusnya masih terhitung produktif, aku sungguh tak berguna. Aku tak lagi mampu menata apartemen yang tak seberapa luas ini.
Aku sadar betul bahwa ini tak akan lama. Kondisiku yang semakin hari semakin melemah kini memaksaku untuk duduk di atas kursi roda. Meskipun masih bisa berdiri, tapi gerakku tak lagi semulus dulu. Aku mulai kesulitan buang air sendiri. Mas Asa seringkali tak berangkat ke kantor, hanya untuk menemaniku. Hanya Mas Asa yang aku punya sejak ibuku meninggal dua tahun lalu menyusul ayahku yang sudah lebih dulu pergi saat aku kecil.

Hari ini, aku memberanikan diri bertanya pada suamiku, “Mas, apakah aku menyusahkan hidupmu?”

Mas Asa menatap mataku dalam-dalam. Ia berpikir sejenak, lalu menghembuskan napas berat. Ia membuka mulutnya lalu menjawab.

“Iya, Dek, kamu menyusahkan hidup Mas.”

Aku tercekat seketika. Aku terdiam beberapa detik, berharap akan ada tawa canda yang mengoreksi pernyataannya barusan.

Nihil.

Hatiku mencelos. Aku tidak siap dengan jawaban yang seperti itu. Aku menyiapkan diriku untuk mendengarnya menjawab sebaliknya. Aku menyiapkan hatiku yang sudah morat-marit ini untuk diperban oleh kata-kata manisnya di masa-masa kritisku, dan bukan makin dihancurkan begini.

“Mas akan jadi pendusta paling hebat jika Mas mengaku tidak kesusahan merawatmu, Dek. Itu artinya Mas akan membohongi diri sendiri, dan membohongimu. Dan Mas tidak sanggup berbohong pada orang yang Mas cintai.”

Aku bergeming. Aku masih sulit menemukan ekspresi yang tepat untuk merespon kata-kata Mas Asa.

Mas Asa meraih tanganku, lalu menggenggamnya erat. “Tidak sedetikpun Mas menyesal disusahkan olehmu, Dek. Mas justru menghargai setiap momen susah ini. Mas mencintaimu bukan hanya saat kita sama-sama sehat, tapi juga dalam kondisi seperti ini.”

Kutatap matanya lekat-lekat, sangat terpancar kehangatan dari dalam sana. Aku meresapi kejujurannya yang ternyata tak menyakitkan.

Kejujuran ini nyatanya lebih menyenangkan dibanding semua harapan-harapan yang Mas Asa utarakan belakangan ini, yang hanya dapat kutanggapi dengan anggukan dan senyuman. Ia ingin aku lekas sehat, untuk kemudian bersamanya menikmati hal-hal indah di dunia. Tapi aku lebih dari sekedar tahu—aku sadar betul, semua itu hanyalah harapan palsu. Dan aku juga sadar betul, bahwa yang nyata hanyalah ketulusan Mas Asa dalam mencintaiku.

Hari ini aku seperti mengalami titik balik. Aku seperti kembali ke masa pertama kali jatuh cinta pada suamiku, enam tahun yang lalu.

***

Saya melepasmu, Padma. Saya relakan kepergianmu hari ini. Terima kasih untuk perjuanganmu bertahan selama delapan bulan ini. Terima kasih, kamu telah menjadi teman hidup saya yang terbaik. Pada kenyataannya, kita tak bisa menghadapi dunia bersama-sama lagi, namun saya tahu persis, bahwa kamu selalu ada di dunia saya. Saya mencintai kamu—jiwa yang selalu saya puja.


*) Diinspirasi oleh lagu Tulus — Teman Hidup

Ditulis oleh @_fikan dalam http://thankthinkthunk.wordpress.com

Taman Gelap


Ada yang sedang jatuh dalam keheningan paginya, ketika ia selalu memikirkanmu. Ada yang sedang runtuh dalam rasa rindunya, ketika ia sedang mengingatmu. 

Selalu dan harus seperti ini, namun juga tak pernah terbalas. Kekosongan yang kosong, telah kau isi dengan kesongan pula.

Aku masih ingat, katamu kita akan pergi untuk melihat taman yang indah, dan bunga-bunga yang tumbuh.

Katamu, kita akan melihat pelangi yang lengkung sejuta warna.

Katamu, kita akan melihat kupu-kupu dengan sayap indahnya.

Katamu, kita akan rasakan sejuk yang menyenangkan.

Katamu, kita akan rasakan damai yang menenangkan.

Sedemikian surga kau lukis harapan untukku, segala hal terlihat nyata dalam benak. sehingga ku percaya pada bisik manismu.

Namun taman ini gelap, lampu tak bercahaya.

Namun taman ini gelap, wangi tak berbunga.

Taman gelap, bangku-bangku kesepian.

Oh taman ini sungguh gelap, hitam terlalu pekat.

Terimakasih untuk semua harapan yang indah. namun hanya sekedar kisah. tak pernah terjadi dalam kehidupan. ini hanya mimpi, bermimpi di taman gelap.


*) Diinspirasi dari lagu  The Moon - Embun

Ditulis oleh @vickryramadhani dalam http://vickryramadhani.tumblr.com

See you later? It’s a Goodbye!


Kamulah pemilik hati yang lembut dan senyum mempesona itu
Menawan hati sejak kali bertemu
Aku memberanikan diri menyalamimu
Meminta ijin untuk menyelamimu
Anggukanmu pertanda setuju
Senyummu melelehkanku

Seiring waktu aku semakin jatuh
Senyummu menyelamatkan rapuh
Mauku tak pernah membuatmu mengaduh
Semakin dalamlah aku jatuh
Aku bukan lagi belia
Aku minta kau melingkarkan janji untuk menjadi kita
Senyummu meng-aduhkanku—apa maksudnya?
Kamu bilang iya. Segera kamu dan aku akan menjadi kita

***

Kamu hilang!
Sudah dua hari sejak bertemu saat senggang
Mungkin dia pergi untuk membuat kejutan
Mungkin pergi untuk membeli emas berbentuk lingkaran

***

Sudah dua bulan kamu tak ada kabarnya
Kontakpun yang aktif sudah tiada
Sampai kucoba searching di sosial media
Dan menemukan namamu dengan update baru saja
Bertuliskan ‘in relationship with xxxx’ pelan aku berkata, dasar buaya!


*Diinspirasi dari Lagu Amazing In Bed – The Day You Cheated

Ditulis oleh @yulysafar dalam http://pecandurindu.wordpress.com

Menghilanglah Lagi


Bahkan siluetnya pun masih aku kenali dengan baik. Apalagi punggung tegaknya, sepasang lengan kokoh yang... ah... sudahlah. Aku tak perlu memastikan wajah pemilik siluet itu. Aku sangat yakin. Bahwa itulah dirinya. Ia yang masih mengisi desakan-desakan rindu. Rindu yang bertuan namun tak mungkin aku kirimkan.

Kamala menghela nafas panjang. Jemarinya ia genggam sendiri. Menahan getar yang entah sudah ia tahan berapa ratus detik. Kali ini ia menyelesaikan tegukan terakhirnya, dari gelas ke dua air mineral yang sengaja ia ambil di meja prasmanan.

Anggita datang menghampiri. Kamala tampak kikuk, kemudian melukis senyum yang diusahakannya menjadi senyum terbaiknya malam itu.
"Kamu kenapa, Kamala? Ayolah bergabung dengan yang lain. Katamu kamu ingin bertemu dengan orang baru, yang mungkin saja berjodoh denganmu". Anggita menarik lengan Kamala. Kamala menyambutnya dengan malas dan sedikit menahan.

Ini reuni. Artinya kita bisa bertemu dengan masa lalu. Bukan jebakan, ini kenyataan. Mungkin, akan menguji kejujuran dan kekuatan hati mengahadapi apapun.

Kamala, berdiri diantara kerumunan teman-teman SMA-nya. Mereka tertawa, mengenang semua yang terjadi di masa lalu. Kamala, beradu dengan dirinya sendiri. Berbicara dengan hatinya. Menuruti perasaannya yang katanya sudah pekat, bahkan memandang pun menyesak. Kamala tampak begitu mengatur segala sikapnya. Hingga mengatur jarak pandang kepada tamu-tamu yang hadir.

Namun, mungkin Tuhan yang telah menggerakkannya. Pandangan Kamala menumbuk satu wajah yang sejak tadi ia hindari. Pemilik wajah itupun tersenyum. Kamala membalas dengan malas. Kamala tak menampik, sebuah lengan lain menggamit lengan sang pemilik wajah. Seorang teman di jaman sekolahnya, yang tidak begitu ia kenal. Dan kenyataannya, Kamala justru mengenal baik sang pemilik wajah. Pemuda dengan sepasang lengan kokoh yang menjerat Kamala dalam sebuah ingatan.

"Nanti ada acara nemenin temen reunian"
Itu kalimat yang kemudian terngiang di kepala Kamala. Satu kaliamat diantara panjangnya pembicaraan dengan Rama di kotak chatting.

Bahkan Kamala pun tak sempat menduga bahwa ia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang Rama menjadi salah satu tamu dalam acara reuni sekolahnya.

Sungguh, tak ada yang tahu bahwa, Parama adalah teman dekat Kamala selama bertahun-tahun. Mereka jarang bertemu. Namun, dunia maya selalu menjadi ruang yang luas bagi pertemuan mereka.

"Sudahlah, kamu harus bisa mengurus dirimu sendiri, tanpa aku", kata Rama santai, menyudahi pembicaraannya dengan Kamala.
Kamala tetiba tersedak, nyaris makanan yang ada di dalam mulutnya bubar keluar, "Maksud kamu?"
"Kamu harus bisa mengurus impianmu sendiri", lanjut Parama.

Lihatlah Parama yang awalnya begitu sayang pada Kamala, kini memilih pergi darinya. Ia adalah penyokong semangat terbesar untuk Kamala selama ini. Teman brain storming yang sangat bijaksana dalam penyelesaian naskah novel-novelnya. Sekarang tak ada lagi. Ia pergi. Bukan sekadar menjauh, bahkan menghilang.

Dari semua akun sosial medianya pun, Rama tak bisa ditemui. Kamala menyerah. Percuma saja menantikan sesuatu yang sudah tak mungkin ia raih. Parama sudah bahagia dengan hiupnya. Mungkin. Begitupun Kamala, jalan hidupnya masih panjang.

Hingga malam itu, Kamala tak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Sebuah email dengan pengirim Parama ia terima. Rama menyapa, bercerita, seakan tak pernah ada luka diantara mereka. Entah bagaimana, Kamala larut dalam keterkejutannya dan terus menyelam dengan segala pertanyaan, kabar dan segala kisah Parama.

Seperti ingin membayar kesalahannya, Parama memperbaiki hubungannya dengan Kamala.

"Mungkin aku salah besar padamu. Semoga masih ada kesempatan untuk mengembalikan niat baikku", kata Rama malam itu.

Kamala, memang tak lagi berharap besar kepada pemuda yang sekarang ada di hadapannya. Ia masih takut sakit itu menyapa lagi. Kamala hanya tersenyum.

"Terserahlah dengan niat baikmu yang seperti apa. Aku tak lagi berani jatuh cinta kepada yang belum muhrimku". Seakan ada yang mendikte Kamala menimpali Parama.

Bukannya mudah Kamala berhadapan kembali dengan Parama. Ia berusaha kuat membatasi segala perasaannya kepada Parama. Ia tak mau jatuh di lubang yang sama, sekali lagi. Kamala mencoba berfikir lebih positif dan percaya kepada Parama meski tak sepenuhnya.

Sayangnya, acara reuni itu justru menghunus jantungnya sekali lagi. Dari sekian cerita Parama yang menyebut dirinya masih juga sendiri, Kamala justru menyaksikan kenyataan lain. Kamala tak marah kalaupun Parama pergi dengan siapa saja. Tapi, semua temannya pun tahu bahwa Parama adalah kekasih perempuan yang ia lihat menggamit lengan Parama.

Ada dendam apa kau padaku, Rama? Sampai di titik mana kau akan mengakhiri semua ini?
Aku tak pernah tak rela kamu bahagia. Dengan siapapun. Dengan cara apapun.
Tolong jangan sekat satu takdir terbaikku hanya dengan prasang-prasangka burukku padamu.
Jika luka yang pernah kusemat di jantungmu tak lagi bisa sembuh, kau boleh benci aku dengan caramu. Namun tidak dengan menyiksaku, membunuhku perlahan, tapi pasti.
Parama, Tuhan Maha Melindungi. Aku... dan juga kamu. Bertemanlah dengan-Nya. Agar ada cara yang lebih baik untuk menyelsaikan semuanya.

Kamala menekan tombol "send". Email untuk Parama telah terkirim. Namun entahlah, kapan terbaca oleh Parama. Atau bahkan justru Parama memilih untuk tak membacanya. Kamala membiarkan pikiran itu menghilang. Meski pelan tapi pasti. Kamala memilih lupa. Membiarkan gemuruh langit melumat segalanya. Membiarkan hujan mengguyur tubuhnya senja kali ini. Tanpa jingga.


*) Diinspirasi dari lagu Tahu Diri - Maudy Ayunda

 Ditulis oleh @wulanparker dalam http://lunastory.blogspot.com

Mendadak Buta


Kejadiannya dua tahun lalu, dua hari selepas Idul Fitri. Saya ditinggal di rumah berdua dengan Ayah, karena Ibu sedang pergi piknik bersama teman-temannya. Pagi itu saya yang masih tertidur pulas dikejutkan dengan teriakan Ayah dari kamar. Dengan kesadaran yang kurang dari setengahnya, saya tergopoh-gopoh pergi ke kamar beliau dan menemukannya terduduk di atas ranjang dengan pandangan kosong.

“Gak bisa ngeliat!” rengek Ayah.

Saya langsung melambaikan tangan di depan kedua matanya. Tak ada pergerakan dari bola matanya. Panik!

“Ya sudah, Ayah tiduran dulu, saya carikan pemecahannya.” Entah apa itu pemecahannya. Saya bukan dokter dan tak punya pengetahuan apapun mengenai penanganan orang yang mendadak kehilangan penglihatan.

Telepon Ibu! Yak, itu mungkin yang ada di pikiran orang-orang kebanyakan. Saya tak mau mengganggu kesenangan Ibu yang jarang sekali bepergian ke luar semenjak Ayah sakit.

Saya pun memilih untuk pergi ke rumah mendiang nenek, cuma berjarak satu rumah dari rumah kami. Nenek dan sepupu saya mengatakan, penyakit Ayah karena gula darah yang tinggi, pandangannya buram. Ada benarnya, karena Ayah pengidap diabetes.

***

Sepekan setelah kejadian itu, kadar gula darah Ayah sudah kembali normal menurut dokter, tapi Ayah masih tak bisa melihat. Aku dan Ibu membawa beliau ke Rumah Sakit khusus mata. Dokter spesialis mata mengatakan Ayah terkena glaukoma, penyakit yang menyerang mata dan belum ada obatnya secara medis.

Sedih rasanya mendengar berita itu, saya dan Ibu pasrah menerimanya. Berbeda dengan Ayah, beliau masih yakin bisa melihat! Ayah belum menerima kenyataan jika dirinya harus kelihatan penglihatan untuk selama-lamanya.

Berbagai terapi alternatif diminta oleh Ayah untuk didatangkan ke rumah. Ada yang tiap sekali datang sampai menghabiskan ratusan ribu rupiah, ada yang mengobatinya dengan cara meneteskan zat-zat yang entah apa namanya ke mata beliau, dan entah banyak lagi. Ayah hanya berharap, tapi mereka hanya bisa memberikan harapan palsu.

***

Sampai sekarang, Ayah masih saja berharap penglihatannya kembali pulih. Entah bagaimana lagi cara untuk membuatnya menerima keadaan yang menimpa pada diri beliau.

“No such thing as a man willing to be honest –that would be like a blind man willing to see.” 
- F. Scott Fitzgerald -


*) Diinspirasi dari lagu Everything I Cannot See - Charlotte Gainsbourg

Ditulis oleh @6issix dalam http://hidupbertiga.wordpress.com

Saranghae, Tsukiatte Kudasai (Vol. 7)


“Apa yang aku pikirkan hari itu, ketika seorang teman mengajakku untuk bertemu di salah satu kafe. Tidak lain adalah untuk mempertemukanku dengan seorang peramal tarot. Awalnya aku tidak setuju dengan ide gila itu. Lagi-lagi karena aku belum menemukan pasangan hingga saat ini. Mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.”

Hiro Takagawa, 27 tahun, Calon Dewan

“Bagaimana kalau tidak usah saja?” tawar Hiro pada temannya.

“Tapi aku memaksa. Satu kartu saja. Kamu sudah datang sejauh ini.” Sang peramal ambil berbicara.

“Aku ke sini bukan untuk diramal, hanya ingin bertemu dengan beberapa orang saja.”

“Mungkin termasuk aku?” peramal itu tidak menyerah.

“Oke. Kamu benar-benar memaksa!”

“Kamu memang orang yang harus dipaksa!” timpal teman Hiro.

Mereka duduk di kafe itu dengan tenang. Karena kartu-kartu tarot itu sebenarnya sedari tadi telah tersusun di atas meja dengan rapi sebelum Hiro menolak untuk bermain-main dengan satu di antaranya. Dan kini Hiro duduk berhadapan dengan semua kartu ‘aneh’ yang menyulitkan pikirannya. Iya, hanya satu kartu.

“Untuk asmara?” peramal itu menanyakan lagi.

“Untuk asmara.” Hiro memilih salah satu kartu tarot dengan ragu-ragu.

“Wheel Of Fortune. Roda keberuntungan.”

“Artinya?” teman Hiro yang justru menggebu-gebu.

“Jodohmu … selalu menjadi jodohmu. Di masa lalu, sesuatu yang belum selesai harus diselesaikan saat ini. Jodohmu.” Si peramal meraba-raba perkiraan yang dijelaskan oleh kartu tarotnya.

“Jadi, apakah teman saya ini mati bujang di masa lalu? Apakah begitu?” sambil tertawa teman Hiro meyakinkan.

“Aku sudah pernah menikah, aku hanya duda saat ini!” tentu saja Hiro kesal.

“Bukan seperti itu, tetapi ada yang tidak benar-benar kamu selesaikan di masa lalu.” Tambah si peramal.

“Apa?” teman Hiro menatap dalam, apa yang belum diselesaikan oleh teman ‘perfect’-nya satu ini? Semua sudah. Menikah dengan artis cantik, sudah. Meskipun kemudian istrinya meninggal. Menjadi anggota dewan, juga sedang proses saja. Lalu apa yang belum selesai di masa lalu?

“Jangan tanya aku, aku juga tidak tahu. Bullshit dengan semua ini. Aku pergi! Terima kasih atas kartunya. Dewi keberuntungan selalu memihakku.” Hiro beranjak dari kursinya.

“Atau tidak juga?” tambahnya lagi ketika melihat hujan di luar kafe. Kapan hujan ini turun? Ia bahkan lupa menyiapkan payung seperti yang biasa Hiro lakukan di negaranya, Jepang. Hujan di Korea tidak bisa ia duga.

Dengan memeluk tas laptopnya, ia berlari ke pusat perbelanjaan. Ia butuh untuk membeli sebuah payung di sana. Sebuah pusat perbelanjaan yang letaknya berseberangan dengan kafe tempatnya berdiri. 1 … 2 … 3 … lari. Hiro berlari sambil merunduk. Tanpa sadar ia bertabrakan dengan seorang gadis. Gadis itu jatuh terhuyung. Hiro tidak mungkin untuk membiarkan laptopnya kebasahan. Sesegera mungkin ia bernaung. Ia tahu gadis itu pasti sangat kesal. Namun ia berpikiran lain. Hiro segera memasuki market dan membeli 2 payung, 2 handuk kecil, dan 2 minuman hangat. Satu di antaranya untuk gadis itu. Mudah untuk menemukan gadis itu, di bajunya tertulis besar merek dagang yang ia sedang promosikan.

“Hah? Dia sudah bisa tersenyum.” Hiro melewatkannya saja. Ia melihat gadis itu dari kejauhan. Gadis itu berdiri dengan pakaian yang seksi dan tersenyum kepada semua pengunjung yang hilir mudik.

“Ah, lupakan. Aku hanya terlalu khawatir.” Hiro pun berlalu pergi.

***

“Lalu bagaimana dengan menemukanku lagi di Korea? Bukankah kamu kehilangan ingatan?”

“Ah, itu hal mudah. Kamu tahu suami Mae Ri?”

“Suami Mae Ri? Jangan bilang itu teman yang mempertemukanmu dengan peramal tarot?” tebak Davichi.

“Bukan. Dia bawahanku di perusahaan. Aku pemiliknya, setelah pihak Korea diakuisisi Jepang.”

“Hah?” Davichi tidak mengerti.

“Di hari pernikahan itu, aku tidak sengaja melihatmu. Aku takut bahwa aku salah. Selama 2 tahun ini ingatanku kembali. Aku mencarimu lagi. Sebelumnya aku hanya seperti bermimpi bertemu dengan seorang wanita dengan hanbok yang terus memegang tanganku dalam pandangannya. Aku tidak mengerti apa maksud dari mimpi itu. Ternyata setelah ingatanku pulih, aku pernah berpisah dengan seorang gadis cantik asal Korea di sini.”

“Beraninya kamu melupakan itu!” Davichi mengetuk kepala Hiro dengan kedua jarinya.

“Tapi kita sekarang bersama lagi. Aku bahagia.” Hiro tersenyum dan mengelus rambut Davichi yang ada dalam gulungan rambut khas wanita korea yang telah menikah atau disebut juga Eonjun Meori.

“Bagaimana dengan Karin?” Davichi masih cemburu.

“Hei, suami Karin itulah yang membawa peramal tarot itu. Kami memang dekat. Karena Karin telah menikah jauh sebelum kita bertemu 7 tahun lalu. Di antara teman-teman, hanya akulah yang jomblo. Makanya mereka repot-repot membawakan peramal. Ya, maksudku hanya aku yang duda. Kamu masih cemburu?”

“Iya. Cemburu.” Davichi mengerutkan bibirnya.

“Hahaha … tapi ke mana Eun Jo pergi?” Hiro mengingatkan lagi pada anak laki-laki usia 8,5 tahun itu.

“Mudah menemukannya, dia memakai hanbok di tengah Shibuya. Itu bukan pakaian anak normal. Itu dia.” Davichi menunjuk pada anak kecil yang berkejar-kejaran dengan anak seusianya, bermain bola di pinggir jalan kota yang lenggang.

“Saranghae …” ucap Hiro yang mengenakan kimono musim gugur. Membuat laki-laki itu terlihat lucu.

Berkalipun aku mengatakan hal yang sama. Aku tahu kamu juga akan menjawab dengan sebuah cinta. Aku ingin kita selalu bersama.

2012, Shibuya, Patung Hachiko.

Aku Nam Davichi, dia Hiro Takagawa. Kami telah menikah dan telah memiliki seorang putra bernama Eun Jo. Usianya 8,5 tahun ketika Miyoshi Nobuyoshi meninggalkannya. Im Soo-Yeon berjanji dalam hidupnya untuk membesarkan Eun Jo ketika pada hari berikutnya kakek meninggal dunia. Terlalu sedih hidup Eun Jo di Zaman Joseon. Meskipun kini Eun Jo telah kehilangan kedua orang tua kandungnya. Ia masih memiliki kami. Kedua orang tua yang selalu mencintainya.

“Kami bertemu lagi di sini, Hachiko.” Dalam hati Davichi mengucapkannya.

‘Semua kata cintamu bohong, air matamu juga bohong. Tapi jika semua itu bohong, mengapa aku kini tidak dapat hidup tanpa kebohonganmu? Ini begitu nyata. Hanya kata ‘aku pergi’-mu saja yang bohong.’



*) Diinspirasi dari lagu Don’t Leave – Davichi (track bonus)

Ditulis oleh @___eL dalam http://noteofme.wordpress.com

Saranghae, Tsukiatte Kudasai (Vol. 6)


Seoul, 2012

Kringgg, kringgg.

“Ya, hallo.”

“Eun Jo baik-baik saja.”

“Kami baru saja tiba di rumah. Jangan begitu khawatir. Kami baik-baik saja.”

“Bagaimana dengan pestanya?”

“Syukurlah.”

“Istirahatlah, aku juga lelah.”

“Annyeong Mae Ri.”

Beberapa menit kemudian,

Kringgg, kringgg.

“Aku tahu ada yang ingin kamu ceritakan, bicaralah!”

“Aku tahu, nada suaramu sejak tadi begitu lelah. Menahan tangis?”

“Suamiku sedang mandi.”

“Sabar, menangislah seperti itu.”

“Jadi, orang yang menolong Eun Jo adalah laki-laki yang kamu ceritakan itu. Bagaimana bisa?”

“Lalu?”

“Aku mengerti, ini sudah 7 tahun berlalu. Sabarlah, Davichi.”

“Juga bukan salahnya, juga bukan salahmu.”

“Besok aku akan menemanimu. Tidurlah! Kamu benar-benar lelah.”

***

Kemarin adalah hari yang melelahkan. Setumpuk hujan masih menggenang di sudut mata Davichi. Semalaman ia menangis sendiri. Davichi membutuhkan tempat untuk berpeluk dan menyandarkan segenap jiwanya yang rapuh. Masih adakah pintu di rumah mama, selama 7 tahun terakhir ini. Mama sudah menganggap Davichi sebagai orang lain. Masih mungkinkah Davichi untuk kembali.

Akhir dari 7 tahun ini, Mae Ri baru saja menikah dan meninggalkan kekosongan bagi Davichi. Betapa ia kehilangan sahabat yang selalu ada ketika ia menangis seperti ini. Kekosongan. Sebagian awal untuk hari-hari sepi yang harus Davichi lalui sendiri. Mae Ri tidak mungkin lagi ada semalam ini hanya untuk mendengarnya bercerita, menangis, atau sekedar mengatakan kata rindu, rindu untuk laki-laki itu. Hiro Takagawa.

Akhir dari 7 tahun yang lain, Eun Jo sudah beranjak dewasa. Davichi harus memikirkan kembali untuk membiayai keperluan anak satu-satunya ini. Davichi tidak mungkin terus bekerja sebagai kasir malam, juga kerja sambilan mengantar susu pagi. Eun Jo sudah mulai membutuhkan hal-hal di luar susu dan pakaian baru. Bagaimana semua ini, dengan 7 tahun itu. Apakah Davichi harus menyerah pada Eun Jo sekarang? Menyerah ketika semuanya seakan begitu nyata, ketika Davichi telah dipanggil sebagai ‘Ibu’ oleh Eun Jo.

Akhir dari 7 tahun yang sebenarnya, telah berakhir di rumah sakit. Davichi dalam kantuk memeluk Eun Jo yang tidur di pangkuannya samar-samar melihat sesosok wanita berwajah malaikat mengenakan pakaian putih yang panjang, ketika menunggu Hiro yang telah dipindahkan ke ruang ICU. Wanita bergaun itu tanpa sayap, hanya gincu merah mengkilat yang mencolok dari penampilannya. Ini tidak benar kan? Dia tidak akan membawa Hiro secepat itu. Wanita yang dengan rambut lurus terurai itu berlalu di hadapan Davichi. Suara langkahan sepatu yang terbuat dari kayu itu berbunyi membangunkan Eun Jo. Jelas Davichi ikut berdiri dan menyelipkan tubuh Eun Jo yang ketakutan di belakang tubuhnya.

“Aku ingin Hiro dipindah ke ruangan VVIP. Dia harus mendapatkan yang terbaik di rumah sakit ini”, wanita itu berbicara lantang di tengah kesunyian. Ia tidak sendiri. Beberapa perawat dan asistennya mengikuti. Dan ia hanya berdiri di depan pintu ruang ICU.

“Anda, siapa?” tanya Davichi dengan Bahasa Jepang yang dilatihnya, ia ingin tahu apakah wanita ini juga berasal dari negara yang sama dengan Hiro.

“Saya? Saya Karin Suzuki.” Wanita itu membalas pertanyaan Davichi dengan bahasa yang sama.

“Apakah yang anda maksud Hiro ialah Hiro Takagawa?” Davichi semakin getir menanyakan kebenarannya. Tentang wanita cantik bergaun putih bernama Karin Suzuki yang datang ke rumah sakit selarut ini.

“Iya, saya istri dari beliau. Hiro Takagawa.”

Seakan petir bergemuruh dan memulai hujan susulan untuk malam ini. Atau hanya air mata Davichi yang mengucur deras mengguyur kedua pipinya. Sesenggukan Davichi berpaling dan menarik Eun Jo untuk pergi menjauh. Tidak ada yang harus Davichi katakan atau dengar lagi. Ini sudah cukup untuk 7 tahun penantiannya.

“Ny. Nam … Ny. Nam …!” salah satu perawat menyerukan nama depan Davichi karena Eun Jo meninggalkan tas di kursi tunggu. Sayangnya, Davichi sudah tidak ingin berpaling lagi. Ia tidak ingin melihat ke belakang. Tidak ingin melihat Hiro lagi.

“Ny. Nam?” Karin bergumam, nampak pernah mendengar nama depan itu. Seperti mengenalnya.

Dan beberapa hari setelah itu,

“Kami sengaja berbelanja di sini. Luangkan sedikit waktu untuk berbicara.” Mae Ri dan suaminya menghampiri meja kasir yang Davichi tangani.

“Apa?” Davichi menjawabnya datar sambil menghitung belanjaanya Mae Ri dengan fokus.

“Kami berpikir bagaimana kalau Eun Jo kami angkat sebagai putra kami juga?”

Segera saja Davichi terdiam. Apakah ia sudah benar-benar tidak dapat membiayai Eun Jo seorang diri.

“Aku menolak.” Dengan pasti Davichi meneguhkan hatinya.

“Sudah aku bilang, Sayang. Davichi akan menolak. Cara ini tidak akan berhasil.” Mae Ri berbisik pada suaminya.

“Apa yang kalian sedang bicarakan?” Davichi mencurigai perbincangan yang samar-samar itu.

“Kami ingin memberimu sedikit liburan. Liburan tanpa Eun Jo, ke Jepang.” Jelas suami Mae Ri.

“Menghapus Hiro. Dan jangan khawatirkan tentang Eun Jo pada kami.” Timpal Mae Ri.

“Aku menolak. Aku tidak ingin kembali ke Jepang.” Dengan mantap penolakan itu Davichi ucapkan. Dan ia telah selesai menghitung belanjaan Mae Ri.

“Kami hanya ingin memberimu kesempatan, hiduplah dengan normal. Kamu masih muda, belum menikah. Tapi sudah memiliki anak. Itu sebuah kesalahan Davichi. Kamu bukan seorang laki-laki, yang meski memiliki anak akan tetap diterima oleh semua wanita.” Mae Ri nampak menggebu mangakhiri pembicaraan singkatnya.

“Kamu bukan ibuku, Mae Ri. Jangan bertingkah seperti ibuku. Akan ada laki-laki yang memilihku suatu saat nanti, meski aku telah memiliki Eun Jo. Suatu saat, nanti.”

“Tidak akan!” Mae Ri masih meneriaki Davichi ketika suaminya menyeret tubuh Mae Ri karena cukup membuat keheningan toko terganggu.

“Bagaimana jika menikah dengan aku?” usul laki-laki yang kini berdiri di depan meja kasir.

“…”

Davichi terdiam. Tatapannya beku. Mae Ri menghentikan suaminya yang ingin pergi keluar dari toko. Antrian kasir lain juga terdiam. Semua pasang mata menatap Davichi yang kebingungan menjawab permintaan laki-laki di hadapannya. Masih belum percaya dengan permintaan yang ia dengar.

“Menikahlah denganku!” sekali lagi laki-laki itu menawarkannya.

Apakah laki-laki ini sedang mempermainkan Davichi? Apakah laki-laki ini orang iseng seperti biasanya? Davichi tidak senang dengan ucapannya kali ini. Begitu tiba-tiba. Apakah ia tahu bagaimana Davichi menjalani hari-harinya hanya untuk mendengar kata-kata itu dari Hiro. Laki-laki yang tidak sopan dengan mengucapkan tawaran itu begitu mudahnya kepada Davichi.

“Harganya 150 won,” jawab Davichi tentang barang yang laki-laki itu beli.

“Aku tahu. Karin Suzuki? Dia hanya sekertarisku, dia memang begitu jika melihat wanita cantik di dekatku. Dia selalu mengaku sebagai istriku.” Jelas laki-laki itu.

“Hiro … kita sudah berakhir 7 tahun lalu. Kamu harus tahu itu.” Dengan air mata Davichi mengucapkannya.

“Tidak. Semuanya justru baru dimulai 7 tahun lalu. Aku tidak berani mengucapkan janji untuk bertemu denganmu lagi. Tapi aku berharap Hachiko menyampaikannya. Aku tidak tahu, aku tidak bisa mengucapkan janji lagi. Seakan dulu aku pernah berjanji dan tidak aku tepati. Ya, Davichi. Dalam hati, aku sangat ingin bertemu denganmu lagi.” Hiro terbawa emosi.

“7 tahun lalu. Mengapa kamu tidak membawaku turut bersamamu menghadapi operasi itu? Menyemangatimu …”

Davichi lepas kendali. Kedua kakinya kehilangan tenaga, membuat tubuhnya terduduk bertumpu pada kedua tangan. Air mata Davichi terus mengalir. Apa yang baru saja terlintas. Di pikirannya. Di masa lalunya. Lebih dari 7 tahun lalu. Seorang wanita yang dengan air mata melepaskan kekasihnya di medan perang. Seorang wanita yang dengan ketakutannya menunggangi kuda. Seorang wanita yang kemudian menyesali segala-galanya, segala yang telah ia lakukan.

Tapi wanita itu bukan Davichi, ia Im Soo-Yeon. Dan laki-laki itu bukan Hiro Takagawa, ia Miyoshi Nobuyoshi.

“Kita menikah besok.” Ucap Hiro sambil mendekap kepala Davichi. Gadis itu kini berusia 27 tahun, seorang kasir. Dan calon suaminya, 37 tahun, pengusaha kaya. Bukan lagi anggota dewan di pemerintahan.

“Ya, kita menikah besok.”

Semua tepuk tangan menghambur isi toko. Membuncah pada air mata bahagia. Mae Ri lega melihat hujan di malam itu. Sudah saatnya ia pulang, sudah tidak perlu lagi menghawatirkan sahabatnya. Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya berakhir tepat pada waktunya. Semua berakhir menyambut musim baru, musim gugur yang sudah dinantikan sejak lama.

Dan ini ceritaku tentang seorang sahabat, namanya ND. Menanti sebuah pernikahan selama 7 tahun. Dan Tuhan selalu mendengar doanya. ‘Aku ingin menikah dengan lelaki yang Engkau jodoh kan, amin’

‘Jangan ucapkan perpisahan, karena saat kau mengatakannya semua waktu akan berhenti. Tetapi waktu untuk mencintaimu lagi, akan terus berjalan hingga kini.’



*) Diinspirasi dari lagu Time, Please Stop – Davichi

Ditulis oleh @___eL dalam http://noteofme.wordpress.com

Aku tak bermaksud begitu. Sungguh!


Senja mengambang. Jingganya cenderung kelam. Mungkin mau hujan. Dan kamu masih asyik mengabadikan objek sekitar kita dengan kamera-ku yang baru. Rok ungu-mu bergelombang mengikuti arah angin. Rambutmu kembali tertiup angin, beberapa helai jatuh menutupi mata. Kamu segera mengenyahkannya dengan mengibaskan kepala, lalu kembali membidik sekitar.

“ini mau hujan loh, kita pulang yuk” aku menyentuh bahumu.

“sebentar” kamu masih mencoba membidik satu pohon dengan layang-layang terperangkap diantara ranting keringnya.

Kemudian aku melirik sekitar, sudah mulai sepi taman ini. Kupeluk kamu dari belakang. Kulekatkan bibirku ke pipimu. Kamu mengelak, lalu kita tertawa. Pipimu bersemu merah. Walau hari mulai gelap, aku masih bisa melihatnya. Kamu menggenggam bajuku. Kita menuju rumahmu.

Aku bukan teman baru-mu. Kita teman sejak kanak-kanak. Hanya saja terpisah jarak saat melanjutkan sekolah. Dan kini kita dipertemukan lagi. Aku menyukaimu. Cenderung menyayangimu. Tapi belum sampai hati aku mengucap cinta, karena aku terlalu takut akan responmu. Takut merusak persahabatan kita.

Kamu manis sekali. Mungkinkah kamu suka juga padaku? Entahlah. Aku melihat sosok gadis menyenangkan dalam dirimu. Terlalu menyenangkan hingga semua orang ingin dekatmu. Lalu apalah arti aku?

Lalu kucoba menjauh. Karena kulihat kamu dekat lagi dengan mantanmu. Tapi kemudian kamu terus menerus menghubungiku. Jujur, akupun merindukanmu. Kamu bertanya aku kemana. Tak kujawab dengan apa-apa kecuali senyum palsu-ku.

Kemudian kita saling mendekat (lagi). Entah apa yang membuatku tak yakin untuk segera mengucap kata cinta itu. Aku Cuma berani bilang aku nyaman. Nyaman sekali berada di dekatmu. Sejak dulu. Dan semoga kamu pun begitu. Aku tahu diri. Usia kita tak lagi kanak-kanak. Mungkin kamu menunggu-nunggu kata ajaib itu keluar dari bisu-ku. Tapi sungguh, aku takut.

Aku takut kita berubah. Aku takut tak bisa menjadi yang terbaik. Aku takut hubungan kita berakhir. Dan aku takut aku menyesal. Salahkan aku saja. Atau semua pria sama sepertiku? Logika itu nomer satu. Perasaanku dan apalagi perasaan yang lain, sulit mendapat perhatianku.

Dan aku berterimakasih pada Tuhan karena masih mengijinkan kamu bersamaku meski masih berstatus “sahabat”. Sayangnya aku terlalu lena. Aku menganggap kamu baik-baik saja dengan hubungan kita. Aku mengira kamu akan menungguku sampai kapanpun. Aku terlalu peduli pada diriku sendiri, tanpa memikirkan perasaanmu. Sampai aku tersadar, kita “begini” sudah hampir setahun.

Kita punya banyak kesamaan. Aku suka buku, kamu juga. Kamu penikmat senja, aku juga. Kamu suka lagu yang aku juga suka. Pernah kita menunda langkah bersama saat akan keluar dari Gramedia hanya karena toko buku tersebut baru saja memutar lagu kesukaan kita. Lalu kita sadar, kita terlalu konyol. Kemudian tawamu terdengar menyambung tawaku.

Aku tidak suka temanmu. Atau yang kamu sebut sahabat terbaikmu. Mereka terlalu ikut campur urusan kita. Mereka tidak suka padaku. Aku bisa melihatnya. Terlebih setelah kamu bertemu mereka. Aku merasa kamu menjauh. Entah apa yang dikatakan mereka padamu.

Kita bertemu lagi. Kamu diam. Kamu memberiku sebentuk bingkisan berbalut kertas. Aku bertanya-tanya. Ini bukan hari ulang tahunku.

“dengarkan saja” pintamu. Aku diam. Kamu menghela napas panjang. Kemudian mengangkat ranselmu.

“aku minta maaf tak pernah cerita ini padamu” kamu mengalihkan pandanganmu ke sekitar. Aku masih tak paham. Jadi aku diam menunggu kata-katamu selanjutnya.

“aku harus berangkat sekarang juga…” lalu kamu menyebut nama pulau di seberang sana. Aku terpana.

“aku…” aku bingung mau bilang apa. Dan kamu menggigit bibirmu. Kita masih berdiri kaku. Di taman kita. Hari mulai senja. Jingganya cenderung gelap. Tapi tak lebih gelap dari rona wajahmu.

“bolehkah aku memelukmu? Sekali ini saja? Untuk terakhir kalinya?” matamu mulai basah. Kilaunya terpancar karena sisa matahari sore membiasnya. Aku bingung. Tapi kurentangkan kedua tanganku. Dan kamu mendekapku. Erat. Erat sekali. Kita menyatu. Aku merasa bahuku basah. Kulepaskan pelukanmu. Kamu menyembunyikan wajahmu. Bagaimana mungkin ini bukan cinta!

“selamat tinggal” katamu seraya meninggalkanku. Aku masih diam tak berkata apa-apa. Tak juga mencoba mengejarmu atau menghalangi langkahmu. Aku bodoh.

“should I give up or should I just keep chasing pavements.. even it will leads no way..
Or would it be a waste, even if I knew my place.. should I leave it there”


Secarik kertas masih kugenggam.

Aku menyerah. Terimakasih untuk PERSAHABATANnya. Semoga masing-masing dari kita menemukan cinta yang sebenarnya” -Aku, Pecinta sahabatku-

Suara dan gitarmu menyeruak dari disc yang aku putar. Pandanganku kosong. Sekali lagi logika mengalahkanku. Mungkin otakmu juga akhirnya teracuni kata-kata temanmu yang kubenci itu. Pemberi Harapan Palsu sungguh bukan cita-citaku. Aku hanya terlambat berpikir dan bertindak. Itu saja. Kumohon, tak ada harapan palsu yang aku beri padamu. Maksudku, aku tak bermaksud begitu. Sungguh!

***

*)Terinspirasi dari lagu Chasing Pavements - Adele

Ditulis oleh @_lele19 dalam http://leletrash.tumblr.com

Perempuan Itu


Saat itu pukul satu pagi, Jenny sudah siap berlayar menuju alam mimpi, tapi dering sms yang berbunyi membawa nya kembali ke daratan dunia nyata. Sebuah sms ke-14 masuk dari orang yang sama.

Jen, besok ikutan ngumpul di Pizza Hut ya, jam 4 sore. Si Dina Ultah.

Sekejap rasa kantuk hilang dari mata Jenny. Tanpa membalas sms itu, Jenny meletakkan hp secara sembarangan di meja kecil yang terletak di samping kiri ranjangnya.

“Heh! Perempuan itu lagi,” gerutu Jenny.

Dalam diam, langit-langit kamar yang tak berdosa dipandanginya seolah-olah menuntut penjelasan tentang sosok Dina. Dikepalanya berkumpul setan-setan kecil yang bergerombol menawarkan jasa untuk melenyapkan Dina. Tapi sepertinya langit kamar terlalu polos mengerti apa yang bergelayutan dipikiran Jenny, tak ada penjelasan yang diberikan.

***

Jenny baru datang ke PH jam 5 kurang 5 menit 5 detik. Ada sekitar 5 orang yang telah berkumpul disana. Dilihat dari formasinya, nampaknya semua undangan sudah datang. Duduk paling ujung meja ada Dina, si empunya pesta. Di sebelahnya ada Dani, orang yang sudah mengsmsnya tadi malam. Kemudian duduk di seberang mereka berdua 3 orang teman pria yang lain; Bram, Pras, Tim.

“Akhirnya datang juga,” celutuk Dani.

Jenny tak menyahut, ekspresinya datar. Dia berjalan ke arah meja dan menerka kursi kosong di sebelah Dani telah disiapkan untuk tempat duduknya, kemudian duduk di sana tanpa permisi.

“Kok lama sih, Jen?” tanya Dina.

“Tadi kerjaan aku di kantor belum selesai, Din, jadi gak bisa datang cepat.” Jawab Jenny dengan berbohong. Jauh dilubuk hatinya Jenny enggan untuk berhadir ke tempat ini karena sedang berusaha untuk jaga jarak dengan Dina.

“Menunya udah dipesan buat kamu, Jen. Minumnya orange jus, ya? Dani bilang kamu suka orange jus.”

Jenny menoleh ke arah Dina dan tersenyum sebagai bentuk terima kasih. Tak sengaja matanya menangkap basah tangan Dina yang menggandeng tangan Dani di bawah meja. Jenny sontak mematung dalam hitungan detik. Dalam memorinya terputar kembali saat ketika suatu senja Dani duduk disebalahnya bermain game.

“Dan, Dina ini kok galau begini yah di twitter?” tanya Jenny sambil memperhatikan satu-persatu isi timeline Dina.

“Galau kenapa, Din?”

“Ya, galau. Coba kamu baca, kayaknya dia suka sama seseorang tapi nomention gitu deh.”

“Sama siapa? Sama aku ya? Hehehe,” Dani tertawa cekikikan sambil terus asik bermain di laptopnya.

“Ya kali.” Jenny mendadak merasa darah disekujur tubuhnya beku. Kehangatan yang biasa nya ada ketika dia bersama Dani yang sudah hampir setahun dia kenal tiba-tiba menjadi dingin yang terasa asing. “Emang dia udah kamu apain aja sih?”

