Sunday, September 30, 2012

Terbingkai Sepi

Hampa, itulah yang saya rasakan saat ini setelah melihatnya pergi dan semakin jauh. Terasa sangat menyakitkan memang, ketika harus mengetahui hal ini akan terjadi. Lebih menyakitkan lagi karena harus melewatinya dan menerimanya sebagai bagian akhir dari awal pertemuan yang indah.

            Semua harapan itu kini pupus sudah. Sekarang hanyalah tersisa kenangan tentangnya. Kenangan yang hanya akan diingat seumur sisa hidup dan akan membuat tersenyum kelak dimasa tua. Ataukah, kenangan yang hanya akan disimpan dalam kotak box, dikunci, dan dibuang dalam-dalam di jurang kepekatan. Semua itu pilihan.

            Karenanya saya bahagia, karenanya saya sedih, dan karenanya saya murka. Karenanya, hidup saya lebih berwarna. Perasaan ini muncul karenanya. Apakah saya harus menangis meratapi kenyataan ini, apakah saya harus murka karena diperlakukan tak adil, ataukah saya harus bahagia karena ditinggalkan oleh orang yang tidak tepat. Naif memang jika pura-pura bahagia, tapi kesedihan pastinya suatu hal yang akan menyelimuti suatu perpisahan.

            Dibalik semua itu, suatu kata sepi lah yg menyelimuti. Sepi yang mendera dan tak kunjung pergi, itulah yang saya rasakan. Sepi dikarenakan keadaan, sehingga membuat kita tidak bisa saling bersama. Saya berpikir, akankah waktu membuat semuanya lebih baik. Tapi waktulah yang membuat sepi ini terus bergulir, waktulah yang membuat adanya perpisahan, dan waktu pulalah yang mengobatinya.

            Kita memang pacaran jarak jauh antara Bandung dan Jakarta, meskipun sesaat jika melewati Tol Cipularang. Dengan jarak sekian kilometer, sepi ini terus saja berkecamuk. Meskipun komunikasi terus terjalin dengan telepon seluler dan media lainnya, sepilah yang terus merajai.

            Saya hanya ingin satu darimu, kepastian dan titik terang. Saya bosan ditemani sepi, sendiri. Meskipun saya banyak teman ataupun di temapat ramai, saya tetap merasa hampa. Tolong mengertilah… 

            Saya selalu menunggu, sampai kapankah sepi ini terus menyertai. Apakah akan ada kebahagiaan pada akhirnya atau hanyalah waktu percuma. Semua penantian itu terbayar sudah, bahwa perpisahanlah jawaban bijak pada akhirnya.

            Sedih pasti, tapi jodoh di tangan Tuhan memang benar adanya. Saya hanya akan menunggu seorang Adam, entah siapapun itu. Saya akan tersenyum, jika waktu mengijinkan. Saya akan bahagia, jika takdir mengatakan. Kenangan-kenangan tentangnya, akan saya simpan sampai akhir masa dan akan saya bawa dalam suatu memori. Semoga dia bahagia…

ditulis @talithaYa dalam http://talithayurdhika.tumblr.com | Lagu Kesepian

Fin [… But Not The End]

Kegiatan menulis #30HariLagukuBercerita sudah berakhir.

Seru.

Saya follow @PosCinta sudah sejak lama. Sering mondar-mandir blognya untuk sekedar membaca postingan yang keren. Tapi untuk ikut menulis, saya belum berani.

Proyek menulis selama 30 hari sepertinya terlalu melelahkan buat saya (pada saat itu). Sekitar satu atau dua tahun lalu, saya pernah ditantang di bulan Oktober, membuat satu cerita atau surat setiap hari. Tapi saya mundur. Alasannya simpel, ndak ada waktu. Bagaimana mungkin bisa konsisten untuk membuat sebuah karya yang penuh kata tiap hari? Apalagi selama ini saya tidak pernah membuat tulisan fiksi. Ide tidak bisa keluar dengan semena-mena. Dia muncul kapan saja. Tapi buat saya, tidak setiap hari.

Di akhir bulan Agustus, setelah @PosCinta mengumumkan akan ada proyek menulis #30HariLagukuBercerita di bulan September. Saya mulai menimbang-nimbang lagi. Sebagai orang yang mengaku ‘suka musik’, banci menyanyi dan sering menyombongkan skor saat berkaraoke di Inul Vista, harga diri saya mulai terusik. Hey, kenapa tidak? Hampir setiap hari saya menggembar-gemborkan betapa musik bisa mempengaruhi hidup, hati dan jalan hidup. Lalu mengapa sekarang tidak ditambah, “musik itu menginspirasi”? (Eh… bukannya sama aja, Chil? Ya pokoknya gitu…)

Oke. Saya ikut. Tidak peduli apakah nanti stok ide itu habis di tengah jalan. Atau kata-kata saya tersendat karena memang kurang banyak membaca. Atau rangkaian kata yang saya sajikan tidak menggetarkan karena kurang kreatif meraciknya. Atau koneksi internet di Alor yang naik turun seperti dada orang yang menanti ajal. Saya ikut proyek ini.

Diawali dengan sebuah skenario khayalan yang sudah lama bertengger di otak saya, tentang putus asa dan harapan, saya memulai kisah tentang Biana VS Gema. Bagi saya, proses menemukan kembali sebuah harapan itu tidak mudah. Menggulingkan hati yang sudah beku karena tidak berani berharap dan tersungkur di keputusasaan itu sangat berat. Entah itu tentang cita-cita maupun cinta. Merangkak naik lebih berat daripada berjalan dan berlari. Tubuh kita harus bisa melawan gravitasi. Kedua tangan kita harus kuat menggenggam tebing yang tajam dan menyakitkan. Kaki kita harus pandai memijak bebatuan yang bisa tergelincir setiap saat. Dan mata kita terarah ke satu titik, berusaha melekatkan cahaya di sensoris, meneruskannya ke sistem berpikir kita dan memerangkapnya erat-erat sebagai motivasi juang.

Lalu apa yang terjadi saat kita mampu mencapai tebing harapan? Sebagian dari kita, mungkin akan duduk sejenak dan menikmati udara sebanyak-banyaknya. Tubuh kita akan meminta paru-paru untuk bernafas sebebas-bebasnya. Mata kita terpejam, menikmati semilir angin yang mendinginkan pipi penuh luka. Kepuasan itu tidak bisa dideskripsikan. Kepuasan itu hanya kita yang rasakan. Seperti Biana yang menemukan harapan pada Gema (meski pada akhirnya mereka ‘dibunuh’). Biana sendirilah yang bisa memahami rasanya. Bahkan penulisnya pun tidak bisa ikut merasakan (lha?).

Sama seperti kepuasan saya saat ‘bisa menulis lagi’. Saat ada berita bahwa Multiply akan ditutup, saya kembali mengunjungi blog saya, dan terkejut saat mendapati banyaknya postingan blog saya di situ. Bahasanya memang kacau balau, seperti dibuat dengan terburu-buru karena minimnya waktu saat koass dan banyaknya kejadian-kejadian unik saat itu. Tapi saya tidak peduli. Saya tetap menulis. Dan menyampaikan isi kepala saya yang berantakan itu pada khalayak ramai. Dan kebahagiaan tersendiri saat akhirnya saya bisa meramu lagi kata-kata yang sempat terbelenggu menjadi satu tulisan yang bisa dibaca orang lain. Entah itu bagus atau tidak. Saya kembali menulis. Dan itu menjadi satu titik tolak. Saya harus kembali belajar menuang kata dan mengukirnya hingga isi hati dan pikiran saya bisa tersampaikan dengan baik.

Sesekali, saya mencoba menulis tentang ‘cinta yang tidak tersampaikan’. Sang Penyembuh adalah debutnya. Apa sih yang ndak lebih menyakitkan dari hati yang menaruh harapan pada sesuatu yang tidak ada? Rasanya cuma bisa bengong, menikmati sendiri desiran di dalam hati tanpa ada yang bisa diajak berbagi. Tapi rupa-rupanya, cerita ini setengah absurd (pffftt…). Sebenarnya banyak sekali ide imajiner yang melayang-layang di dalam kepala. Dipengaruhi dari karya fiksi yang selama ini saya baca, baik dari lagu, komik, novel atau film. Tapi ternyata imajinasi saya selama ini masih belum cukup oke untuk dituangkan dalam barisan kata. Sekali lagi. Saya harus belajar.

Dan memang paling dapet ‘feel’nya jika menuliskan sesuatu yang dialami sendiri. Berasa kawin dengan diri sendiri. Seperti Walk On Fire. Meski pada akhirnya masih ada kekurangan di sana-sini, karena ide yang masih mentah dan disajikan sebelum dibumbui dengan pas, tapi ada sesuatu yang membuat saya berpikir, bahwa dengan menulis, kita bisa berbagi cerita dengan orang lain (yah… memang aslinya cerewet sih. Mau gimana lagi :p ).

Ruang 23 adalah satu cerita yang paling banyak mendapat komentar. Sebagian besar protes karena terlalu datar. Jujur, saya sendiri merasa demikian hehehe… Tapi saya terharu mengetahui bahwa ternyata tulisan saya layak baca. Meski itu sederhana dan kacau di sana-sini, tetapi dengan adanya kritikan, saya semakin semangat untuk mengembangkan kekayaan ide, imajinasi dan ramuan bahasa yang saya punya.

Harga Mati adalah satu tulisan yang spontan. Ide itu tiba-tiba meletup saat mengingat sebuah sms mantan gebetan jaman sekolah (tsaaah…) yang mengatakan bahwa, “Saya ndak pernah membayangkan datang ke rumahmu untuk mengantar istri yang akan melahirkan.” Oke. Ini bisa jadi tagline cerita tentang perselingkuhan (note: saya tidak pernah jadi selingkuhan gebetan saya itu #dijelasin).

Fireworks adalah sebuah cerita yang selama ini mengganggu pikiran saya yang terinspirasi dari beberapa serial Korea, dimana karakter perempuan berpura-pura menjadi laki-laki, dan si laki-laki kemudian jatuh hati dan bimbang tentang orientasi seksualnya sendiri. Bukan berarti saya bingung dengan orientasi saya (peluk @TomFelton). Tapi saya membayangkan, bahwa orang-orang dengan orientasi seksual yang ‘berbeda’, mungkin pada awalnya ada sebuah penyangkalan dalam dirinya. Ketakutan dan perang batin, menjadi mimpi buruk selama berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Mungkin seperti itu. Dan entah kenapa, saya ikut merasa sedih ketika ada orang-orang yang tidak bebas menjadi dirinya sendiri saat jatuh cinta. Seperti kata Ryan (bukan dari Jombang. Tapi karakter fiksi di cerpen saya), “Tidak peduli kamu laki-laki, alien atau setan, aku mencintaimu.” Ya… Seharusnya cinta bisa sesederhana itu bukan?

Makin lama, saya bisa ‘melihat’, ternyata banyak ide yang bisa dikembangkan. Banyak sekali. Bahkan dari gombalan konyol yang sering dilontarkan di Twitter (Happily Ever After), dari mimpi seorang sahabat saat dia terobsesi pada idolanya yang beda agama, atau dari satu kalimat Sumpah Dokter yang pernah saya ucapkan beberapa tahun lalu (cerpen yang ini belum saya post. Bhihihiks). Pada intinya, banyak hal ‘remeh temeh’ yang bisa dijadikan sumber inspirasi dan pembelajaran. Bukan sekedar untuk dijadikan ide tulisan, tapi bisa lebih dari itu.

September tahun ini sudah berakhir, tapi mudah-mudahan semangat saya tidak ikut padam seperti Gerakan 30 September PKI (mulai garing). Selamat berkumpul bagi para pecinta kata di acara gathering @PosCinta - Bandung. Salam hangat dari Alor – Nusa Tenggara Timur (sebuah kepulauan dengan pantai-pantai yang keren #PromosiTerselubung). Mudah-mudahan, lain waktu saya bisa ikutan mejeng bareng, wahai penulis-penulis keren (cium jauh).

Akhirnya, saya berterima kasih pada @PosCinta atas proyek #30HariLagukuBercerita di bulan September ini. Istilahnya, proyek ini mampu membuka lagi ide-ide yang selama ini terabaikan dalam lembar-lembar gyrus otak saya. Benar-benar bikin September makin ceria (dan juga karena cerita saya pernah masuk jadi cerita pilihan –meski cuma- dua kali ihihihi). Terima kasih pada @gembrit dan @sunoesche yang saya mensyen tiap tiga hari sekali, terima kasih sudah mau membaca tulisan saya yang masih berupa tunas. Semoga selanjutnya saya rajin siram-siram dan kasih pupuk (wide grin). Mohon kritik dan sarannya :’)

Terima kasih untuk @si_nu dan @Mpiit, dua sahabat yang menjadi kritikus tulisan-tulisan saya. Maap yeee udah maksa-maksa untuk baca mwahahahaha (5S ~ Sun Sing Suwi Sampe Semaput). Dan terima kasih buat semua yang mau mampir ke blog saya (peluk cium buat yang perempuan, virtual hug buat yang laki-laki). Jangan bosen datang ke noichil.tumblr.com yaaa :*

And I want to thank you

For giving me the best day(s) of my life

ditulis @noichil dalam http://noichil.tumblr.com | Thank You

Fantasiku Kamu

Suara ringtone telepon genggam Dhimas memaksanya untuk menghentikan kegiatan membaca buku berjudul Abarat karya Clive Barker. Dengan agak malas, Dhimas meraih telepon genggamnya dan satu pesan singkat sudah menunggu untuk dibuka. Pesan singkat dengan nama pengirim Mahendra, salah satu teman baiknya.

                “Dhimas, sebentar lagi temen gue sms lo, dia mau kenalan katanya,” kata-kata itu berpendar kecil di layar telepon genggam Dhimas.

                Buset, Dhimas membatin, siapa lagi yang dia kasih nomor gue? Dhimas menghela nafas pendek, namun ia tetap tersenyum. Mahendra ini sudah sering menjodohkan Dhimas dengan teman-temannya, dan sebagai pria gay dengan pertemanan yang luar biasa luas, entah sudah berapa orang yang menggenggam nomor Dhimas.

                Dhimas sebenarnya tak keberatan Mahendra memberikan nomornya ke berbagai pria. Toh Dhimas baru-baru saja menyendiri untuk alasan yang tak ingin ia ingat lagi, karena bagi Dhimas, terjebak di masa lalu itu bagaikan sedang berlari kencang di atas mesin treadmill: mati-matian berlari tapi tidak maju-maju, stagnan, lelah, dan memberikan ilusi pahit soal masa depan. Pun begitu, Dhimas adalah orang yang sulit jatuh cinta. Berkali-kali Mahendra menjadi semacam mucikari bagi Dhimas, berbagai pria diperkenalkan melalui temannya itu, tapi tetap saja tak ada yang mampu membuat Dhimas merasakan kembali satu dekapan yang membuatnya nyaman, mirip kisah-kisah fantasi romantis yang sering ia baca.

                Ya, Dhimas amat menyukai cerita-cerita roman berjenis fantasi, namun begitu, baginya kisah-kisah fantasi romantis adalah harapan palsu bagi mereka yang merindu cinta. Novel dan cerita itu begitu manis, terlalu manis malah, dan segala sesuatu yang terlampau manis bakal membuat seseorang muak. Dhimas menyadari itu, dan setidaknya ia menganggap cerita fantasi hanyalah hiburan semata. Tidak, kisah romantis bukan solusi, dan realita adalah teman terbaik Dhimas, dan teman terbaiknya itu selalu berkata bahwa kisah cinta antara dua pria tak akan pernah berhasil. Harapan paling palsu terletak pada percintaan dari jenis kelamin yang sama!

—Sebagai perempuan yang terbiasa tertindas, Sati tak pernah ingin dihargai. Keinginannya itu ia tinggalkan jauh-jauh sejak dulu. Sati tidak punya sahabat, karena satu-satunya teman terbaiknya adalah realita—
 

                Beberapa menit kemudian, layar telepon genggam Dhimas menyala. Satu pesan telah masuk dari nomor yang tak dikenal Dhimas sebelumnya. Pesannya cukup singkat, hanya berisi: “Hai, aku Rama, tahu nomor kamu dari Mahendra. Boleh kenalan? :) ”

                Dhimas melengos. Jari jemarinya dengan cepat membalas, “Hai, Rama. Ya tentu saja boleh,”

                “Jadi katanya kamu lagi nyari pacar?”

                Ha? Gak ada basa-basi banget! Gila ini orang! Gila! batin Dhimas. Matanya melotot ke layar telepon genggamnya. Heran.

— Bagi Sigurd, batas waras dan gila bisa saja terbengkalai ketika cinta sudah bermain di dalamnya. Tak ada yang tahu, tak ada yang mengerti—

                “Iya, kok tahu?” Dhimas membalas.

                “Wah, aku juga. Jadi?”

                Dhimas semakin melotot dan jari-jemarinya semakin cepat membalas, “Gini ya, Rama, aku gak mau terburu-buru. Sesuatu yang mudah didapat akan mudah hilangnya,”

                “Aku tahu kok, Dhimas. Semua istana selalu berawal dari batu kerikil, bukan?”

                “So?

                “Boleh kita bertemu kapan-kapan? Aku ingin mengenalmu lebih jauh,”

                Dhimas menarik napas dalam-dalam. Jari-jemarinya kini mengetik kalimat “Ya, tapi sebelumnya mari bertukar Yahoo Messenger,” lalu menekan tombol Send. Entah takdir akan memberinya harapan sepalsu apa lagi kali ini.

* * *
                Maka di sinilah Dhimas sekarang, di Senayan City, dan peluh membanjiri keningnya karena kebodohannya dalam membaca peta Jakarta dan berakhir dengan perjalanan kaki dari Komdak. Pendingin ruangan di Mall ini sedikit demi sedikit mengeringkan keringatnya, dan kepala Dhimas tak henti-hentinya mencari sosok Rama. Sudah beberapa minggu semenjak ia dan Rama intens chat di Yahoo Messenger dan pesan singkat, dan ini adalah hari yang mereka tentukan untuk bertatap muka untuk pertama kalinya.

                Seorang pria melambaikan tangannya. Senyumnya begitu manis dan tulus, dan Dhimas membalasnya dengan senyum kelelahan.

                “Kok keringetan gitu?” Rama memandangi kening Dhimas.

                “Iya, jalan kaki dari Komdak jauh yah ternyata,”

                “Serius?!” Rama menatap bulat-bulat Dhimas.

                Dhimas mengangguk. “Cari tempat duduk, yuk!” Tanpa menunggu persetujuan dari Rama, Dhimas berjalan ke arah foodcourt, kemudian duduk.

                “Jadi, pingin mengenalku?” Dhimas bertanya.

                “Sebenarnya bingung juga sih mau nanya apa,” Rama tersipu. Kacamatanya melorot sedikit, “So, sudah menjomblo berapa lama?”

                Dhimas kembali dibuat terkejut dengan pertanyaan langsung dari Rama. “Ah! Aku tak mau mengingatnya,”

                “Kenapa?”

                “Pokoknya gak mau! Ogah!” Dhimas menunduk.

                “Yah, apapun itu, mungkin karena kamu belum memaafkan dirimu sendiri,” Rama tersenyum. “Maaf yah aku mengingatkanmu akan masa lalumu,”

 — Jabberwock tersenyum manis. “Terimalah dirimu, Alice. Terimalah kenyataan dan jangan pernah lari darinya. Kenyataan mengejarmu lebih cepat dari yang bisa kau bayangkan. Terimalah dan maafkan dirimu sendiri. Phantasma hadir karena penyangkalan terhadap dirimu,”—

                Dhimas menatap Rama dalam-dalam. Belum pernah dalam 24 tahun hidupnya ia bertemu dengan pria blak-blakan seperti Rama, dan di balik keterusterangannya itu, tersimpan kebijaksanaan yang begitu luas. Dhimas tak mampu berkata apa-apa. Ia kini tercebur di antara realita dengan harapan. Sosok pria di depan Dhimas ini, yang bisa dirasakan oleh seluruh panca indera Dhimas, justru begitu terkesan fantasi. Begitu indah secara fisik, begitu menenangkan secara hati.

                “Yah asal tahu saja sih,” Rama kembali berbicara, “Satu-satunya yang bikin masuk akal saat depresi itu yah tindakan cinta dan memaafkan,”

—“Jeanne. Hapuskan dendammu. Dua unsur utama pembentuk hati manusia adalah tindakan memaafkan dan tindakan cinta, dan kau menunjukkan betapa besarnya dua aspek itu di hatimu,”—

                “Ih kok kamu jadi puitis sih?” Dhimas tertawa kecil. “Mirip deh kayak orang lagi jatuh cinta untuk pertama kali,”

— Leo tertawa. “Ya, tentu saja, Paus. Cinta itu termasuk rahasia, terlebih cinta pertama. Asal tahu saja, kebahagiaan hadir di tiap cinta, tidak hanya yang pertama tetapi juga yang kedua, ketiga, dan seterusnya,”—

                “Gimana kalo aku bilang bahwa aku memang suka kamu?” pipi Rama mulai bersemu. Ia menggigiti bibir bawahnya, pertanda bahwa keberanian telah memaksanya untuk mengutarakan isi hati.

                Dhimas sedikit tersedak saat Rama berucap kalimat itu. “Tapi, kita kan baru aja ketemu?” Mata Dhimas kini makin dalam menatap mata Rama.

— Mata mereka bertatapan, dan tak pernah dalam hidup Mei Xia ia melihat mata yang begitu dalam dan tenang. Perasaan rindu yang sulit dimengerti dirinya sendiri saat melihat sosok Huang Long, meski saat itu adalah pertama kalinya mereka bertemu.—

                “Dhimas, dengar,” Rama berdeham sedikit. “Mungkin ini terdengar bodoh, tetapi aku tahu aku telah jatuh hati padamu saat aku melihat semesta di matamu,”

                “Semesta di mataku? Mungkin itu pantulan sosokmu,” Dhimas membalas puisi Rama. “Tapi aku hanya ingin mengingatkanmu: kita berdua pria. Kau siap dengan konsekuensinya?”

                “Sekarang aku ingin bertanya padamu, Dhimas, apakah Tuhan Maha Adil?”

                “Ya, tentu saja,”

                “Kalau begitu ia tidak diskriminatif pada satu kelompok hanya karena ia berbeda selera, bukan?” Rama tersenyum, “jadi konsekuensi apa? Aku mencintai Tuhan, dan atas nama Tuhan yang aku anut, aku mencintaimu,”

—“Tuhan mencintai kita, Garcia, maka cintailah setiap manusia. Cintailah mereka layaknya saudaramu sendiri,” kata Ibunda Garcia lagi dalam ingatannya—

                Dhimas bisa merasakan kedua telinganya memerah. Tak henti-hentinya ia berpura-pura membenarkan kacamatanya untuk menutupi rasa malunya. Ia tersentuh dengan ketulusan Rama, dan idealism-nya soal percintaan antara dua pria runtuh sudah. Dhimas sudah membulatkan tekad, ia juga akan melakukan apapun demi Rama.

— Nimpus tersenyum. “Aku tak pernah meragukanmu, Rax. Aku bisa saja ditakdirkan untuk menjadi pelindungmu.”—



                Dhimas menyentuh jemari Rama. “Rama, aku hanya ingin bilang: fantasiku kini adalah kamu,”

* * *

                “Kita bertemu lagi, Brynhild,” Sigurd tersenyum manis, “setelah beribu-ribu tahun jiwa kita berkelana dari satu tubuh ke tubuh yang lain,”

                “Oh Sigurd,” Brynhild membalas senyuman manis Sigurd dengan pelukannya, “betapa aku merindumu!”

                “Aku tahu, sayang,” Sigurd mengecup kening Brynhild, “aku juga merindumu,”

                “Aku bahagia akhirnya Dhimas—tubuh reinkarnasiku saat ini—bertemu denganmu,” Brynhild semakin mempererat pelukannya. “Cinta memang hanya berjarak satu surga,”

                “Dan akan kuyakinkan tubuh reinkarnasiku, Rama, untuk terus menjagamu, sayang,”

                Perlahan tapi pasti, kedua bibir dari kedua jiwa itu saling bersentuhan.

* * *

Si Bijak Semesta kembali tertawa bahagia

Ia kembali menyatukan dua hati meski jarak keduanya berjuta hasta

Ia berhasil menyulam kalimat “Aku dan kamu” dan mengubahnya menjadi “Kita”

Ia telah menugasi samudera, agar perahu rindu menyampaikan pesan cinta


Si Bijak Semesta berhasil merajut dengan benang-benang hati, jadi satu dari dua

Takdir dalam bentuk bahtera bernama cinta

Dari berbagai tempat, jarak, dan masa

Dan dari dua jiwa yang sama

Yang bereinkarnasi dalam berbagai rupa:


Seorang Valkyrie dan seorang ksatria

Gadis bernama Mei Xia dan seekor naga

Dua Avago bersaudara

Asmodeus dan Arcadia

Alice dan Dunia Khayalannya

Joanna dan cinta pertama yang menjadi rahasia

Cermin di lobi sebuah hotel dan arwah seorang gadis di India

Seorang tentara dan sang Ibunda


Dan kini, tersulam kembali satu kisah cinta

Kisah cinta berujung bahagia

Cinta di antara dua pria

Antara Dhimas dengan Rama

ditulis @rebornsin dalam http://inwordswetrust.wordpress.com | My Fantasy is You

Harap (ku)

ini tentang harap
dimana disana kutitipkan cintaku kelak
dan kamu yang jadi sandarannya

harap itu pun kian kuat
seiring dengan kata rindu yang sering kau ucap
jari yang saling terikat
juga peluk yang melekat

dengan apa yang kita lalui bersama
aku yakin harap itu pasti berbalas nantinya

aku ingin menjadikannya nyata
dengan 3 kata

"aku cinta kamu"
ucapku pelan

kau diam
memandangiku sejenak
"maaf"
sambil beranjak, kemudian berlalu

ditulis @mengawali dalam http://catatan-awal.blogspot.com | Satu Bintang

Ellen

Sabtu, 18 Januari 2009. Hari itu benar-benar hari yang sangat mendebarkan. Jalanan yang macet, panas terik matahari yang sangat menyengat, dan suara bising klakson kendaraan yang sedang terkena macet merupakan kombinasi bagus untuk hari yang sangat buruk. Dalam keadaan yang sangat gak banget seperti itu, disana ada seorang pria umur 22 tahun sedang berlari menuju bandara. Ya, itu aku, Mario. Seorang pemuda yang harus berlari ke bandara dan meninggalkan kendaraannya yang sedang terjebak macet demi untuk menemui seseorang. Jarak bandara masih cukup jauh. Aku berlari sangat kencang, biasanya aku tidak pernah berlari sekencang dan sejauh ini. Sebagai seorang pemalas yang hampir tidak pernah olah raga, ini merupakan sebuah prestasi.

Dengan bercucuran keringat sambil clingak-clinguk seperti orang yang bingung karena ketinggalan pesawat, aku pun sampai di bandara ini. Selesai.

Eh tidak-tidak, cerita ini belum berakhir sampai disitu saja. Aku masih punya misi untuk mengejar wanita pujaanku. Ellen, temanku sejak aku kecil. Kami tumbuh besar bersama, jarak rumah kami pun berdekatan. Sudah sejak lama aku memendam perasaan padanya. Mungkin karena kebiasaan kami yang sering bersama sejak kecil. Kalau kata pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino” yang artinya “cinta itu bisa datang karena kebiasaan.” Tapi, aku adalah aku, tidak pernah berani untuk mengungkapkan perasaan. Seringkali  aku sedih jika dia berpacaran dengan pria lain, namun terkadang ikut senang ketika melihat dia begitu bahagia. Saat ini dia sedang sendiri, inilah kesempatanku untuk mengungkapkannya, sebelum dia pindah ke luar negeri untuk menyusul orang tuanya.

Aku terus mencari, sampai mataku tertuju pada seseorang wanita berkulit putih alami, eksotis, dan juga sangat cantik. Itu Ellen, aku bergegas menghampirinya. Dia pun melihatku, dengan segera dia tersenyum padaku.

“Kenapa kau tidak berpamitan padaku? Ponselmu juga tidak aktif, apa kau sudah melupakanku?” tanyaku.

“Tidak, aku bukan orang yang akan melupakan teman baiku begitu saja. Aku hanya tidak ingin melihat kau menangis.” Jawabnya.

“Hei, aku ini pria kuat, bukan tipe pria yang akan menangis saat ditinggal teman baiknya.”

“hahaha, kau tampak gugup.” Dia tertawa dan mengeluarkan senyuman yang sangat manis. Senyuman paling manis kedua yang pernah aku lihat setelah senyuman ibuku.

“apa kau yakin benar-benar ingin pergi?” tanyaku.

“Ya, aku sudah sangat yakin, jangan mematahkan keyakinanku dengan muka cengengmu itu. Oh ya, kau kan sudah jauh-jauh menyusulku kesini, sambil menunggu penerbangan bagaimana kalau kita menikmati secangkir kopi?” pintanya.

“ Ide bagus, tapi aku berharap ini bukan minum kopi bersama untuk yang terakhir.” Kataku.

Dia hanya tersenyum, menggandengku, lalu memintaku untuk membawakan barang-barangnya.

“huh, dasar, kau masih saja suka merepotkan orang lain.” Gumamku.

“hei, ayolah, kau kan pria kuat. Anggap saja aku merepotkanmu untuk yang terakhir”

“Eh, aku tidak mau kalau yang terakhir. Lain kali kau boleh merepotkanku sesukamu.” Jawabku agak gugup.

Sambil membawakan satu kopernya yang agak berat di tangan kiriku, kami berjalan menuju salah satu coffe shop di bandara. Tangan kirinya menggandeng tangan kananku. Menggenggam erat seolah tidak ingin terlepas. Berat rasanya kalau harus meninggalkan kebiasaan kami yang sering bersama. Kami pun sampai di salah satu coffe shop di bandara. Masih dua jam sebelum keberangkatannya, akan aku manfaatkan sebaik-baiknya.

“Aku akan merindukanmu.” Kataku.

“Aku juga, aku akan sangat merindukan kegilaan-kegilaan yang hampir tiap hari kita lakukan. Aku akan merindukan suaramu yang jelek saat bernyanyi” sahutnya

“Enak saja jelek. Huh. Tapi pasti aku akan merindukan saat kau teriak-teriak tidak jelas di puncak gunung.”

“Hemm, itu meluapkan emosi, bukan teriak-teriak tidak jelas.” Katanya agak ngambek.

“Jangan lupakan aku, kabari kalau kau sudah disana. Ceritakan bagaimana tentang kehidupan di Irlandia.” Pintaku.

“Tentu saja, aku akan memamerkan apa yang tidak pernah kau temui di Negara ini.” Jawabnya.

Kami mengobrol sampai tidak terasa sudah satu jam dan dia harus segera chek in tiket penerbangan. Aku harus segera mengungkapkan perasaanku. Perasaan yang sudah sangat-sangat lama aku pendam.

“Ellen, ada yang ingin aku bicarakan sejak lama, sudah bertahun-tahun aku ingin membicarakannya.” Kataku sambil menggenggam erat tangannya.

“Apa? Tidak biasanya kau memendam apa yang ingin kau bicarakan padaku.” Tanyanya agak bingung.

“Aku mencintaimu. Sudah hampir tiga tahun ini. Entahlah, apa karena kebiasaan kita yang sering bersama, atau memang ada sesuatu pada dirimu. Tapi aku benar-benar mencintaimu.” Kataku dengan serius.

 “Apa kau bercanda? Kalau tidak, kenapa kau baru bilang sekarang, bodoh!” jawabnya sambil meneteskan air mata.

“Maaf, aku hanya tidak ingin melukai pertemanan kita.”

“Iya tapi kenapa baru sekarang? Kenapa malah disaat aku sudah mau pergi?” kali ini dia benar-benar menangis. “aku jadi semakin berat untuk meninggalkanmu, kau mengerti!”

“Maaf. Maafkan aku yang pengecut ini.”

“Sudahlah, aku harus pergi sekarang.” Dia berdiri dengan kondisi masih meneteskan air mata.

“Baiklah, aku tidak mau kau ketinggalan pesawat.”

Kami pun membayar kopi yang kami minum, segera meninggalkan coffe shop dan pergi menuju pintu perpisahan. Aku sangat sedih, ini benar-benar hal yang sangat menyedihkan dalam hidupku. Di pintu perpisahan, dia memeluku. Erat sekali, aku pun membalas pelukannya.

“Aku benar-benar sangat berat untuk perpisahan ini.” Katanya.

“Aku tidak akan menangis. Kau lihat aku kan, aku senang, bukan karena kau akan pergi. Aku senang karena telah mengungkapkan perasaanku.” Kataku sambil agak mewek.

“Aku harus pergi sekarang, kalau semakin lama disini, aku akan semakin menangis.”

“Ya, pergilah. Irlandia memang jauh, tapi pertemanan akan selalu mendekatkan kita.” Kataku.

“Aku pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik. Kelak kita akan bertemu lagi. kau harus berubah, paling tidak harus jadi lebih tampan dari yang sekarang.” Dia tersenyum.

“Kau menganggapku tampan? Hahaha, baru kali ini kau bilang begitu.” Kataku.

“Aku akan merindukanmu. Aku akan selalu menunggu sampai kita bertemu kembali.”

Aku pun tersenyum mendengar perkataannya itu. Seolah itu adalah harapan. Aku harus bekerja lebih giat, agar bisa menyusulnya ke Irlandia. Hari itu adalah hari yang sangat berat, kesedihan karena berpisah dengannya, pun ada senang karena aku telah mengungkapkan perasaanku. Di pintu keberangkatan kami berpisah. Disaksikan oleh mereka yang akan berpisah juga. Aku pun pergi, masih sedikit mewek, di jalan aku berpikir. Apa dia juga mencintaiku?

After all this time
Would you ever want to leave it
Maybe you could not believe it
That my love for you was blind
But I couldn’t make you see it
Couldn’t make you see it
That I loved you more than you will ever know
A part of me died when I let you go

(Lifehouse-Blind)


Beberapa  tahun telah berlalu, selama itu pula aku masih sering menghubunginya. Dia juga sering menghubungiku. Perpisahan jaman sekarang tidak seberat perpisahan jaman dulu. Teknologi komunikasi sudah canggih. Tapi berpisah tetap saja satu paket dengan kesedihan. Senin pagi, 18 Januari 2012. Aku sangat terkejut bercampur senang ketika menerima sepucuk surat dari Irlandia. Penasaran dengan isinya, aku buka surat itu dan ternyata bukan surat. Itu adalah undangan pernikahan Ellen. Sedih? Tidak, aku tidak sedih. Aku malah senang, dia bahagia disana, apalagi saat melihat foto prewed-nya, senyumnya benar-benar senyum dari seseorang yang sangat bahagia. Banyak teman-temanku bertanya, “kenapa tidak sedih di-PHP-in?” aku hanya menjawab; “bagi pria yang hatinya tegar sepertiku, PHP itu tidak lebih buruk dari pada ditolak oleh wanita J” lagi pula, itu bukan PHP.

ditulis @marioprakasa dalam http://marioprakasa.tumblr.com | Blind

I Do (Not)

 "Kasih aku waktu sebentar buat mikir"

Sudah lebih dari 15 menit sejak kamu mengucapkan kalimat itu. Berarti sudah 15 menit aku duduk diam menunggu layaknya orang dungu. Dan sudah 15 menit kamu memasang mimik 'sedang serius berpikir' di wajahmu.

"Hey, apalagi sih yang musti dipikirin??"
Rasanya ingin sekali aku meneriakkan pertanyaan ini sambil mengguncang-guncang bahumu.

Ya, apalagi yang sebenarnya musti kamu pikirkan?

Aku kira kedekatan kita selama tiga bulan tidak akan membuatmu harus berpikir sekeras ini. Pergi berdua setiap malam minggu, berjalan bergandengan, menonton bioskop sambil berpegangan tangan, pelukan selamat jalan di depan pagar kos-kosan, saling mengirim pesan singkat sepanjang hari, menelpon hingga ketiduran di tengah malam, bercanda mesra di jejaring-jejaring sosial...

Apakah semuanya masih belum cukup?

Apalagi yang harus kamu pikirkan?

Seingatku kamu tidak harus berpikir selama ini saat membalas ciumanku di hari ulang tahunmu. Kamu pun langsung menerima buket bunga yang kubawa dengan raut wajah yang gembira di suatu malam minggu. Kamu tanpa pikir panjang mengucapkan 'kangen' saat 4 hari berturut-turut kita tidak bertemu.

Lalu apa yang sebenarnya saat ini kamu pikirkan?

Tiba-tiba kamu menegakkan kepalamu dan memandangiku. Selama beberapa menit hanya itu yang kamu lakukan. Aku bisa merasakan jantungku memompa darah lebih kencang dari yang seharusnya. Rasa percaya diri yang kubawa dari rumah seakan luruh pelan-pelan.

Lalu kamu menghembuskan nafas panjang, tersenyum dengan sangat manis.
Sebelum akhirnya mengulurkan
tangan kirimu.

"Maaf ya"

Madu di tangan kananmu,
racun di tangan kirimu
Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku...


ditulis @malatsih dalam http://malatsih.blogspot.com | Madu dan Racun

Sebuah Prolog

    Kamu bisa datang pada hidup seseorang kapan saja

    tapi saat pergi, kamu ga bisa meninggalkannya gitu aja

Seseorang pernah berkata padaku seperti itu. is that true? mungkin. tapi menurutku itu seratus persen benar. untuk masuk ke kehidupan seseorang adalah mudah, tapi bagaimana saat kita ingin pergi meninggalkannya karena sesuatu hal? mampukah kita pergi dengan catatan yang manis atau malah kecacatan yang membuat hati miris.  Sekali lagi kembali pada niatnya.

Dan mari kita bicara tentangku, tentang kisah cintaku. bukankah kau selalu senang dengan kisah cinta dan kehidupan seseorang? selalu ingin tahu bagaimana caraku menyembuhkan luka pelan-pelan bukan?

Baiklah, mari kita bicara tentang janji-janji yang lebih sering diingkari daripada ditepati. tentang harapan-harapan yang tak pernah menemukan kepastian. dan tentang impian yang sering kandas ditengah jalan. kadang aku bertanya pada diriku sendiri. adakah kesalahan pada diriku saat memperjuangkannya? atau ini hanya soal kekeliruanku dalam memilih siapa yang harus kupercayai dan pantas kuserahkan kepercayaan untuk menjaga perasaan.

Aku ini orang yang mudah percaya, mudah sekali jatuh cinta. Maka perempuan, janganlah bermanis-manis didepanku jika memang tak mau. kau tak tahu bukan, kapan senyummu atau kata-katamu dapat menggetarkan perasaan seseorang. rayuan ibarat anak panah yang siap dilesakkan. dan bibirmu adalah busurnya. sekali kau berucap, ia lepas melesat tanpa bisa kau hentikan. dan bagaimana jika kau terlanjur menancapkan anak panahmu pada hati seseorang yang tak kau harapkan? bisakah kau hanya sekedar meminta maaf kemudian berkata “maaf, ini kecelakaan yang tak diduga”. dan bisakah kata maafmu menghapus bekas luka yang kadung tergores dihatinya. sempatkah kau pikirkan berapa lama ia harus sembuhkan luka sendirian? relakah kau mengobatinya pelan-pelan? jika tak mau, maka simpan saja ucapanmu. jangan katakan apapun yang dapat membesarkan hati seseorang. diam lebih baik untukmu.

Percayalah, disakiti dan menyakiti hanya soal giliran. ini bukan tentang karma. Ini tentang roda kehidupan yang selalu berputar. suatu saat kau akan merasa senang saat dikejar. Tapi nanti saat kau berpeluh berbasah-basah mengejar bayang sang pujaan, ingatlah betapa dulu kau juga pernah membuat kalang kabut hidup seseorang.

Itu yang pertama, yang kedua adalah tentang menjadi yang kedua. bingung kan? ya sudah, pura-puralah mengerti sampai kau lupa bahwa kau sedang pura-pura. Menjadi pilihan kedua selalu tak enak bukan. saat kau menganggap seseorang adalah segalanya tapi ia menganggapmu hanya sebagai sebuah opsi pilihan, bagaimana rasanya? kecewa? jelas. sedih? pasti. Tapi apa yang bisa kau lakukan selain hanya berusaha membuktikan? tak ada. Kau hanya perlu berdoa dan berusaha, itu saja. Berharaplah cinta datang padanya dengan cepat, hingga kau tak perlu menunggu terlalu lama jawabannya. Atau bagaimana jika kau tegaskan saja padanya. “pilih aku atau dia?” mungkin itu akan memberikan sedikit shock terapi padanya. betapa dia akan kaget dengan pendirianmu yang tiba-tiba meminta kepastian setelah sekian lama nyaman dalam zona abu-abu. Ayolah, setiap orang berhak bahagia. setiap orang berhak jadi yang pertama. Lalu kenapa masih saja kau sia-siakan waktumu dengan sesuatu yang kubilang tadi ‘abu-abu’. Bahagia itu pilihan, dijadikan yang kedua adalah sebuah kebodohan. Cinta seperti permainan catur kawan, tak ada tempat untuk orang ketiga.

Atau mungkin kau masih gamang dengan janji-janji manisnya yang sebetulnya entah kapan akan direalisasikan? Tegaslah pada dirimu sendiri. Sebetulnya yang menahanmu pergi bukan kasih sayangnya. tapi keragu-raguanmu dan ketidak-yakinanmu bahwa kau akan bisa bahagia tanpa dirinya. Dulu, sebelum ada dirinya hidupmu baik-baik saja bukan. Kehilangan itu memang sesuatu yang menyakitkan, tapi biasakanlah. Bukankah ada peribahasa “bisa karena terbiasa”. Cintapun begitu.

Kekecewaan datang karena ekspektasi yang berlebihan. berharap boleh, tapi jangan terlalu. Menyandarkan kebahagiaan pada seseorang adalah rentan. Berdoalah semoga hatimu bisa diteguhkan. Mintalah pada-Nya saat kau sedang berdoa. Karena ia satu-satunya yang tak akan pernah mengecewakanmu. lebih bisa membedakan, mana yang lebih kau butuhkan dan mana yang hanya kau inginkan.

ditulis @kacang_almond dalam http://kacangalmond.tumblr.com | Kedua

Ingkar

Di ruang yang minim pecahayaan. Hanya sebatang lilin yang menyala kecil menyinari satu ruang sempit yang terlihat. Listrik malam itu lenyap.

“Mala, ayok.. Please.. Satu kali aja?”

“Tapi, Rud, gue nggak mau kayak gini.”

“La, lo nggak cinta ya, sama gue? Kalau lo cinta, gue butuh bukti!”

“Tapi apa harus kayak gini caranya, Rud?”

Sesekali terlihat kilat dari langit bak lampu flash pada kamera. Memotret satu ruang kost kecil yang tengah dirambah iblis dan kawannya.

Hujan turun. Suara rintiknya bagai alunan musik mengiringi sesenti paksa demi nikmat yang diminta.

“Ntar kalau gue hamil?”

“Lo pikir gue nggak bakal tanggung jawab? Gue cinta sama lo, La. Kalau lo hamil, itu anak gue. Gue pasti tanggung jawab!”

Dear, Malaikat. Maaf, malam ini kau dikalahkan Iblis…

***

Pagi tak secerah hari kemarin. Mendung dan hujan berkolaborasi, menciptakan angan yang seolah tak ingin lepas dari pembaringan.

“Yang, bangun. Kuliah pagi, kan?” lirih Mala tertahan kantuk.

“Bentar lagi ah, Yang. Dingin. Sini aku peluk.” balas Rudi.

“Yang, kamu yakin kan, mau tanggung jawab semisal gara-gara ini aku hamil?”

“Iya lah, Yang. Harapanku emang suatu saat bisa nikah dan punya anak dari kamu…” jawab Rudi, memanja. “Yang, sarapan yuk..” lanjutnya.

“Sarapan?”

“Iya, sarapan. Kalau kata Christina Aguilera, sex for breakfast!”

Dan terulang lagi yang semalam tadi. Mala… Mala… Katamu tak ingin, nyatanya menagih.

Pergumulan di antara rintik hujan. Saking asyiknya, mereka berdua tidak sadar ketika suara pintu kamar kost berdenting ada yang membuka.

“Mala! Rudi!” pekik seorang wanita dari balik pintu.

“Sandra…” balas mereka bersamaan.

Setelah keterkejutan yang menarik di pagi itu, pintu kembali tertutup rapat dalam sunyi.

Sandra adalah teman satu kamar kost yang disewa Mala. Mereka saling mengenal karena Sandra lebih dulu kenal Rudi, yang pada akhirnya menjadikan Sandra dan Mala sebagai seorang sahabat, karena Mala adalah pacar dari Rudi. Walaupun kamar itu terkunci, tapi Sandra punya cadangannya. Bisa dia buka pintu itu semau-maunya. Dan hari ini Sandra pulang dari libur panjangnya di kampung halaman.

Rudi, Mala dan Sandra. Mereka teman satu kampus. Sama-sama anak rantau.

***

“Gila, La. Lo sampe sejauh itu gue tinggal sebulan liburan doang?” seru Sandra ketika Rudi sudah pergi dari kamarnya.

“Kalau dibilang nyesel, serius gue nyesel. Tapi dia janji kalau ada apa-apa sama gue, dia bakal tanggung jawab,” balas Mala. “Lo kan lebih lama kenal sama Rudi. Menurut lo, Rudi itu orang yang tanggung jawab nggak, sih?”

“Sebaik-baiknya orang ya, La, tetep susah ditebak. Apalagi cowok!”

“Ah, enggak ah! Gue percaya kok sama dia. Gue yakin Rudi orang yang tanggung jawab.”

“Terserah lo deh, La. Asal jangan jadi harapan palsu aja nantinya…”

Sandra… Memang, terkadang perhatian malah tidak tersampaikan dengan baik ketika satu orang yang diperhatikan sedang terbuai dengan dunianya yang padahal bisa membuat hancur di kemudian hari.

Setelah hari itu, terkadang ada waktu ketika Mala meminta Sandra sejenak menyingkir ketika Rudi datang. Tapi setelah merasa tidak nyaman, Sandra benar-benar pergi dan memilih untuk menyewa tempat lain.

Ada banyak kejadian lain setelah malam pertama itu. Tanpa berpikir akan resiko, Mala dan Rudi rutin melakukannya.

Dear, Malaikat. Maaf, berkali-kali kau kalah oleh Iblis…

***

Masih di kamar kost Mala. Hari itu, Rudi berniat mengulanginya lagi, tapi tertahan ketika raut muka Mala terlihat sangat serius.

“Rud, gue hamil…” diakui Mala.

“Hah? Bohong! Dari mana lo tau? Udah ke dokter?”

“Dua bulan, Rud. Gue takut!”

“Udah santai aja, La. Mm.. Gue tanggung jawab, kok. Besok lo tunggu gue di belakang kampus. Biar gue ngomong dulu sama nyokap gue.”

Besok di belakang kampus, kata Rudi. Tapi tidak. Besok yang dijanjikan nyatanya tidak ada Rudi di belakang kampus.

Sebenarnya banyak kesempatan mereka bertatap muka, tapi Rudi menghindarinya. Sampai pada suatu ketika Mala terlihat memaksa…

“Rud! Lo kok gitu, sih? Tunggu! Gue mau ngomong bentar!” teriak Mala.

“Lo nggak usah teriak-teriak bisa nggak, sih? Kita ke belakang kampus!” ajak Rudi.

Hanya basa-basi, toh sesampainya di sana juga tidak ada jawaban pasti.

“La, gue udah ngomong sama nyokap gue,” ucap Rudi, sembari memberikan satu amplop coklat kepada Mala. “Itu uang dari nyokap. Lo disuruh aborsi.”

“Aborsi? Gue udah duga…” balas Mala dengan nada santai.

“Ya terus mau lo apa? Gue nggak bisa tanggung jawab. Nyokap gue nggak mau nerima lo jadi menantunya!”

“Oke! Fine! Gue bakal lahirin anak ini.”

“Lo udah terima duitnya, itu duit buat aborsi, bukan buat ngelahirin anak!” pekik Rudi, matanya menajam. Merasa sudah aman, Rudi pun dengan perlahan meninggalkan Mala sendiri. Dia beranjak pergi.

Oh pacarku, kenapa kau putuskan aku?

Padahal aku masih sayang kamu, kok kamu pergi meninggalkanku?

Oh pacarku, mengapa kau putuskan aku?

Padahal kamu berjanji padaku, takkan pernah meninggalkanku…


(Shaden – Pacarku)

Ternyanyikan secara akapela, dengan suara yang lirih seperti mau mati..

“Rud, lo inget baik-baik ya. Hari di mana anak ini lahir, gue pastiin itu bakal jadi hari kematian lo!” gerutu Mala.

Rudi yang tadinya berjalan pergi dari dekat Mala, sejenak menunda langkahnya. “Gimana kalau lo yang mati duluan?” ucapnya sembari memutar badan. Tapi, percuma, Rudi agak terkejut ketika ternyata Mala sudah beranjak dan menghilang dari posisinya tadi.

Tidak sampai di situ, ada kejutan lain ketika Rudi melanjutkan langkahnya pergi. “Anjrit! Sandra?! Lo ngapain di sini?” kejutnya ketika Rudi melihat Sandra sudah ada tepat di depan matanya.

“Hei, Rud. Kaget ya? Takut ya kalau gue denger semua yang lo bicarain?”

“Tapi lo udah denger semua, kan?”

“Rud, gue ada rencana, nih. Gimana kalau kita aborsi paksa aja si Mala? Gue bantuin!” ujar Sandra.

“Lo serius, San?” tanya Rudi dengan ekspresi heran.

Lagi-lagi Iblis sedang bermain-main. Apa sebenarnya Malaikat itu benar-benar ada? Atau memang dunia ini sudah dikepung Iblis?

Rud, jangan janjikan untuk apa yang akan kau ingkari, dan jangan berikan harap untuk apa yang akan kau dustai.

***

Sayang, sejak hari itu Mala seolah lenyap. Tempat kost lama sudah ditinggalkannya. Kegiatan perkuliahan juga tidak lagi diikutinya. Mala benar-benar menghilang.

San, lo dmn?

Sender : Mala (087878349xxx)

Tapi tidak untuk hari ini, ketika ponsel Sandra berdering. Satu pesan singkat dari Mala setelah berbulan-bulan dia menghilang.

La? Lo yg kmn aja? Lo udh dpt rmh baru? Gue ksna ya?!

Sent to : Mala (087878349xxx)

Kabar baik, untuk Sandra ataupun Rudi. Langkah kaki Sandra mulai dipercepatnya. Sandra berjalan mencari Rudi.

“Rud! Mala SMS gue! Gue udah dapet alamatnya! Tapi tenang aja, Mala nggak tau gue ada di pihak siapa.” seru Sandra.

“Serius lo? Tapi tunggu bentar deh, Mala ilang udah dari berbulan-bulan lalu. Mungkin dia udah ngelahirin, San?”

“Enggak! Gue udah nanya tadi. Dia lagi hamil tua, dia bilang prediksi dokter tiga hari lagi anak itu keluar. Gue diminta Mala buat nemenin dia. Sebelum anak itu lahir, kita masih bisa ngelakuin apa aja biar anak itu nggak ada di dunia ini!”

“Oke! Kapan kita ke sana?”

“Dua hari lagi! Santai, Mala tinggal sendiri. Dia sembunyi dari orang-orang. Mungkin dia malu sama keadaannya yang kayak gitu.”

Ini masih soal rencana Iblis. Lalu, kapan Malaikat itu berencana?

***

Sampai pada hari yang terlingkar merah pada kalender. Hari itu sore, rencananya Sandra dan Rudi akan membawa Mala pergi pada malam harinya.

“San, serius ini rumahnya?”

“Yakin kok, gue. Ini persis kayak yang dibilang Mala. Tapi aneh, jauh dari keramaian.”

“Masuk?”

“Ayok!” balas Sandra.

Satu pintu terlewati, sebuah gerbang kecil dari kayu. Sandra dan Rudi sudah berada di halaman rumah Mala.

Dengan pelan, Sandra mengambil satu bongkahan batu besar yang dilihatnya. “Buat bekal ntar sampe di dalem.” ucapnya. “Buka pintunya, Rud.” lanjutnya.

Dengan perlahan Rudi memegang daun pintu rumah itu. Baru saja beberapa detik dia masuk, tiba-tiba saja bongkahan besar batu yang dibawa Sandra tadi mendarat di kepala Rudi. Rudi tersungkur di lantai, tidak sadarkan diri.

Sandra, tidak salah sasarankah kau?

Tidak, karena pada dasarnya memang selama Mala pergi, Sandra tetap berkomunikasi dengannya. Mereka berkomplot.

***

Malam yang begitu panas. Sama seperti dulu, hanya ada satu cahaya lilin yang mengusir gelap.

Rudi yang tidak sadarkan diri pelan-pelan terbangun karena mendengar suara ketukan yang cukup keras pada lantai yang ditidurinya. Dia merasa ada yang sakit di telapak tangannya.

Mata Rudi benar-benar terbuka, makin menjadi kesakitannya ketika dia tahu dua tangannya sudah terpaku pada lantai.

“San, sakit San…” lirihnya kesakitan. Matanya menguluh, melihat Sandra yang tengah sibuk bermain dengan paku dan palu.

Tidak sampai di situ, Sandra mengambil dua buah paku lagi. “Rud, buka mulut lo lebar-lebar!” ucap Sandra dengan nada yang dingin.

Dua paku itu dipakainya sebagai penyangga dari gigi atas dan gigi bawah Rudi, membuat Rudi yang tengah kesakitan tidak bisa bisa menutup mulutnya lagi.

Keterkejutan bertambah, ketika Sandra beranjak, adalagi satu perempuan yang tengah mengaduh memegangi perutnya yang menggunung.

“San, lo bisa tinggalin kita berdua?” ucap perempuan itu. Dia Mala.

Beberapa detik Sandra pergi, Mala beranjak menyeret tubuhnya. Dengan sangat berhati-hati dia mengangkat tubuhnya, mengangkang tepat pada muka Rudi di bawahnya.

Satu kain penutup bagian bawah tubuh Mala dilepasnya. Antara rintihan kesakitan Rudi dan mala kini beradu.

“Rud, gue kembaliin apa yang udah pernah lo kasih…” rintih Mala.

Liang kewanitaan Mala mengeluarkan begitu banyak cairan. Ketuban pecah, tepat di atas mulut Rudi yang mengadah.

Jerit kesakitan Mala semakin menjadi, ketika satu nyawa, bayi mungil yang ada di perut Mala ingin segera keluar.

“Rud! Ini anak lo, Rud! Cucu dari nyokap lo!”

Perut Mala seolah pecah. Semua isinya keluar tepat di muka Rudi.

Ada banyak darah di sana. Darah bercampur air ketuban, dan juga air kecing. Semuanya tumpah di muka Rudi yang mulutnya terbuka lebar. Rudi menangis seiring dengan suara tangis bayinya.

Mala yang lemah akhirnya jatuh terduduk di dada Rudi.

“Rud… Lo jahat sama gue…” ucap Mala dengan sangat lemah. “Harusnya lo nggak usah kasih gue harepan, kalau nyatanya harapan itu cuma enak di elo, dan nggak enak di gue…” lanjut Mala yang akhirnya menjatuhkan tubuhnya di dekapan Rudi. Rudi tidak bisa bicara, ada kubangan darah di mulutnya.

Sandra yang juga tengah menangis, masuk ke ruangan itu untuk mengambil bayi Mala.

“La, serius lo nggak mau gue panggilin dokter?” tanyanya.

“San, makasih ya. Gue bentar lagi mati, kok. Nggak perlu ada dokter,” ucap Mala ringkih. “San, seperti rencana awal. Taruh bayi itu di panti asuhan. Satu lagi, bakar rumah yang gue beli pake duit nyokap Rudi ini. Sekarang!!” lanjutnya.

Sandra pelahan melangkah keluar meninggalkan Mala yang akan melepas nyawanya, dan Rudi yang menggeliat takut mati.

Sandra benar-benar melakukannya, dibakarnya rumah itu, beserta dua orang yang penan-pelan akan terpanggang di dalamnya…

Mala menepati janjinya. Hari di mana anaknya lahir adalah hari kematian Rudi. Hangus dilumat api.

***

Jangan pernah berjanji untuk apa yang akan kau ingkari, dan jangan pernah beri harap untuk apa yang akan kau dustai.

TAMAT

ditulis @misterkur dalam http://samuderakering.wordpress.com | Pacarku

Bulan Di Sepertiga Malam

 Cinta itu Cuma punya satu kesempatan untuk berlabuh pada orang yang sama
Senja temaram…. Sinarnya yang ke emasan memberikan rasa sendu tersendiri saat menatapnya. Jika di lukisan senja ini aku melukiskan cerita, mewakilkan kelelahanku menjalani cinta dua sisi yang melelahkan… Dia dan dirinya. Dua orang yang sama sama kehilangan kesempatan untuk mendapatkan orang lain yang lebih baik… karena aku mempertahankan kisah yang rapuh ini.
Aku lelah…. Bisa kah aku berhenti… sudah bolehkah aku memilih… apakah kalian nanti akan terluka dengan pilihanku.
“ Tolong… aku mohon, bantu aku… sekali ini saja… aku memohon pada kalian”
Rengekku pada 3 gadis cantik di depanku ini, ketidak percayaan mereka atas permintaanku. Mereka siratkan dengan jelas dalam sebuah tatapan
“ kamu gila reisha… ini ga bener, ga bisa kayak gini… “
Si mungil berambut lurus ini berkali kali menggelengkan kepalanya.
“ ini sudah keputusanku, aku ga mau ada yang protes… aku hanya minta kalian membantuku. Tolong… dian, santi, nina… aku ga bisa ngelakuin ini sendirian”
Air mataku sudah hampir keluar. Aku putus asa membujuk mereka. Sudah hampir satu jam waktu yang ku habiskan untuk merengek rengek pada mereka. Tapi mereka tetap bergeming diam.
Oh… tolonglah…. Ini penting bagiku, mungkin kalian tidak percaya aku sanggup melakukan ini. Tapi aku lebih tidak bisa mempercayai lagi… kalau aku sanggup melakukan ini. menyakiti diriku sendiri. Terserah bagaimana nanti… tapi renungan senjaku menghasilkan pemikiran ini.
“ kenapa tidak di jalani begini saja, toh kamu ga tau ujungnya bakalan kemana”
Dian kali ini yang bicara. Dia soulmate ku… orang paling dewasa di kost ini. orang yang sanggup memberi advice terbaik kalo ada yang meminta nya.
“ aku tidak bisa lagi dian… ini melelahkan, harus ku selesaikan… bagaimanapun caranya.“
Mereka bertiga mengangkat bahu melihat kenekatanku, aku tahu… ini adalah jawaban iya dari mereka. Mataku berbinar dalam kesedihan.
“ terima kasih “
Bisikku lirih… kupeluk mereka satu demi satu, hanya ada satu orang lagi yang akan ku hubungi untuk ku mintai bantuannya. Dan aku hampir 100% yakin orang itu akan mengiyakan apa yang ku minta. Hubungan kami baik selama ini… dan akan selalu menjadi baik selamanya.

******************************************************************************

Aku tidak pernah suka music seperti ini, bukan masuk dalam kategori band idolaku. Tapi aku ga bisa nolak saat Santi yang setengah putus asa memintaku menemani nya. Reisha sudah tegas tidak mau menemani… dian dan anak anak yang lain apalagi. Cuma santi yang punya selera nyeleneh bisa goyang kepala dengerin music reggae seperti ini.
“ heran sama kamu san… muka korea, doyan nya music beginian”
“ yeee… yan… mata gw doang yang sipit ma, bukan hati gw… lagian k-pop apanya yang mau di nikmati. Geli gw liat cowok2 model begituan. Asikan juga yang begini ini… “
Matanya sayup menikmati dentuman music dari band reggae di panggung café. Dari semua teman reisha…. Santi memang yang paling flamboyant… apa apa suka suka dia. Dia ga akan sungkan minta join rokok atau minuman sama orang yang ga dia kenal sekalipun.
Hampir 2 jam kupingku di siksa music ini… sujud syukur aku saat akhirnya band itu turun panggung dan santi mengajakku keluar
“ kupingku rasanya kayak dapat bisikan dari surga ni” ucapku sambil menghela nafas lega saat kami sudah sama sama di parkiran.
“ hahahaha…. Lebay ah, mau makan dulu atau kita pulang aja makan di rumah, reisha tadi sore kayaknya masak deh “
“ pulang aja deh… kita makan bareng di kost aja, udah lama juga aku ga makan di sana.”
Santi Cuma nyengir kuda…
5  menit kemudian… motorku sudah membelah gelapnya jalanan Jakarta menuju sebuah senyuman di rumah mungil tempat bidadari bidadari ini tinggal.

Satu detik di saat yang sama….
Macet selalu daerah ini, aku tidak tau kenapa Ni bocah satu demen banget nyari buku ke daerah macet kayak gini. Padahal yang namanya gramedia. Kayak jamur sudah di Jakarta ni… sangking banyaknya.
“ gas … rem…. Gas… rem…. Kapan sampe nya ini” gerutu si mungil ini sambil memanyunkan bibirnya
“ tadi kan udah di bilang daerah sini tu rawan macet, loe sih nekat ah “
“ ya tapi kan Cuma di sini yang ada buku ini rick… ich loe ma… tar gw pijitin deh”
“ deuh… males deh, tangan loe segede sapu lidi gitu… mijitin juga geli doang gw”
“ wew… menghina loe ya, ga gw restuin loe pacaran sama reisha “
Mata kecilnya melotot padaku, membuatku tertawa…
“ ngancam ni… ku turunin ni kalo ngancem”
“ ye… jangan dong, ga asik ah becandanya”
Tanganku terulur untuk mengacak acak rambut pendek nya yang lurus, Nina… sudah seperti adikku sendiri. Dia 3 tahun lebih muda dariku dan setahun lebih muda daripada reisha. Pacarnya ada 4 mungkin lebih… dan empat empatnya seperti nya Nampak akur satu sama lain. Ga tau gimana caranya dia bisa seperti ini.
Reishaku yang berbagi perhatian antara aku dan laki laki itu saja sudah Nampak tertekan. Aku sering melihatnya tiba tiba diam dan bingung. Sakit melihatnya begitu… tapi aku juga tidak kuasa menjauh dari nya.
Setelah perjuangan panjang bergulat dengan macetnya Jakarta… sampe lah juga kami di green house. Kost an 2 lantai yang bernuansa hijau di mana mana… cat hijau… genteng hijau… halaman penuh tanaman tanaman hijau ( ya kali… tanaman hijau… emang ada gt tanaman biru ) Area parker green house termasuk dalam kategori luas untuk sebuah rumah kost ( 2 mobil 4 motor bisa masuk ) ku parkirkan mobilku di sebelah Yamaha Vixion yang tampaknya juga baru saja sampai di sana.
Dadaku bergemuruh saat melihat siapa yang datang. Laki laki ini rupanya belum menyerah juga. Tatapannya padaku justru terlihat menantang ( dia di luar aku masih di mobil… dari mata nya, aku tau dia menantangku untuk turun ) jangan kira kali ini aku akan pulang dengan damai seperti biasanya.
Saat aku sampai rumah dari menjemput reisha ke kantor dan aku melihatnya ada di rumah. Biasanya aku akan langsung pulang tanpa mampir dulu. Bukan aku takut pada laki laki ini… aku hanya tidak ingin ribut dan membuat reisha pusing. Tapi kali ini…. gadisku bahkan tidak ada di sini. kalau cowok itu mau satu atau dua hook akan ku layani. Aku turun mengikuti nina…
“ Hei… darimana kalian… “
Nina dan santi mengucapkan kata kata yang sama… lucu sebenarnya.. karena itu mereka berdua tertawa. Atau sebenarnya tidak lucu… tapi mereka sengaja tertawa untuk menutupi kecanggungan yang terjadi mendadak ini.
Aku tidak akan berpura pura aku menyukai laki laki ini. Karena dia hubunganku dengan Reisha menggantung selama ini. Dan karena dia juga… gadisku seperti orang linglung selama ini.
“ ga pengen pulang rupanya? Merasa di terima?”
kata kata itu keluar dari mulutnya, aku tau dia bicara begitu padaku… tapi ku diamkan saja. Aku tidak ingin memulai keributan… belum sebenarnya… aku akan ribut dengannya nanti. Saat kami jauh dari rumah ini. dan saat reisha ga lihat kami ribut lagi.
“ Rick… Yan… mau masuk dlu ga?”
“ aku pasti masuk, kalau dia entah… mungkin dia pengen langsung pulang “
Aku menatap Iyan mengatakan itu, muka nya seperti muak padaku. Mungkin di pikirnya aku ini laki laki tak tau malu yang ngejar ngejar pacar dia.
Hei Mate… cewek itu sekarang milikku. Ucapku… dalam hati tentu nya. Stock kesabaranku masih tinggi. Karena itu aku memilih untuk diam dan mengikuti Nina masuk rumah…
 Sepi rumah ini… mungkin yang lain belum pulang dr kampus, atau ada yang jalan jalan. Tapi Reisha pasti di rumah… soalnya motornya ada di parkiran td. Nina dan Santi jalan duluan di depan. Dan mereka ngobrol seru…. Entah apa yang mereka bicarakan aku tidak minat untuk ikut urun suara.
Aku berkali kali melirik laki laki di sampingku ini. Mungkin mengikuti pancingannya… bukan hal yang baik, mungkin seharusnya aku pulang saja… dan diam di rumah. Agar reisha tidak harus melihat kami berdua sama sama muncul di pintu kost nya. karena itu pasti membuatnya tambah bingung.
 Jalanku makin pelan… bimbang antara masuk atau tidak. Tapi ini sudah kepalang tanggung, kalau aku tidak masuk ke dalam.. laki laki brengsek ini mungkin akan mengira aku menyingkir karena aku takut kalah saing dengannya. Owh… I could never let him win… di dalam rumah sepi seperti kelihatannya.
Hanya ada 2 orang yang sedang duduk di sofa depan TV. Mereka saling rangkul sepertinya… kaget melihat adegan pacaran di depan mata aku buru2 mengalihkan pandangan. Tapi sesuatu berwarna coklat dari salah satu orang yang berpelukan itu membuat mataku terpaku.
Aku mengenalinya… bahkan dari jarak yang tidak terlalu dekat ini aku mengenalinya. Rambut coklatnya... yang selalu wangi strawberry. Tengkukku terasa dingin. Darah tiba tiba menggelegak di seluruh sel tubuhku. Aku melirik pada laki laki yang berdiri di sampingku ini. mata kami sama sama memperhatikan ke arah yang sama. Dan ekspresi sakit di wajahnya membuatku merasa puas.
Puas dan pedih… karena aku juga merasakan sakit yang sama. Dua orang yang sedang berpelukan ( dan sedang ku pandangi ) itu mungkin merasakan kedatangan kami. Karena mereka buru2 saling menjauhkan diri. 
“ hei…. Dari mana… koq aku ga liat kalian dating “
Suaranya yang bergetar masih sanggup membuat ku luruh di bawah kaki nya. Aku sakit hati merasakan ini…. sakit karena bukan aku yang dia pilih untuk dia peluk. Tapi orang lain… kenapa Reisha… apa kamu sudah sedemikian lelah dengan perjuanganku… dengan perjuangan laki laki di sampingku ini.
“ gimana mau liat… orang lagi sibuk pacaran gitu “ celetuk santi…
Tawa renyah Nina mengikuti. Aku mencoba berkali kali menarik nafas. Aku tidak ingin terlihat gugup atau sakit hati atau marah. Reisha sudah kelihatan sangat salah tingkah. Jika akhirnya dia menemukan orang lain yang lebih mengerti dia daripada aku atau laki laki ini. Aku akan bahagia untuknya.
“ Jadi ini yang kamu lakukan akhirnya, balas dendam padaku dengan memberiku harapan palsu”
Aku menatap laki laki yang bicara dengan nada dingin di sampingku ini. Tatapannya sedemikian dingin melihat Reisha. Apa maksudnya bicara begini. Apa dia tidak mengerti sama sekali arti kata ‘mengalah’
“ Aku tidak tau apa yang kamu bicarakan yan… “
Reisha berjalan mendekati kami di iringi laki laki yang tadi di sofa dengannya. Pemuda Pertengahan 20 tahunan berwajah oriental itu melingkarkan tangannya di bahu Reisha… proteksi yang dia berikan tanpa ucapan atau pembelaan lewat kata kata. Menghancurkan hatiku… Aku ingin Cuma aku yang memberikan itu…. Cuma aku yang melindungi dia.
“ ah… Sudahlah… tak penting lagi di bahas, semua sudah selesai antara kita. Akhirnya aku tau siapa kamu ini sebenarnya. Pantes orang tua ku ga terlalu suka sama kamu. Mereka tau kamu ini hanya berpura pura baik saja. Setelah aku dan Erick… lalu laki laki itu. Siapa lagi yang akan kamu mainkan “
“ hei…. buddy… jangan bawa bawa gw “ sahutku marah….
Aku tidak suka di samakan dengannya. Dengan Rayyan si dodol berpikiran udik yang menilai semua orang dari apa yang dia lakukan… dan apa yang dia rugikan.
“ ga usah munafik loe juga sakit hati kan… “
Tak perlu ku jawab pertanyaannya. Karena tatapan reisha yang penuh perasaan bersalah padaku. Sudah cukup untuk ku… cukup reisha tau aku sakit hati. Tidak perlu aku katakan pada semua orang di rumah ini kalau aku kecewa pada nya.
Kecewa bukan karena aku pikir dia mengkhianatiku. Kecewa karena aku tidak sempat mengatakan “aku cinta padanya” saat aku masih memiliki waktu untuk mengatakan itu.
Aku hanya berharap… itu aku… yang ada di sampingnya, melingkarkan tangan untuk  melindunginya… memberikan dukungan padanya hanya dari satu sentuhan.

He takes your hand I die a little
I watch you’re eyes
And I’m in riddles
Why can’t you look at me like that

When you walk by
I try to say it
But then I freeze
And never do it
My tongue gets tied
The words gets trapped
I hear the beat of my heart get louder
Whenever I’m near you


He looks at you
The way that I would
Does all the things
I know that I could
If only time could just turn back
Cos I got three little words that I’ve always been
dying dare to tell you

With my hands on your waist
While we dance in the moonlight
I wish it was me that you’ll call later on
Cos you wanna say goodnight

Cos I see you
With him, slow dancing
Tearing me apart cos you don’t see
But I see you with him
Slow dancing
Tearing me apart
Cos you don’t see
Whenever you kiss him
I’m breaking
Ohh, how I wish
Oh how I wish
Oh how I wish
That was me, me, me
Oh how I wish that was me


Satu titik di kegelapan malam

Suara tangis yang tertahan membelah kesunyian malam seperti gemerisik angin yang beradu dengan dedaunan.
“ maafkan aku… hanya ini satu satu nya cara agar kalian menjauhiku, Aku mencintai kamu Erick… tapi aku tidak ingin melukai Iyan. Aku tidak akan pernah bisa memilih salah satu dari nya. jadi biarlah ku lepaskan kalian agar kalian bisa mendapatkan kebahagiaan kalian sendiri. Meski harus dengan cara se picik ini aku melakukannya”

Hadirmu..

membuatku bersemangat untuk mencintai..
membuatku bersemangat untuk menyayangi..
Tapi aku  masih tidak bersemangat untuk memiliki

Awh.. wahai jiwa yg tenang..
Pegang hatiku.. rasakan cintaku.. nikmati kasih sayangku..
Tapi aku mohon..

Jangan pernah mencintai aku..
Jangan pernah membutuhkan aku..
Karna suatu saat.. kefanaanku akn melukaimu..
Dan tidak akan ku biarkan kamu menangisiku..

Tak akan ku biarkan kamu terluka karna ketiadaanqu..
Karna aku mencintaimu..
Bukan dengan cinta sebesar gunung..
Atau cinta sedalam lautan..

Aku hanya mencintaimu dengan kesederhanaan..
Seperti bulan yang setia pada matahari..

Biarkan aku mencintaimu dengan caraku sendiri..

Dan kau...
Hiduplah dgn kekuatanmu sndiri..
Tanpa aku.. kamu masih matahari..
Sinarmu masih bisa kamu bagi pada orang lain..

Lihatlah aku..
Aku hanya bulan di sepertiga malam..
Terang tapi cahaya nya tak kan pernah cukup untukmu..

Ketidak sempurnaanku.. tak kan ku bagi denganmu..
Karna kau terlalu indah untuk menerima itu..

Aku cuma punya sisa sedikit kekuatan..
Dengan yg sedikit it.. aq hanya ingin membuatmu tersenyum..

Jadi tersenyumlah..
Bagi tawamu denganku..
Dan simpan cintaku di hatimu.. di sana, jauh di sudut tak tersentuh..

Ingatlah suatu saat nanti.. meski sepahit apapun hidup kamu..
Masih ada aku yg menanti senyumanmu..
Jadi tersenyumlah untukku..

Karna ketiadaanqu.. membawa cinta yg tak terlukiskan di hatiku


ditulis @princesrei dalam http://backstagecorner.blogspot.com | I Wish

Elegi Untuk Kenangan

“Hati-hati, Dek..” ujarmu sambil mengacak-acak rambutku yang sudah kutata rapi.

Kereta sudah datang. Selama delapan jam ke depan aku akan mengarungi perjalanan menuju kota asalku, Yogyakarta. Ah, bukan hanya kota ini yang akan kutinggalkan, melainkan juga kamu, Kak.

Di dalam kereta, memoriku kembali ke masa itu, masa ketika Tuhan mempertemukan kita, setahun yang lalu.

Saat itu aku sedang menjadi MC di acara pembukaan sebuah hotel, dan kamu hadir sebagai salah satu tamu undangan. Setelah acara berakhir, salah satu teman menghampiri dengan maksud ingin mengenalkanmu padaku. Lewat perkenalan singkat, aku mengetahui bahwa kamu merupakan perwakilan dari hotel yang sama yang sudah terlebih dahulu berdiri di kotamu, Bandung.

Akhirnya kamu memutuskan untuk tinggal selama tiga hari di Yogyakarta. Dan selama itu pula, tidak sulit bagi kita untuk saling membaca pertanda. Resmilah kita berdua menjalin sebuah cinta.

“Kamu siap untuk LDR?” katamu sambil menatap lekat kedua mataku.

Aku tersenyum, balas menatap. Kuraih kedua tanganmu, dan mendekapnya dengan kedua tanganku. Hangat.

Menjalani sebuah hubungan jarak jauh tidak semudah seperti yang kubayangkan.  Sering kali jarak menjadi penghalang di saat aku butuh dekapan. Dan telapak tangan menjadi satu-satunya harapan yang bisa kugunakan untuk mencapai kepuasan.

Masalah bergantian berdatangan. Pernah suatu waktu aku memutuskan untuk menghentikan komunikasi denganmu. Biasanya, kamu selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke Yogyakarta setidaknya sebulan sekali. Entah karena alasan apa, saat itu kamu membatalkan janji untuk bertemu, dan acara kejutan peringatan tiga bulan hubungan kita pun terpaksa aku batalkan.

Walau begitu, kemarahan tidak pernah berlangsung lama. Atas nama rindu, selang beberapa hari, kita berdua akan saling memaafkan dan keadaan akan kembali seperti semula-seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Perjalanan cinta kita lewati dengan penuh suka dan duka. Tidak jarang terlintas dalam benakku untuk mencari cinta yang lain yang ada di kota yang sama. Namun semua niat buruk tidak pernah terlaksana, aku selalu kembali kepada satu cinta dan mengikrarkan diri untuk setia. Aku bahkan sempat memiliki harapan-harapan besar terhadapmu. Melihat sikapmu yang begitu manis, meyakinkanku bahwa hubungan cinta kita akan selamanya, setidaknya bertahan lama. Semua berjalan apa adanya. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang tak kuduga.

Dua hari yang lalu, secara mendadak kamu menyuruhku untuk menemuimu di Bandung. Setelah kuselesaikan semua pekerjaan, aku bergegas membeli tiket pesawat dan malamnya langsung berangkat.

Di sebuah kamar hotel kita saling melepas rasa rindu. Sekilas kulihat ada sesuatu yang berbeda dari matamu.

“Sebenarnya ada apa?” aku memulai pembicaraan.

“Aku gak tau harus mulai dari mana…”

Setelah melewati basa-basi yang lumayan berbelit-belit, akhirnya kamu memberitahuku bahwa kamu akan menikah. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa selama ini, aku tidak menjadi satu-satunya kekasihmu. Ada dia, perempuan yang sudah hampir lima tahun menjalin hubungan serius denganmu.

Kamu tak henti mengucap kata maaf dan berulang kali menjelaskan bahwa kamu lebih mencintaiku daripada dia. Aku sempat berkeinginan untuk pulang ke Yogyakarta saat itu juga, namun pelukanmu berhasil mengurungkan niatku, aku luluh di hadapanmu.

Malam itu kita kita terjaga sampai pagi. Membicarakan akan dibawa kemana hubungan kita selanjutnya.

 “Aku gak mau kehilangan kamu,” katamu sambil mengecup tanganku.

“Egois!” Aku tersenyum pahit

“Kamu bisa anggap aku sebagai kakak kamu, gimana? Yang penting kita jangan sampai putus komunikasi…”

Aku mengutuk diriku sendiri yang sudah terlalu naif menyimpan harapan-harapan terhadapmu. Dan sekarang aku menyadari bahwa harapan-harapanku hanyalah mimpi belaka.

Jujur, aku pun tidak siap jika harus sepenuhnya lepas darimu. Dengan segala pertimbangan, aku menyetujui usulmu untuk melabeli hubungan kita berdua sebagai ‘saudara’.

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi aku sampai di Yogyakarta.

*****

Hari ini tepat dua tahun peringatan hari jadian kita, seharusnya. Kesepakatan untuk menjadi ‘saudara’ rupanya hanya bualan belaka. Semenjak kamu menjadi seorang suami, secara perlahan dan teratur, kamu semakin jarang menghubungiku. Dan selama itu pula, hari demi hari aku berusah untuk mengubur perasaanku sendiri: perasaan disertai harapan bahwa kamu akan kembali, setidaknya berbagi kabar lewat pesan atau telepon. Bagaimana pun juga, kamu sempat menjadi seseorang yang berarti bagiku, di anatar rasa sakit yang telah kauberi, ada beberapa hal manis yang pantas kuucapi terima kasih. Selebihnya, aku hanya perlu waktu untuk mengeringkan luka-luka yang ada di hati. Hanya salam perpisahan yang bisa kuucapkan, bukan kepadamu, tetapi pada kenangan kita.

Kau terindah…

Kan s’lalu terindah…

Aku bisa apa tuk memilikimu…


ditulis @siapapun_ dalam http://siapapun.tumblr.com | Pemilik Hati

Semangat Pagi

Aku jatuh cinta.
Pada pandangan pertama.
Mungkin bukan murni cinta. Mungkin ada nafsu disana.
Sepertinya benar kata orang, cinta pada pandangan pertama itu tidak ada.
Yang ada adalah nafsu pada pandangan pertama.
Apapun itu, aku menyukaimu sejak pertama bertemu.

Sejak saat itu, aku selalu menantimu.
Aku hafal jadwalmu.
Kamu selalu datang sebelum aku berangkat kerja.
Kamu akan berhenti sejenak menyapa ibu-ibu dan anak-anak kompleks perumahan tempat aku mendiami sebuah rumah kos, mengobrol sambil memberikan senyum manismu.
Kemudian kamu akan berhenti agak lama di depan kosku yang tepat berada di depan sebuah sekolah dasar.
Aku jadi tahu kamu suka anak-anak.
Dan sebelum aku berangkat kerja, aku selalu menyempatkan diri menghampirimu.
Tidak lengkap rasanya hariku tanpa kehadiranmu.
“Kamu akan selalu disini setiap pagi kan ?” tanyaku.
“Pasti,” jawabmu sambil tersenyum manis.

Ada yang hilang.
Sedari pagi aku tidak melihatmu.
Aku terus menunggumu sampai aku hampir terlambat pergi ke kantor.
Pada akhirnya, dengan lesu aku berangkat ke kantor karena lelah menunggumu.
Berharap esok kamu kembali ke rutinitasmu.

Hari kedua,
Kamu kemana ?
Seharian kemarin aku merasa pusing di kantor gegara pagi kemarin aku tidak bertemu denganmu.
Hari ini kamu tidak datang lagi.
Mana janjimu yang bilang kamu akan selalu ada di setiap pagiku ? Huh.

Hari ketiga.
Kamu masih tidak datang.
Aku masih tetap berharap.
Kamu masih yang terbaik dan akan selalu jadi yang terbaik untuk memulai pagiku.
Aku kecanduan kamu.
So please. Jangan biarkan harapanku berakhir sia-sia.

    When I was your lover, no one else would do
    If I’m forced to find another, I hope she looks like you
    Yeah and she’s nicer too


Hari keempat.
Pagi ini aku melewati sekumpulan ibu-ibu yang biasa kamu sapa setiap pagi dalam perjalananku ke kantor.
Rasa penasaran mendorongku untuk menanyakan keberadaanmu.
“Ibu-ibu kan biasanya tukang gosip, pasti tahu kamu kemana” pikirku.
Aku bertanya pada seorang ibu yang aku tahu sering mengobrol dengamu.
“Oooh..tukang bubur yang biasa jualan di depan sekolah itu ? Dia sekarang sudah pulang kampung, Mbak. Sudah punya usaha sendiri di kampung,” jelasnya padaku.

Oh. Jadi itu alasan kamu menghilang, wahai Bapak penjual bubur ?
Kenapa Bapak tidak memberitahuku ? Padahal aku bisa dibilang pelanggan setia Bapak.
Well..kalau memang Bapak sudah punya usaha di kampung halaman Bapak, aku ikut senang.
Berarti sekarang Bapak sudah bisa mendapatkan apa yang Bapak inginkan.
Aku teringat percakapanku dengan Bapak sehari sebelum Bapak menghilang.
Waktu itu Bapak menceritakan penghasilan Bapak yang tidak seberapa dari berjualan bubur. Dan cita-cita Bapak untuk mempunyai warung makanan di kampung halaman Bapak.
Waktu itu aku hanya bisa tersenyum mengamini dalam hati.
Doa Bapak terkabul rupanya.
Tapi aku masih jengkel karena empat hari berturut-turut tidak sarapan karena Bapak tiba-tiba menghilang tanpa pamit.
Bubur kacang hijau buatan Bapak masih yang terenak. Dan termurah. Hehehe…

Hari kelima.
Aku kembali ke kebiasaan lamaku. Berangkat ke kantor hanya mengandalkan sepotong roti sebagai menu sarapanku.
Tidak ada lagi bubur kacang hijau seperti hari-hari yang lalu.
Pagi ini, aku baru selangkah keluar dari pintu kosku ketika aku melihatnya.
Dan senyumku mengembang.
Sebuah gerobak penjual bubur yang sangat ku kenal ada di depan sekolah dasar.
Tapi penjualnya beda. Yang ini lebih muda.
Aku tidak peduli bosku akan memarahiku yang datang terlambat asal aku bisa sarapan bubur kacang hijau pagi ini.

    So go on baby
    Make your little get away
    My pride will keep me company
    And you just gave yours all away
    I’m gonna find another you




ditulis @retnoSionter dalam http://pilong.tumblr.com | I'm Gonna Find Another You

Cintaku Tak Sesederhana Hitam dan Putih

Kirana, jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka aku tidak ingin menjadi benar. Aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatmu, seperti Romeo yang jatuh cinta saat pertama bertemu Juliet. Bedanya kau tidak mungkin termiliki olehku. Aku tahu bahwa seluruh dunia pun akan menentangku untuk mencintaimu. Meski begitu aku tidak akan pernah menyalahkan si cupid kecil yang sudah memanahkan cintanya. Aku juga tidak akan menyalahkanmu yang terlahir ke dunia dan membuatku jatuh padamu dan tidak mampu berpaling pada yang lain.

Tidak ada perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta kecuali kamu. Maka sejak saat pertemuan pertama kita, aku bertekad dalam hati untuk bisa dekat denganmu, bagaimanapun caranya. Meski aku juga tidak pernah berniat untuk memilikimu, aku hanya mencintaimu, itu saja. Hingga akhirnya Tuhan mendengar permohonanku, kita pun menjadi sahabat. Bukan sebuah kebetulan bahwa kita kuliah di jurusan yang sama. Bagiku menjadi sahabatmu lebih menguntungkan, aku bisa menyembunyikan rasa cintaku padamu dan tidak ada seorang pun yang tahu tak terkecuali kamu. Aku melakukan segala yang kamu minta dariku, tidak ada yang berat bagiku melakukannya untukmu, asalkan aku bisa melihatmu tersenyum. Sungguh mencintaimu adalah candu bagiku. Sayangnya kamu lebih mencintai candu yang sebenarnya.

Berkali-kali aku berusaha membantumu untuk keluar dari lingkaran hitam yang semakin menguasaimu, yang perlahan tapi pasti merampas segala yang indah dalam hidupmu. Kamu mulai menjadi pemadat kelas berat. Kerap kali kau tidak kuliah, bahkan Laptop dan ponselmu pun kamu jual demi mendapatkan barang itu. Sangat menyakitkan bagiku saat harus menyaksikanmu sakaw, selalu aku dihadapkan pada dilema antara membebaskanmu dari rasa sakit sesaat atau membebaskanmu selamanya. Akhirnya aku membawamu ke rumah sakit, hingga membuat orang tuamu tahu yang sebenarnya. Tentu saja mereka marah padaku, yang sebagai sahabat terdekatmu tidak pernah memberitahukannya pada mereka. Akhirnya mereka pun memasukkanmu ke pusat rehabilitasi.

Tiga bulan kamu menjalani rehabilitasi dan di sana pula kamu bertemu dengan seseorang yang mampu mengembangkan kembali senyummu. Setiap kali aku mengunjungimu, selalu nama lelaki itu yang kamu sebutkan. Aku cemburu, aku sakit tapi aku rela merasakan itu demi sedikit rasa bahagia melihat ada harapan hidupmu akan kembali cerah seperti dulu. Meski yang membuatmu tersenyum bukan aku. Apa hakku untuk melarangmu jatuh cinta dengan lelaki manapun, aku hanyalah sahabatmu. Sahabat yang akan melakukan apapun demi kamu tapi tidak pernah punya hak untuk memilikimu. Sudah kusadari sejak awal cinta yang aku rasakan hanya akan menjadi rahasiaku sendiri. Jadi aku putuskan untuk merestui. Akhirnya kamu keluar dari pusat rehabilitasi dan berhasil membuat semua orang mengira kau sudah benar-benar terbebas.

Tapi kenyataan memang tidak selalu sejalan dengan apa yang diimpikan. Seperti halnya sebuah kenyataan bahwa ternyata kamu tidak pernah terlepas dari candu yang justru semakin jauh menjeratmu. Seminggu setelah keluar dari pusat rehabilitasi, kamu membuat semua orang yang mencintaimu terguncang hebat. Kamu memutuskan untuk pergi selamanya, meninggalkan orang-orang yang mengasihimu, meninggalkanku yang merana karena mencintaimu. Kamu mengakhiri hidupmu dengan alasan yang hanya kamu sendiri yang tahu.

-2 tahun kemudian-

“Laras, apa kamu sudah menemukan nama perempuan untuk anak kita?”

“Sudah mas..”

“Oh ya? Siapa?”

“Akan kunamai dia Kirana..”

“Aku setuju sayang, nama yang cantik seperti Kirana sahabatmu dulu. Aku tahu kamu begitu menyayanginya. Sayang nasibnya begitu tragis”

Aku mengusap perutku dan tersenyum pada lelaki di sampingku, suamiku. Ayah dari anak yang sedang kukandung, yang cintanya takkan mampu aku balas seutuhnya. Karena cintaku sudah kuberikan pada satu nama, Kirana.

***

ditulis @NeMargane dalam http://selaksakata.wordpress.com | Cinta Terlarang

Don't Give Me this Feeling

“Ma, aku berangkat ya.”
“Jadi pergi sama Erie?”
“Iya ma. Ini mau jemput.”
“Salamin ke dia ya.”
“Pasti! Assalamualaikum”
“Waalaikum salam.”

Namaku Fahmi. Mahasiswa semester akhir jurusan arsitektur di sebuah universitas ternama di Jogja. Erie, nama yang tadi disebut itu, perempuan teman kuliahku. Ya, teman. Tapi kami sering sekali berduaan, di kampus, di mall, di cafe. Erie anaknya manis dan punya wawasan luas. Karena itulah aku bisa betah berjam-jam menemaninya berbelanja baju atau sekedar minum es krim. Aku seolah sangat nyaman dengan kehadirannya dalam hidupku. Sepertinya mamaku juga. Kalau Erie sudah jarang ke rumah, mama pasti rajin menanyakan dirinya, bahkan beberapa kali menelepon langsung dengan alasan sudah kangen. Seandainya kami pacaran, mama pasti sudah memberikan restu untuk menikah.

Pacaran? Hampir semua orang yang melihat kami berduaan pasti menyangka kami pacaran, mengingat kedekatan kami. Tapi sebenarnya kami hanya berteman. Ya, berteman. Meskipun aku punya perasaan yang lebih dari itu, tapi aku tak tahu apa dia juga punya rasa yang sama. Aku tak pernah menyatakan rasa ini, karena aku takut dia menolakku dan hubungan kami jadi renggang. Tapi aku juga merasa sakit hati dan cemburu ketika dia dekat dengan laki-laki lain. Aku tak tahu, mungkin memang sudah waktunya aku memperjelas status kami.

Di jalan ke rumah Erie, aku kembali melamunkan dirinya. Rambutnya yang panjang dan lurus, senyumnya yang selalu mengembangkan lesung pipit, suaranya yang tegas tapi merdu, obrolan-obrolan penuh makna kami di cafe-cafe maupun warung pinggir jalan, dan banyak hal lain yang tentunya aku suka dari dirinya. Bahkan hanya memikirkannya pun sudah membuatku tersenyum lebar. Ah, seandinya panah cupid diberikan padaku, tentu langsung kuhunjamkan satu anak panahnya ke jantung hati Erie.

I’ve caught myself smiling alone
Just thinking of your voice
And dreaming of your touch
Is all too much
You know I don’t have any choice


******

“Jadi, hubungan kita sebenernya kaya’ gimana sih?” tanyaku pada Erie malam itu di sebuah restoran fast food.
“Maksudmu gimana? Kita ya teman lah” jawabnya sambil mengelap mulutnya yang belepotan sambal.
“Cuma teman aja? Nggak lebih?”
“Memang kamu ngerasanya gimana?”
“Ya aku sih ngerasanya kita ada hubungan lebih dari sekedar teman. Kita sering berduaan meski itu sekedar makan atau nongkring berdua di teras rumah sambil ngitungin bintang. Kaya’nya kalau sekedar teman nggak ngelakuin hal kaya’ gitu deh.”
“Ngelakuin kok. Buktinya ya kita ini kan.” jawabnya tak mau kalah.
Jawabannya membuatku agak terpukul. Meskipun kemungkinannya tak banyak, tapi aku juga mengharapkan jawaban yang lebih dari sekedar teman. Pikiranku mendadak kosong. Bahkan mengingat berapa harga burger yang barusan kumakan saja membutuhkan waktu cukup lama. Aku hanya memandangi wajah manis itu.

“Kenapa kamu ngeliatin aku terus?”
I just… The truth is, i love you Erie!
You what?
I love you! Aku yakin kedekatan kita punya makna lebih karena aku punya perasaan ke kamu. Aku sayang kamu!”
“Why?”
“What kind of question is that? I love you. Period. No reason.”
Sorry. Aku nggak bisa kaya’ gini. Kalau memang kita cuma teman, nggak seharusnya kita sedekat ini.”
“Apa kamu mau menjauh dari aku? Please don’t! I need you
Don’t tell me you need me if you’re not gonna stay.”
Erie lalu terdiam. Hingga kami keluar dari restoran itu dan kuantar dia pulang, kami tetap tak berbicara sepatah kata pun. Sepertinya diam menjadi bahasa baru kami. Sempat kulirik wajahnya, ada setitik air mata yang menetes perlahan.

Don’t give me this feeling
I’ll only believe it
Make it real or take it all away


******

Sejak saat itu, hubungan kami bernar-benar merenggang. Sms dan telepon yang biasanya sering sekali, kini menjadi amat jarang. Kami cenderung saling menghindar. Aku, lebih tepatnya. Terus berdekatan dengannya setelah hari itu hanya akan menambah sakit hatiku. Namun sms nya kali ini membuatku berada dalam dilema. Dia menyuruhku mengangkat teleponnya. Penting, katanya. Setelah menimbang sekian lama, akhirnya aku luluh juga dan menerima telepon dari Erie.
“Halo” jawabku datar.
“Fahmi, tolong dengerin aku ya. Beberapa hari ini aku tersiksa banget nggak ada kamu di deketku. Nggak ada yang nemenin makan, nggak ada yang bisa diajak ngobrol seru. I miss you. I miss us.” ujarrnya panjang lebar dengan suara lemas.
Knock it off! Aku nggak mau ngulang lagi. Yang pernah ada di antara kita anggep aja masa lalu”
“Tapi aku bener-bener butuh kamu!”
“We’ve done this once then you closed the door . Don’t let me fall again for nothing more.”
“Ya sudahlah. Terserah kamu. Tapi in case kamu peduli sama aku….” Dia mengambil jeda sebentar untuk batuk lalu kembali melanjutkan ucapannya.
“Kamu bisa menemui aku di kamar 205 paviliun Dahlia.”
“Kamu masuk rumah sakit?” tanyaku mulai panik.
“Iya. Sejak hari..” Ucapannya terputus. Rupanya baterai telepon seluler Erie habis.
Aku jadi panik setengah mati, berusaha menghubungi ponselnya tapi tak kunjung dijawab. Setelah berpikir sejenak, kuputuskan untuk segera ke paviliun itu menemui Erie.Air mataku jatuh dengan derasnya membayangkan tubuh Erie yang biasanya tangguh, kini harus tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Makin deras lagi ketika memikirkan perasaanku yang tak terbalaskan.

******

Sampai di rumah sakit, jantungku berdegup tak karuan. Berkali-kali kurapalkan doa memohon keselamatan baginya. Aku tak peduli lagi, meskipun dia tak menganggapku lebih dari teman, tapi aku sudah menemukan rumah di dalam hatinya. Dan itu hal berharga yang tak ingin kulepaskan lagi. Setelah kutemukan kamar 205, perlahan kubuka pintunya. Kosong. Segera kutanyakan pada suster, barangkali kamar Erie dipindah atau salah memberikan nomer kamar.

“Mbak Erie? Erie Atmadja yang jadi korban tabrak lari itu?” Astaga! Rupanya dia jadi korban tabrak lari! Dadaku langsung panas.
“Iya, sus. Dipindah ke mana ya?” tanyaku panik.
“Maaf mas. Tapi mbak Erie nya…. Dia… Sudah meninggal dari tadi siang. Cuma sempat di UGD beberapa menit lalu nyawanya tak berhasil kami tolong.”
Lututku langsung lemas. Erie yang kusayang sudah meninggal. Lalu siapa yang meneleponku kurang dari sejam yang lalu?
“Mas yang namanya Fahmi ya?” tanya suster itu kemudian.
“Iya. Kenapa sus?” jawabku heran, sambil menghapus air mata dengan lengan kemejaku.
“Tadi di UGD mbak Erie pesan buat mas Fahmi. Katanya : I love you too.”

