Monday, October 1, 2012

Aku tak bermaksud begitu. Sungguh!


Senja mengambang. Jingganya cenderung kelam. Mungkin mau hujan. Dan kamu masih asyik mengabadikan objek sekitar kita dengan kamera-ku yang baru. Rok ungu-mu bergelombang mengikuti arah angin. Rambutmu kembali tertiup angin, beberapa helai jatuh menutupi mata. Kamu segera mengenyahkannya dengan mengibaskan kepala, lalu kembali membidik sekitar.

“ini mau hujan loh, kita pulang yuk” aku menyentuh bahumu.

“sebentar” kamu masih mencoba membidik satu pohon dengan layang-layang terperangkap diantara ranting keringnya.

Kemudian aku melirik sekitar, sudah mulai sepi taman ini. Kupeluk kamu dari belakang. Kulekatkan bibirku ke pipimu. Kamu mengelak, lalu kita tertawa. Pipimu bersemu merah. Walau hari mulai gelap, aku masih bisa melihatnya. Kamu menggenggam bajuku. Kita menuju rumahmu.

Aku bukan teman baru-mu. Kita teman sejak kanak-kanak. Hanya saja terpisah jarak saat melanjutkan sekolah. Dan kini kita dipertemukan lagi. Aku menyukaimu. Cenderung menyayangimu. Tapi belum sampai hati aku mengucap cinta, karena aku terlalu takut akan responmu. Takut merusak persahabatan kita.

Kamu manis sekali. Mungkinkah kamu suka juga padaku? Entahlah. Aku melihat sosok gadis menyenangkan dalam dirimu. Terlalu menyenangkan hingga semua orang ingin dekatmu. Lalu apalah arti aku?

Lalu kucoba menjauh. Karena kulihat kamu dekat lagi dengan mantanmu. Tapi kemudian kamu terus menerus menghubungiku. Jujur, akupun merindukanmu. Kamu bertanya aku kemana. Tak kujawab dengan apa-apa kecuali senyum palsu-ku.

Kemudian kita saling mendekat (lagi). Entah apa yang membuatku tak yakin untuk segera mengucap kata cinta itu. Aku Cuma berani bilang aku nyaman. Nyaman sekali berada di dekatmu. Sejak dulu. Dan semoga kamu pun begitu. Aku tahu diri. Usia kita tak lagi kanak-kanak. Mungkin kamu menunggu-nunggu kata ajaib itu keluar dari bisu-ku. Tapi sungguh, aku takut.

Aku takut kita berubah. Aku takut tak bisa menjadi yang terbaik. Aku takut hubungan kita berakhir. Dan aku takut aku menyesal. Salahkan aku saja. Atau semua pria sama sepertiku? Logika itu nomer satu. Perasaanku dan apalagi perasaan yang lain, sulit mendapat perhatianku.

Dan aku berterimakasih pada Tuhan karena masih mengijinkan kamu bersamaku meski masih berstatus “sahabat”. Sayangnya aku terlalu lena. Aku menganggap kamu baik-baik saja dengan hubungan kita. Aku mengira kamu akan menungguku sampai kapanpun. Aku terlalu peduli pada diriku sendiri, tanpa memikirkan perasaanmu. Sampai aku tersadar, kita “begini” sudah hampir setahun.

Kita punya banyak kesamaan. Aku suka buku, kamu juga. Kamu penikmat senja, aku juga. Kamu suka lagu yang aku juga suka. Pernah kita menunda langkah bersama saat akan keluar dari Gramedia hanya karena toko buku tersebut baru saja memutar lagu kesukaan kita. Lalu kita sadar, kita terlalu konyol. Kemudian tawamu terdengar menyambung tawaku.

Aku tidak suka temanmu. Atau yang kamu sebut sahabat terbaikmu. Mereka terlalu ikut campur urusan kita. Mereka tidak suka padaku. Aku bisa melihatnya. Terlebih setelah kamu bertemu mereka. Aku merasa kamu menjauh. Entah apa yang dikatakan mereka padamu.

Kita bertemu lagi. Kamu diam. Kamu memberiku sebentuk bingkisan berbalut kertas. Aku bertanya-tanya. Ini bukan hari ulang tahunku.

“dengarkan saja” pintamu. Aku diam. Kamu menghela napas panjang. Kemudian mengangkat ranselmu.

“aku minta maaf tak pernah cerita ini padamu” kamu mengalihkan pandanganmu ke sekitar. Aku masih tak paham. Jadi aku diam menunggu kata-katamu selanjutnya.

“aku harus berangkat sekarang juga…” lalu kamu menyebut nama pulau di seberang sana. Aku terpana.

“aku…” aku bingung mau bilang apa. Dan kamu menggigit bibirmu. Kita masih berdiri kaku. Di taman kita. Hari mulai senja. Jingganya cenderung gelap. Tapi tak lebih gelap dari rona wajahmu.

“bolehkah aku memelukmu? Sekali ini saja? Untuk terakhir kalinya?” matamu mulai basah. Kilaunya terpancar karena sisa matahari sore membiasnya. Aku bingung. Tapi kurentangkan kedua tanganku. Dan kamu mendekapku. Erat. Erat sekali. Kita menyatu. Aku merasa bahuku basah. Kulepaskan pelukanmu. Kamu menyembunyikan wajahmu. Bagaimana mungkin ini bukan cinta!

“selamat tinggal” katamu seraya meninggalkanku. Aku masih diam tak berkata apa-apa. Tak juga mencoba mengejarmu atau menghalangi langkahmu. Aku bodoh.

“should I give up or should I just keep chasing pavements.. even it will leads no way..
Or would it be a waste, even if I knew my place.. should I leave it there”


Secarik kertas masih kugenggam.

Aku menyerah. Terimakasih untuk PERSAHABATANnya. Semoga masing-masing dari kita menemukan cinta yang sebenarnya” -Aku, Pecinta sahabatku-

Suara dan gitarmu menyeruak dari disc yang aku putar. Pandanganku kosong. Sekali lagi logika mengalahkanku. Mungkin otakmu juga akhirnya teracuni kata-kata temanmu yang kubenci itu. Pemberi Harapan Palsu sungguh bukan cita-citaku. Aku hanya terlambat berpikir dan bertindak. Itu saja. Kumohon, tak ada harapan palsu yang aku beri padamu. Maksudku, aku tak bermaksud begitu. Sungguh!

***

*)Terinspirasi dari lagu Chasing Pavements - Adele

Ditulis oleh @_lele19 dalam http://leletrash.tumblr.com

No comments:

Post a Comment