“Gak aku apa-apain, Jen. Biasa aja kok, kayak aku ke kamu aja lah.”

“Heh? Berarti lumayan akrab dong?”

“Dina kan orangnya baik banget, Jen. Jadi gampang akrabnya.”

“Udah ngapain aja?”

“Gak ngapa-ngapain, jalan juga belum pernah. Cuma BBM-an doang.”

“Ciyeee, BBM-BBM-an. Aku sih ya gak punya BB ya, jadi gak bisa ikut-ikutan BBM-an. BBM-an apa aja?”

“Ah, biasa. Si Dina suka cerita-cerita gitu?”

“Ciyeee curhat-curhatan.”

“Apaan sih, Jen? Kalo orang baik kita tuh gak enak kalo gak dibalas baik.”

“Ya Dina cantik sih, baru kenal 4 bulan langsung bisa akrab aja.”

“Hahaha, mubazir Jen kalo cewek cakep dicuekin.”

“Tuh, kan…” Jenny mengangkat telunjuk kanannya dan langsung menunjuk ke wajah Dani.

Dani yang semula asik bermain game mendongak. Jenny setengah kaget melihat reaksi Dani tersebut. Ibarat satu banding seribu, sangat jarang perhatian Dani teralih ketika bermain game. “Aku gak ada apa-apa kok sama dia, Jen.”

Mendengarnya Jenny jadi segera menurunkan telunjuknya dan merasa kikuk sendiri. Kikuk yang dia rasakan saat itu tak berbeda jauh dengan yang dia rasakan saat ini. Tapi ada rasa yang sedikit berbeda, semacam rasa perih di atas luka yang diperas jeruk purut.

Dengan sedikit mencuri keberanian, Jenny mengangkat wajahnya dan menatap Dani. Dani sendiri sedang asik berbicara sambil tertawa dengan Pras yang duduk persis dihadapannya.

‘Katanya gak ada apa-apa, tapi nyatanya tangan bergandengan di bawah meja. Apa maksudnya kemaren bilang gak ada apa-apa? I don’t trust people but the fact.’



*) Diinspirasi dari lagu That Girl- Noisettes

Ditulis oleh @_metharia_ dalam http://justmerisa.blogspot.com

Aku Masih Disini...



Aku masih di sini. Menunggumu. Bersama janji yang entah kapan akan kau tepati. Akan membawaku pergi dari sini. Bersamamu. Menempuh hidup yang baru.

Aku masih di sini. Menunggumu. Yang tak jelas kapan akan menampakkan batang hidung. Yang datang dan pergi sesuka hati. Seolah lupa ada hati yang rindu setengah mati.

Aku masih di sini. Menunggumu. Si primadona bertubuh molek. Sedikit larik kain yang menutupi sebagian kecilnya. Rambut hitam panjang mengembang sempurna. Tanpa riasan berlebih, selain bibir merah menyala menantang setiap mata. Duduk bak manekin di sebuah etalase. Berteman botol-botol hijau keruh dan beberapa bungkus rokok aneka warna, nama dan rasa. Juga tawa, lirik iri dan teriak genit dari beberapa kolega. Namun merasa sepi. Sendiri.

Aku masih di sini. Menunggumu. Walau tak terhitung berapa lelaki sudi menemaniku. Menuntutku melakukan ini dan itu. Menandak-nandak gagah atasku. Saling beradu nafas. Saling lumat tanpa batas. Berkubang peluh dan lenguh. Berharap kau yang ada di sini. Mendaki, mengerang dan mengejang kencang bersama. Bukan yang lain.

Aku masih di sini. Menunggumu. Berharap kau mengembalikanku jadi suci. Menghalalkanku bagimu. Walau semua tahu, mahluk kotor sepertiku tak layak mendapat surga.

Aku masih di sini. Menunggumu. Menghitung waktu. Dengan kumpulan ceceran kesabaran dan harapan yang ku pungut satu demi satu. Aku tahu. Tak satupun yang bisa menjamin akhir bahagia bagiku.

Aku masih di sini. Menunggumu. Tetap mencintaimu. Walau itu berarti siksa dan sia-sia. Karena mencintaimu serupa membangun istana pasir di bibir pantai berombak.

Aku masih di sini. Menunggumu. Berkalang benci. Pun bergelung rindu.

Kamu. Datanglah. Padaku.



*) Diinspirasi dari lagu Benci Tapi Rindu – Ello

Ditulis oleh @WahyuSN dalam http://wahyusiswaningrum.wordpress.com

AUCH!!


“Ini sudah di kantor BPN. Nunggu Pak Agung yang urus Surat Ketetapannya, lagi rapat. Kata anak buahnya, mungkin sekitar jam sebelas sudah selesai. Nanti kalau ada kabar, langsung saya beritahu. Oke, iya…thank you mam”, jawab Farah lewat ponsel pada General Managernya.

Sambungan telepon terputus.

Urusan ini belum juga selesai padahal cuma urusan perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan. Kalau bukan gara-gara notaris yang enggak becus itu, masalah ini mungkin enggak pernah ada. Kalau begini yang ada malah capek tenaga, capek pikiran bahkan capek uang juga! Sudah berapa juta dibayar demi jasanya tapi tanpa hasil dan akhirnya membuatku, seorang Farah Putri Darmawan, terdampar di kantor Badan Pertanahan Nasional, di siang bolong yang panasnya tanpa ampun. Bukan Surabaya kalau enggak panas kan?.

“Lagi nungguin Pak Agung, mbak?”, sapa laki-laki yang duduk di sebelah Farah, membuka percakapan.

“Eh iya mas, lagi nungguin beliau”

“Maaf, tadi saya enggak sengaja curi dengar pembicaraan mbak di telepon”, jawabnya sambil memberikan senyumnya yang manis.

“Oh, enggak masalah. Mas mau ketemu Pak Agung juga?”

“Iya, kebetulan memang sudah ada janji sama beliau”.

Farah menggangguk lalu perlahan memperhatikan laki-laki itu. Farah mengira umurnya sekitar dua puluh lima. Penampilannya cukup rapi walaupun dia menggulung lengan kemejanya yang berwarna coklat muda dengan garis- garis coklat tua vertikal, hingga batas siku. Dengan celana warna hitam dan sepatu warna coklat tua, aku menebak dia termasuk laki-laki yang memperhatikan penampilannya. Tapi siapa tahu, kalau ada wanita yang menjadikannya demikian. Pacar atau istrinya, mungkin? Bukankah di belakang laki-laki tampan, pasti ada wanita cantik yang rajin memperhatikan penampilannya? Farah tersenyum samar.

“Kalau boleh tahu, mbak mau ketemu Pak Agung untuk keperluan apa?. Oh ya kenalkan, saya Donny dan tolong jangan panggil mas. Rasanya umur kita tidak beda jauh”, ujarnya sambil tersenyum lalu mengulurkan tangan kanannya, mengajak Farah berjabat tangan.

“Saya Farah dan juga tolong jangan panggil mbak” jawabnya sambil berusaha memberikan senyum paling manis. “Ini, mau tanya soal Surat Ketetapan buat sertipikat Hak Guna Bangunan punya kantor”.

“Ada masalah? Kok sampai minta Surat Ketetapan?” Donny mengernyitkan dahi.

“Sertipikatnya telat diperpanjang, akhirnya masa berlakunya keburu habis dan walhasil, harus urus sertipikat mulai dari awal lagi”.

“Kok bisa telat? Masa enggak ada catatan khusus buat jadi pengingat?”.

Donny menanyakan hal ini sambil tersenyum yang seakan-akan menyindir. "Haduh, kenapa kesannya jadi aku yang disalahin?" pikir Farah dalam hati. Tapi dia memang enggak tahu gimana ceritanya kan? Jadi enggak perlu protes dong! Untung dia lumayan cakep, jadi aku enggak perlu marah duluan sama pertanyaannya. Eh tunggu, apa hubungannya? Fokus Farah, fokus!

“Sebenarnya ada. Jadi ceritanya, sertipikat itu dijadikan jaminan di bank, untuk dapat pinjaman. Sekitar satu tahun sebelum masa berlakunya habis, pihak bank sudah konfirmasi ke pihak kami soal itu. Pihak bank tanya mau pakai notaris siapa, bos besar sebut lah…nama notaris yang sudah sering dipakai jasanya sama kantor. Bos besar asal aja sebut nama si notaris, padahal jelas-jelas banyak karyawan yang tahu kalau kinerja dari notaris itu kayak koboi. Nekat. Tapi kadang juga suka menggampangkan masalah. Tapi kalau sudah bos besar yang bilang, karyawan bisa apa, ya kan?”

“Ternyata entah karena apa, dokumen pengurusan sertipikat itu ditaruh di mejanya gitu aja. Ditumpuk sama dokumen-dokumen yang lain, enggak diurus. Sampai akhirnya satu bulan sebelum masa berlaku habis, kami tanya perkembangannya, baru mereka sadar kalau sertipikat itu belum dikerjakan sama sekali.”

Donny lagi-lagi mengernyitkan dahi. “Kok gitu? Apa alasan pihak notaris yang sudah telantarin dokumenmu? Kalau telat gitu, tanahmu otomatis jadi tanah milik negara lagi dong”.

“Iya, memang. Makanya harus diukur ulang segala sama BPN, ribet. Si notaris malah balik nyalahin kantorku karena enggak pernah tanya atau sekedar cari info yang buat mereka jadi ingat”.

“Terus, tanggapan pihak notaris? Apa enggak ada usaha buat kerjain dalam waktu singkat?”

“Masa bisa, ngurusin perpanjangan gitu dalam waktu singkat? Hahaha, ini Indonesia lho, Don…masa kamu enggak tahu gimana birokrasi yang ada di sini?”.

“Hehehe, iya aku tahu. Maksudku apa mereka enggak ada usaha buat sering lobi orang BPN demi mempersingkat pengurusan?”

“Oh, ada. Mereka juga menawarkan itu, istilahnya percepatan. Tapi mereka minta tambah bayar, tiga setengah juta. Kantor setuju buat percepatan tapi dibayar waktu Surat Ketetapan sudah keluar. Padahal sebelumnya, kantorku sudah bayar dia entah berapa puluhan juta. Janjinya, lewat percepatan itu bisa mempersingkat waktu buat dapat Surat Ketetapan dari yang awalnya tiga bulan, jadi cuma dua bulan. Tapi ini sudah hampir lewat dua bulan, hasilnya enggak ada. Padahal setelah Surat Ketetapan keluar, aku masih harus nunggu tiga bulan lagi sampai akhirnya Sertipikatku jadi. Lama banget! Aku enggak ngerti deh, notaris ini maunya apa. Mungkin dia memang kayak gitu kinerjanya.”

“Lho, enggak bisa gitu dong. Harusnya notaris itu yang tanggung jawab, lobi sana sini. Gimana caranya walaupun pengurusan sudah telat tapi tetap harus diusahakan. Enggak bisa lepas tangan gitu aja, tergantung apa kata BPN tapi minta tambahan biaya. Wah, enggak becus beneran deh notaris itu”.

Melihat Donny ikut emosi, Farah merasa mendapat angin dan semakin berapi-api.

“Oh iya Don, ditambah lagi ternyata notaris ini sampai sekarang belum juga kasih Berita Negara dari salah satu perusahaan punya bosku, padahal pengurusannya sudah mulai tahun dua ribu delapan. Bayangin Don, empat tahun! Setiap diminta, jawabannya selalu masih dicari, minta ditelepon lagi satu atau dua hari lagi tapi sampai sekarang belum ketemu juga. Tuh, kelewatan banget kan? Baru kali ini, ketemu sama notaris yang isinya janji-janji melulu”.

“Far, kalau itu sih sudah kelewatan banget. Kalau aku jadi kamu, pasti kantor notarisnya sudah aku buat berantakan! Bikin emosi aja itu orang. Kamu rasanya sudah di-PHP-in sama notarisnya deh, jadi korban harapan palsu, hehehe. Kebetulan aku juga kerja di kantor notaris sih, Beny Sudarman yang di jalan Anggrek itu, tapi kinerja kami enggak kayak gitu, sama sekali berbeda. Buat kami, klien itu raja. Jadi enggak mungkin sampai ada kejadian kayak gitu, dijamin. Andai kita sudah saling kenal lebih dulu, mending dulu kamu minta bantuan kantorku aja deh. Memangnya kantormu pakai notaris siapa sih?”

“Notaris Lukman Tri Harsono”

“Hah, Lukman Tri Harsono? Yang kantornya di jalan Imam Bonjol 135? Apa enggak salah, Far?”. Donny tertegun sejenak. “Aku tahu orangnya sih tapi masa iya, cara kerjanya kayak gitu. Yang aku tahu, dia orangnya professional kok. Aku enggak percaya ah…”

“Kamu boleh enggak percaya tapi buktinya, aku udah jadi korbannya. Gila ya, ternyata enggak cuma orang pacaran sama politikus aja yang suka kasih harapan palsu. Bahkan sekarang notaris pun juga! Dan parahnya, aku jadi korbannya, ckckck…”

“Yahh, kamu harus lebih sabar kalau gitu”, ujar Donny bijak sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

“Hmm, sepertinya begitu” jawab Farah sambil menghembuskan nafas panjang. Kejengkelannya benar-benar tampak jelas.

Seorang petugas BPN tiba-tiba memanggil Farah dan memberitahu kalau Pak Agung sudah selesai rapat dan sudah punya waktu untuk bertemu. Dia sigap mengambil tasnya dan beberapa dokumen yang dia letakkan di meja yang ada disampingnya.

“Don, aku duluan ya. Pak Agung sudah selesai rapat tuh. Senang bisa ngobrol bareng kamu”. Farah pun mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Oh iya, sama-sama. Senang juga bisa ngobrol bareng kamu. Lain kali hati-hati pilih notaris, biar enggak dikasih harapan palsu lagi. Ngomong-ngomong, ini kartu namaku, siapa tahu kapan-kapan kamu butuh bantuanku”

“Oke, aku pasti ingat pesanmu. Daaannn….” Farah sibuk membuka tasnya, “ini kartu namaku. Sukses buat kamu ya. Kamu juga ingat, kinerjamu jangan kayak notaris yang aku ceritain tadi”

“Siap, laksanakan! “

“Bye Donny!”

“Bye! Tapi…Farah tunggu!”, teriak Donny ketika Farah sudah beranjak dari tempatnya berdiri.

“Ya? Ada apa lagi, Don?”

“By the way, kalau aku boleh ngomong sedikit lagi, hmm…sebenarnya notaris Lukman Tri Harsono itu seseorang yang setiap hari aku panggil dengan sebutan ayah lho”, ujar Donny sambil nyengir.

Brak!

Farah menjatuhkan semua dokumennya dan melongo sejadi-jadinya.

AUCH!!!

Ku ajak kau melayang tinggi

Dan ku hempaskan ke bumi…



*) Diinspirasi dari lagu Baby Doll - Utopia

Ditulis oleh @vandakemala dalam http://myredstrawberry.blogspot.com