Monday, October 1, 2012

Tanpa Titik

Berdebar kutatap smartphone-ku. Baru saja icon burung biru muncul di layarnya. Ah, semoga mention darimu, atau bahkan mungkin Direct Message. Ah, benar, kan?! Sebuah direct message. Darimu.
@diza_fauzi
Hai, Rama! Aku suka banget tulisanmu di kumpulan cerpen Pelangi Tanpa Hujan!
Nanti ajarin aku nulis cerpen, ya!
Jemariku tak kuasa meluapkan keriaan yang kurasa. Ia segera meliukkan diri, menarikan balasanku kepadamu.
@_ramaditya
Hai, Diza! Aku juga suka tulisan-tulisan di blogmu lho! Kapan-kapan nulis bareng, yuk?
Keakraban di-direct message tak lama dilanjutkan bertukar nomor telepon dan pin blackberry. Namun, kamu seharusnya tahu, yang kuberikan saat itu tak hanya sekedar angka-angka, ada getar bernama suka yang kukirimkan bersamanya.
***
Akitivitas bertukar cerita denganmu mengalir begitu saja. Selamat pagi, siang dan malam darimu menghiasi layar smartphone-ku setiap harinya. Akupun tak ketinggalan menghujanimu dengan syair-syair manis yang tak jarang kaubalas dengan lebih puitis. Atau sekedar cerita-cerita ringan tentang hari-hari yang berjalan; tentang kamu yang berhasil mencabut gigi geraham belakang pasienmu, tentangku yang ditugaskan menjadi delegasi Indonesia di salah satu event internasional, juga tentang kekesalan kita pada atasan masing-masing yang kadang bersikap semaunya.
Bertukar kata di langit maya tak pernah menyurutkan ketertarikanku padamu. Namun, sesekali ada keinginanku untuk mengenali hadirmu dalam nyata. Dan Tuhan sepertinya mendengar permintaanku. Pagi itu, kamu memberi kabar tak terduga.
Diza Fauzi:
Rama, hari ini aku ke Bandung.
Ada seminar yang harus kuhadiri.
Setelahnya ketemuan, yuk?
Kubaca pesan di blackberry messenger darimu dengan setengah tak percaya. Kuiyakan tawaranmu dengan segera. Bagaimana tidak? Ini berarti kesempatan pertamaku bertemu denganmu dalam nyata, bukan hanya dalam kata. Setelahnya, aku disibukkan dengan aktivitas memilih-milih baju apa yang harus kukenakan, juga menentukan mau dibagaimanakan rambutku yang biasanya berantakan.
***
Di sebuah kafe di seberang masjid raya, akhirnya kukenali ragamu. Malam itu, dalam balutan kemeja batik dan rok selutut, kamu nampak memesona. Cantik. Bahkan lebih cantik dari avatar-avatarmu yang setiap kauganti selalu kusempatkan untuk kusimpan di dua tempat, memorismartphone dan pikiranku.
Selanjutnya kita duduk berseberangan di satu meja. Kamu hanya memesan salad dan jus buah segar. Sudah malam, katamu, tak ingin merusak tubuh yang sejak lama kaurawat agar sempurna. Lalu kita bertukar cerita. Kisah-kisahmu terdengar lebih menarik ketika terlontar dari mulut indahmu. Bahkan cerita-cerita lama yang pernah kaututurkan dengan jemari tak menjadi basi ketika kauperdengarkan lagi.
Dua setengah jam malam itu seolah berlari. Katamu, kau harus segera kembali ke hotel tempatmu menginap karena esok paginya masih ada seminar selanjutnya untu kauikuti. Dengan berat hati kuiyakan permintaanmu agar perjumpaan kita segera diakhiri. Kutawarkan diri untuk mengantarmu kembali. Kamu menolak. Tidak hanya membalasnya dengan berterima kasih, kamu juga menambahkan bahwa kekasihmu sedang dalam perjalanan untuk menjemputmu. Aku kemudian tergerus bisu.
Malam itu aku mengutuk diriku sendiri yang berharap terlalu tinggi, tanpa pernah mengetahui bahwa kamu sudah termiliki. Tetapi aku juga memakimu, untuk balasan-balasanmu atas usaha-usahaku mendekatkanmu kepadaku. Kuputuskan untuk menjauhkan diri darimu perlahan. Tak ada lagi pesan-pesan yang bersahutan, atau sekedar mention dan reply.
***
Sebuah pesan darimu membangunkanku suatu pagi.
Diza Fauzi:
Selamat pagi, Rama!
Kok akhir-akhir ngga pernah cerita lagi?
Ah, Diza, tak mengertikah kamu? Atau pura-pura tak mengerti? Kebetulan sekali, banyak hal yang ingin kutanyakan kepadamu sejak malam itu.
Ramaditya Segara:
Selamat pagi, Diza!
Masih mau memberiku harapan-harapan palsu?
Dua kalimat tersebut membuatmu membuka mata akan perasaanku kepadamu. Selanjutnya kamu meminta maaf kepadaku. Katamu, kau tak bermaksud memberiku harapan palsu. Saat itu, katamu kau sedang dalam masa-masa sulit dalam hubunganmu dengan Randu, kekasihmu. Lalu kautemukan nyaman dalam kedekatan yang kubawakan, jelasmu kemudian.
Ada perih yang kembali kurasakan saat kudengar apa yang kaujelaskan. Namun, entah mengapa kudapati pula hangat yang sempat hilang ketika kamu kujauhkan.
***
Jika perih adalah air mata,
maka mencintaimu adalah genangannya atas luka.
Tapi jangan tanya,
mengapa aku masih saja berenang di kedalamannya.
Tahukah kamu, Diza, sejak malam dimana duniaku kaujungkir-balikkan, aku selalu berandai-andai, jika saja waktu itu aku tak membalas direct message-mu, mungkin aku tak akan merasa sesakit sekarang.
Selain itu, hal lain yang kubenci dari takdir yang mempertemukanku denganmu adalah diriku sendiri, yang lemah pada permintaan-permintaanmu kepadaku untuk menemanimu setiap kauingin menumpahkan keluh kesahmu tentang kekasihmu.
Ah, tapi sudahlah Diza, setidaknya mencintaimu mengajariku kesabaran. Kesabaranku menunggumu meninggalkan kekasihmu. Dan karena mengenalmu pun aku mengerti, bahwa dari sekian banyak kisah yang kuceritakan, hanya kisah tentang mencintaimulah yang ingin kutuliskan tanpa titik.
“Meski kau terus sakiti aku,
cinta ini akan selalu memaafkan.
Dan aku percaya nanti engkau
mengerti bila cintaku takkan mati.”
*) Diinspirasi dari lagu Bertahan - Rama
Ditulis oleh @__adityan dalam http://deetzy.tumblr.com

1 comment: