Monday, October 1, 2012

Saranghae, Tsukiatte Kudasai (Vol. 6)


Seoul, 2012

Kringgg, kringgg.

“Ya, hallo.”

“Eun Jo baik-baik saja.”

“Kami baru saja tiba di rumah. Jangan begitu khawatir. Kami baik-baik saja.”

“Bagaimana dengan pestanya?”

“Syukurlah.”

“Istirahatlah, aku juga lelah.”

“Annyeong Mae Ri.”

Beberapa menit kemudian,

Kringgg, kringgg.

“Aku tahu ada yang ingin kamu ceritakan, bicaralah!”

“Aku tahu, nada suaramu sejak tadi begitu lelah. Menahan tangis?”

“Suamiku sedang mandi.”

“Sabar, menangislah seperti itu.”

“Jadi, orang yang menolong Eun Jo adalah laki-laki yang kamu ceritakan itu. Bagaimana bisa?”

“Lalu?”

“Aku mengerti, ini sudah 7 tahun berlalu. Sabarlah, Davichi.”

“Juga bukan salahnya, juga bukan salahmu.”

“Besok aku akan menemanimu. Tidurlah! Kamu benar-benar lelah.”

***

Kemarin adalah hari yang melelahkan. Setumpuk hujan masih menggenang di sudut mata Davichi. Semalaman ia menangis sendiri. Davichi membutuhkan tempat untuk berpeluk dan menyandarkan segenap jiwanya yang rapuh. Masih adakah pintu di rumah mama, selama 7 tahun terakhir ini. Mama sudah menganggap Davichi sebagai orang lain. Masih mungkinkah Davichi untuk kembali.

Akhir dari 7 tahun ini, Mae Ri baru saja menikah dan meninggalkan kekosongan bagi Davichi. Betapa ia kehilangan sahabat yang selalu ada ketika ia menangis seperti ini. Kekosongan. Sebagian awal untuk hari-hari sepi yang harus Davichi lalui sendiri. Mae Ri tidak mungkin lagi ada semalam ini hanya untuk mendengarnya bercerita, menangis, atau sekedar mengatakan kata rindu, rindu untuk laki-laki itu. Hiro Takagawa.

Akhir dari 7 tahun yang lain, Eun Jo sudah beranjak dewasa. Davichi harus memikirkan kembali untuk membiayai keperluan anak satu-satunya ini. Davichi tidak mungkin terus bekerja sebagai kasir malam, juga kerja sambilan mengantar susu pagi. Eun Jo sudah mulai membutuhkan hal-hal di luar susu dan pakaian baru. Bagaimana semua ini, dengan 7 tahun itu. Apakah Davichi harus menyerah pada Eun Jo sekarang? Menyerah ketika semuanya seakan begitu nyata, ketika Davichi telah dipanggil sebagai ‘Ibu’ oleh Eun Jo.

Akhir dari 7 tahun yang sebenarnya, telah berakhir di rumah sakit. Davichi dalam kantuk memeluk Eun Jo yang tidur di pangkuannya samar-samar melihat sesosok wanita berwajah malaikat mengenakan pakaian putih yang panjang, ketika menunggu Hiro yang telah dipindahkan ke ruang ICU. Wanita bergaun itu tanpa sayap, hanya gincu merah mengkilat yang mencolok dari penampilannya. Ini tidak benar kan? Dia tidak akan membawa Hiro secepat itu. Wanita yang dengan rambut lurus terurai itu berlalu di hadapan Davichi. Suara langkahan sepatu yang terbuat dari kayu itu berbunyi membangunkan Eun Jo. Jelas Davichi ikut berdiri dan menyelipkan tubuh Eun Jo yang ketakutan di belakang tubuhnya.

“Aku ingin Hiro dipindah ke ruangan VVIP. Dia harus mendapatkan yang terbaik di rumah sakit ini”, wanita itu berbicara lantang di tengah kesunyian. Ia tidak sendiri. Beberapa perawat dan asistennya mengikuti. Dan ia hanya berdiri di depan pintu ruang ICU.

“Anda, siapa?” tanya Davichi dengan Bahasa Jepang yang dilatihnya, ia ingin tahu apakah wanita ini juga berasal dari negara yang sama dengan Hiro.

“Saya? Saya Karin Suzuki.” Wanita itu membalas pertanyaan Davichi dengan bahasa yang sama.

“Apakah yang anda maksud Hiro ialah Hiro Takagawa?” Davichi semakin getir menanyakan kebenarannya. Tentang wanita cantik bergaun putih bernama Karin Suzuki yang datang ke rumah sakit selarut ini.

“Iya, saya istri dari beliau. Hiro Takagawa.”

Seakan petir bergemuruh dan memulai hujan susulan untuk malam ini. Atau hanya air mata Davichi yang mengucur deras mengguyur kedua pipinya. Sesenggukan Davichi berpaling dan menarik Eun Jo untuk pergi menjauh. Tidak ada yang harus Davichi katakan atau dengar lagi. Ini sudah cukup untuk 7 tahun penantiannya.

“Ny. Nam … Ny. Nam …!” salah satu perawat menyerukan nama depan Davichi karena Eun Jo meninggalkan tas di kursi tunggu. Sayangnya, Davichi sudah tidak ingin berpaling lagi. Ia tidak ingin melihat ke belakang. Tidak ingin melihat Hiro lagi.

“Ny. Nam?” Karin bergumam, nampak pernah mendengar nama depan itu. Seperti mengenalnya.

Dan beberapa hari setelah itu,

“Kami sengaja berbelanja di sini. Luangkan sedikit waktu untuk berbicara.” Mae Ri dan suaminya menghampiri meja kasir yang Davichi tangani.

“Apa?” Davichi menjawabnya datar sambil menghitung belanjaanya Mae Ri dengan fokus.

“Kami berpikir bagaimana kalau Eun Jo kami angkat sebagai putra kami juga?”

Segera saja Davichi terdiam. Apakah ia sudah benar-benar tidak dapat membiayai Eun Jo seorang diri.

“Aku menolak.” Dengan pasti Davichi meneguhkan hatinya.

“Sudah aku bilang, Sayang. Davichi akan menolak. Cara ini tidak akan berhasil.” Mae Ri berbisik pada suaminya.

“Apa yang kalian sedang bicarakan?” Davichi mencurigai perbincangan yang samar-samar itu.

“Kami ingin memberimu sedikit liburan. Liburan tanpa Eun Jo, ke Jepang.” Jelas suami Mae Ri.

“Menghapus Hiro. Dan jangan khawatirkan tentang Eun Jo pada kami.” Timpal Mae Ri.

“Aku menolak. Aku tidak ingin kembali ke Jepang.” Dengan mantap penolakan itu Davichi ucapkan. Dan ia telah selesai menghitung belanjaan Mae Ri.

“Kami hanya ingin memberimu kesempatan, hiduplah dengan normal. Kamu masih muda, belum menikah. Tapi sudah memiliki anak. Itu sebuah kesalahan Davichi. Kamu bukan seorang laki-laki, yang meski memiliki anak akan tetap diterima oleh semua wanita.” Mae Ri nampak menggebu mangakhiri pembicaraan singkatnya.

“Kamu bukan ibuku, Mae Ri. Jangan bertingkah seperti ibuku. Akan ada laki-laki yang memilihku suatu saat nanti, meski aku telah memiliki Eun Jo. Suatu saat, nanti.”

“Tidak akan!” Mae Ri masih meneriaki Davichi ketika suaminya menyeret tubuh Mae Ri karena cukup membuat keheningan toko terganggu.

“Bagaimana jika menikah dengan aku?” usul laki-laki yang kini berdiri di depan meja kasir.

“…”

Davichi terdiam. Tatapannya beku. Mae Ri menghentikan suaminya yang ingin pergi keluar dari toko. Antrian kasir lain juga terdiam. Semua pasang mata menatap Davichi yang kebingungan menjawab permintaan laki-laki di hadapannya. Masih belum percaya dengan permintaan yang ia dengar.

“Menikahlah denganku!” sekali lagi laki-laki itu menawarkannya.

Apakah laki-laki ini sedang mempermainkan Davichi? Apakah laki-laki ini orang iseng seperti biasanya? Davichi tidak senang dengan ucapannya kali ini. Begitu tiba-tiba. Apakah ia tahu bagaimana Davichi menjalani hari-harinya hanya untuk mendengar kata-kata itu dari Hiro. Laki-laki yang tidak sopan dengan mengucapkan tawaran itu begitu mudahnya kepada Davichi.

“Harganya 150 won,” jawab Davichi tentang barang yang laki-laki itu beli.

“Aku tahu. Karin Suzuki? Dia hanya sekertarisku, dia memang begitu jika melihat wanita cantik di dekatku. Dia selalu mengaku sebagai istriku.” Jelas laki-laki itu.

“Hiro … kita sudah berakhir 7 tahun lalu. Kamu harus tahu itu.” Dengan air mata Davichi mengucapkannya.

“Tidak. Semuanya justru baru dimulai 7 tahun lalu. Aku tidak berani mengucapkan janji untuk bertemu denganmu lagi. Tapi aku berharap Hachiko menyampaikannya. Aku tidak tahu, aku tidak bisa mengucapkan janji lagi. Seakan dulu aku pernah berjanji dan tidak aku tepati. Ya, Davichi. Dalam hati, aku sangat ingin bertemu denganmu lagi.” Hiro terbawa emosi.

“7 tahun lalu. Mengapa kamu tidak membawaku turut bersamamu menghadapi operasi itu? Menyemangatimu …”

Davichi lepas kendali. Kedua kakinya kehilangan tenaga, membuat tubuhnya terduduk bertumpu pada kedua tangan. Air mata Davichi terus mengalir. Apa yang baru saja terlintas. Di pikirannya. Di masa lalunya. Lebih dari 7 tahun lalu. Seorang wanita yang dengan air mata melepaskan kekasihnya di medan perang. Seorang wanita yang dengan ketakutannya menunggangi kuda. Seorang wanita yang kemudian menyesali segala-galanya, segala yang telah ia lakukan.

Tapi wanita itu bukan Davichi, ia Im Soo-Yeon. Dan laki-laki itu bukan Hiro Takagawa, ia Miyoshi Nobuyoshi.

“Kita menikah besok.” Ucap Hiro sambil mendekap kepala Davichi. Gadis itu kini berusia 27 tahun, seorang kasir. Dan calon suaminya, 37 tahun, pengusaha kaya. Bukan lagi anggota dewan di pemerintahan.

“Ya, kita menikah besok.”

Semua tepuk tangan menghambur isi toko. Membuncah pada air mata bahagia. Mae Ri lega melihat hujan di malam itu. Sudah saatnya ia pulang, sudah tidak perlu lagi menghawatirkan sahabatnya. Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya berakhir tepat pada waktunya. Semua berakhir menyambut musim baru, musim gugur yang sudah dinantikan sejak lama.

Dan ini ceritaku tentang seorang sahabat, namanya ND. Menanti sebuah pernikahan selama 7 tahun. Dan Tuhan selalu mendengar doanya. ‘Aku ingin menikah dengan lelaki yang Engkau jodoh kan, amin’

‘Jangan ucapkan perpisahan, karena saat kau mengatakannya semua waktu akan berhenti. Tetapi waktu untuk mencintaimu lagi, akan terus berjalan hingga kini.’



*) Diinspirasi dari lagu Time, Please Stop – Davichi

Ditulis oleh @___eL dalam http://noteofme.wordpress.com

No comments:

Post a Comment