    Don’t say you love me
    Unless forever
    Don’t tell me you need me
    If you’re not gonna stay
    Don’t give me this feeling
    I’ll only believe it
    Make it real or take it all away


ditulis @ry4nn_ dalam http://bacafiksi.wordpress.com | Don't Give Me This Feeling

Langkah Ke-101

 Aku duduk termenung di depan laptop. Telepon darimu membuat hari Sabtu yang cerah ini kelam seketika. Aneh. Sejak kapan mendapat panggilan darimu menjadi sesuatu yang membuatku sedih? Sepanjang ingatanku, mendengar suaramu selalu merupakan hal yang menyenangkan. Jadi, mengapa perasaanku seperti ini?

Sakit. Sangat sakit, saat aku sepenuhnya sadar bahwa senyumanmu padaku sama saja dengan senyumanmu yang kaulontarkan pada orang lain. Sangat menyesakkan, saat aku tahu bahwa usahaku selama ini sia-sia. Aku tetap bukan orang yang istimewa.

Tidak. Untuk kali ini, aku tidak akan memenuhi ajakanmu lagi. Aku tidak akan memusingkan diriku dengan apa yang akan kaubicarakan atau apa yang pakaian apa yang harus kupakai.

Tanpa aba-aba, tanganku menghidupkan laptop dan membuka folder yang terkunci, yang berisi rahasiaku. Setiap huruf di dalamnya adalah cermin dari apa yang kurasakan karena dirimu, dan tidak ada yang boleh membacanya. Mengapa? Karena aku tidak ingin ada yang mengetahui isinya. Rahasiaku yang dengan susah payah kusembunyikan. Darimu.

Judul tulisan yang terakhir “Langkah ke-100”, memperingatiku bahwa aku harus berhenti perjalanan ini. Perjalanan menutupi jarak di antara kita, dari langkah pertama hingga langkah ke-100. Aku rela menapak setiap langkah itu sendirian, tanpa harus kau bergerak sedikitpun. Mungkin mereka yang tahu akan menertawakanku. Tetapi, aku tidak akan berkomentar apa-apa, sebab aku rela.

Tetapi, aku tidak bodoh. Jika hingga langkah ke-100 juga ternyata jarak kita belum tertutup, jika hingga langkah ke-100 juga aku masih belum dapat mencapaimu, aku akan berhenti. Dan 100 langkah yang telah kuambil itu akan merupakan kenangan indah, rahasia pahit yang akan kupendam selamanya.

Sekarang, saat itu sudah sampai. Ternyata 100 langkah benar-benar tidak cukup. Selesai sudah perjuangan yang sia-sia ini.

Jemariku dengan lincah menari-nari di atas keyboard. Melampiaskan perasaanku dengan cara ini merupakan kebiasaan yang telah terbentuk sejak hari pertama aku menyadari bahwa kehadiranmu bagiku bukan hanya teman semata. Dalam hitungan detik, selesailah tulisan hari ini.

Entri 29 September 2012:

            Judul: fin
            Kau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Kali ini, aku sudah memantapkan hatiku, mengeraskan perasaanku. Aku tidak akan terjerumus dalam senyumanmu padaku, yang tidak mempunyai makna istimewa itu.


Aku menghela napas lega. Selesai sudah. Mulai sekarang, aku akan menjadi seseorang yang baru, bukan lagi gadis bodoh yang selalu mengharapkan dirimu. Dan kuharap dengan begitu, kau akan sadar, bahwa kehadiranku ternyata demikian penting.

Setelah memantapkan pikiranku, aku mulai menjelajah beberapa dari daftar tulisan dalam folder. Entah apa yang mendorongku membuat hal yang tidak berarti ini. Dan ternyata sudah demikian lama aku menulis di sini, lebih dari setahun. Berarti, selama itu jugalah aku memendam perasaanku ini. Dan selama itu jugalah, kau yang hanya menganggapku teman, tidak menyadarinya.

    Langkah ke-1:
    Dan hari ini, kau lagi-lagi menjemputku saat akan ke kampus. Katamu, karena satu arah, jadi sekalian saja. Saat kau katakan mulai hari ini, kau bersedia menjadi supir pribadiku untuk seterusnya, kau tahu bagaimana perasaanku? Ya, langkah awal yang baik.

    Langkah ke-13:
    Kau menyetujui ajakanku untuk menghadiri reuni SMA. Kau bahkan sibuk bertanya-tanya apa yang harus kau kenakan. Dalam pandanganku, kau seperti seorang gadis yang gugup sebelum first date. Satu langkah lebih dekat lagi.

    Langkah ke-24:
    Hari ke-8 kita tidak berbicara. Padahal kita bertengkar hanya gara-gara hal kecil. Tetapi, tanpa sengaja, aku mendengarmu bercerita pada teman, bahwa kau merasa tidak terbiasa tanpa diriku yang meracau di sisimu. Meski kita sedang perang dingin, tetapi ini suatu proses yang bagus, kan?

    Langkah ke-51:
    Kau dengan bangga memamerkan hadiah dari dia, pacarmu itu yang baru pulang dari Australia untuk melewati liburan kuliahnya. Dia, yang juga teman baikku, orang yang memperkenalkan kita. Tetapi, kau juga mengucapkan terima kasih padaku yang berperan banyak dalam hidupmu, terutama di saat kau memerlukan dukungan. Hei, kau yang masih tidak tahu apa-apa, kalau saya yang duluan mengenalmu, apakah statusku masih sekadar teman?

    Langkah ke-72:
    Kau menanyakan pendapatku tentang gadis yang kau kenalkan padaku kemarin. Setelah beberapa bulan memutuskan hubungan LDR-mu, kau menemukan ‘dia’ yang baru. Apa yang harus kukatakan? Alhasil, aku hanya membisu. “Kau tidak menyukainya?” tanyamu. Kau tahu apa yang membuatku tercengang? Saat aku mengangguk, kata-kata yang kau ucapkan tanpa memikir lebih jauh. “Kalau begitu, dia out.” Bagimu, pendapatku penting, kan?

    Langkah ke-89:
    Setelah bermalam-malam kekurangan tidur karena mengejar laporan, aku jatuh sakit juga. Dan kau, membatalkan janji temu dengan adik kelas yang manis itu, hanya karena ingin menemaniku. Kau begitu mengkhawatirkanku.

    Langkah ke-100:
    Aku membawa kue buatanku sendiri, bertandang ke rumahmu, hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan dengan harapan dapat merayakan hari istimewa ini berdua. Kau dengan senang menyambutku, mengacak-acak rambutku, dan mulai mengatakan betapa beruntungnya dirimu mempunyai seorang teman yang pandai membuat kue. Ternyata, aku masih teman. Ternyata, langkahku yang ke-100, belum cukup untuk menutupi jarak di antara kita. Sebenarnya, masih berapa langkah lagi yang dibutuhkan?


Aku menghembuskan napas pelan. Pasrah. Kepalaku pusing. Kau mendekat lalu menjauh, tetapi kau tidak pernah menolak kebaikanku, kau  bahkan membalasnya dengan hal yang membuat hatiku berdebar lebih kencang. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku dapat melepas begitu saja?

Bagaimana kalau ternyata jika aku terus menunggu dan terus melangkah, kau akan menyadari kelalaianmu selama ini? Dari langkah pertama hingga langkah ke-100, itulah kemajuan dari hubungan kita. Kemajuan yang hanya ada karena diriku yang tidak putus asa.

What if, it seems like you’re going to love me
Because it seems like you’re going to come to me if I just wait a little
With these anticipations, I can’t leave you


Ponselku berdering di saat yang tepat. Aku memerlukan sesuatu untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi, begitu aku melihat namamu yang tertera di layar, napasku tercekat untuk sesaat. Apakah ini sebuah pertanda?

“Sudah siap? Aku berangkat sekarang.”

Pesan singkat itu membuatku tertegun. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, SMS seperti ini sudah pernah kaukirim untuk banyak gadis yang lainnya bukan? Tidak hanya aku, meskipun aku dikenal sebagai gadis yang paling dekat denganmu. Namun, juga dikenal sebagai gadis yang berlabel teman bagimu.

Even though I wanted to believe that that smile was just for me
It probably isn’t, right?
But still, just maybe


Hei, kalau sebenarnya jarak di antara kita ada 1000 langkah. Apakah mungkin bagiku untuk menapak kesemua langkah itu? Apakah aku dapat berharap kau akan mulai melangkah ke arahku juga?

Dua buah suara dalam diriku berdebat. Otakku melontarkan berbagai logika, hatiku menolak dengan alasan yang mungkin saja hanya berupa harapan palsu. Tetapi, aku ingin berpegangan pada harapan itu. Sebab itulah yang memotivasiku selama ini. Dan aku yakin, harapan itu juga akan terus mendorongku untuk seterusnya, berapapun panjangnya jarak yang harus kulalui.

These thoughts are useless
For I’m already living in the deeply set times of you

Aku membuka kembali draf terbaru itu dan mulai mengetik. Salah. Mengedit.
Entri 29 September 2012:

            Judul: Langkah ke-101
            Kau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Dan kali ini sudah kuputuskan, berapapun langkah yang harus kutapak, aku akan terus maju. Sebab, siapa tahu, kalau aku terus menunggu, kau akan datang padaku. Ya, benar. Aku memang bodoh.


Even though pain is heavy
Still, I feel like you’ll love me


ditulis @Lidya_yang dalam http://lidyayang.blogspot.com | What If

Aku Pergi, Bunga

Klik.. Klok.. Klik.. Klok.. Hanya ada suara detak jarum jam menemaniku. Gusar. Sedari kemarin siang kerjaanku hanya memandangi akun facebooknya. Kubiarkan laptopku berjaga. Pun tak kuhiraukan berapa banyak pulsa modem terbuang termuntahkan hanya demi dia. Yang kucari tak kunjung ketemu. Membolak-balik album fotonya. Si tuan tebar pesona ini. Banyak nian koleksi fotonya.

    “Dasar narsis!”

Tiba-tiba tercetus kalimat itu dari bibirku. Dia.. Ah, rasanya terlalu panjang bila harus kubeberkan siapa sebenarnya dia. Hm..

***

Namanya Ikin, teman seangkatanku. Sejak tahun pertama kuliah ia berhasil mencuri hatiku. Entah.. mungkin benar kata orang, cinta itu buta tak punya syarat mengapa harus cinta. Cinta yang hanya bisa kupendam karena aku tahu aku siapa. Hanya seorang gadis kampung, anak seorang janda yang beruntung bisa meneruskan kuliah di kota. Dengan Ikin.. Selama ini kami berteman, bersahabat.. Kata mereka, kami cocok. Nyambung. Cuma..

    “Kin… Aku ajari yang ini dong!”

Alamaak! Si centil ini datang mengganggu kami. Tugas yang sedang kami bicarakan mendadak buyar karena kedatangannya. Siapa tak kenal gadis centil ini? Ira. Parahnya, tiap kali kami berdua membicarakan tugas kelompok si pengganggu ini hampir selalu datang. Yang membuatku gemas, Ikin membiarkan saja ia berulah. Menanggapi dengan manis dan penuh perhatian pada Ira.

Padahal…

    “Fit, hm.. boleh aku bicara?”

Kulihat raut wajah Ikin berubah serius.

Hari itu kami bertemu di Djendelo Koffie lepas Ashar. Kata Ikin, masih ada beberapa bagian tugas dari Dr. Nano yang harus kami bicarakan. Setahuku kami sudah menyelesaikannya dua hari sebelum Ikin meminta bertemu.

    “Ya.. “

Kalimatku pun berubah menggantung, heran dengan sikapnya.

    “Aku.. Aku..”

    “Hei, Tuan Penebar Pesona… Kau ini kenapa sih?”


Aku mulai tak sabar. Jarang sekali Ikin bersikap seperti itu. Heran.

    “Enggaaak..”

    “Ya sudah, kita lanjut ke tugas pak Nano. Jadi apa yang kurang?”


Tanyaku lagi tak sabar. Aku tak suka membuang waktu, meski jauh di dalam hati aku senang bisa bertemu dengannya sore itu.

    “Hm.. Aku.. Sebenarnya aku bukan mau membahas tugas dari pak Nano.. Aku…”

    “Ya ampun, Ikiiiin…!!


Setengah berteriak aku melampiaskan ketidaksabaranku. Ia tak pernah seperti itu, berbelit-belit.

    “Stop.. Stop.. Aku cuma mau ketemu Fitri Nurmawati.. Titik.”

    “So? “

    “Tugas kita selesai dan ga ada yang harus kita bahas.. “


Bola mataku menatap tajam ke arah Ikin.

    “.. hanya perlu menyampaikan satu hal saja. Hmm…”

Ikin mengambil napas dalam-dalam lalu diam sesaat,

    “Maukah kau menikah denganku?”

Jadi ternyata…

***

Dalam diamku aku bahagia. Orang yang selama ini kudamba hampir melunasi pengharapan, menjadi jawaban doa tiap malamku. Bahagia karena aku tak perlu jauh-jauh mencarinya seperti mereka, gadis-gadis sebayaku yang gemar mengejar sesuatu yang tak pasti. Bahagia karena rasa ini hanya antara kami. Tak perlu orang lain tahu sebelum waktu menjadi penentu.

Lepas kuliah, kami terpaksa berpisah. Kujaga baik-baik janjiku pada Ikin, pada Tuhan untuk setia menjalani itu semua. Ia pergi mengadu nasib ke  ibukota. Sebuah perusahaan penyiaran berskala nasional menerimanya menjadi cameraman. Rupanya portofolionya dinilai sangat baik. Sekali lagi, aku berbahagia. Dengan sederhana kuungkapkan lewat surat-suratku pada Ikin. Aku suka berkirim kabar lewat surat. Biar orang bilang kuno, kalau aku suka.. mereka mau apa?

Waktu berlalu.. Tak terasa empat tahun sudah, jarak terentang di antara kami. Dua kota, Sragen-Jakarta. Denganku, tak banyak berubah. Masih menjadi gadis kampung yang teguh (atau mungkin keras kepala) memegang janji setianya. Janji Ikin bahwa ia akan menjemputku pada saatnya nanti. Ah, bukankah cinta itu sederhana?

Sayangnya…

Akhir Juni 2012

Sepekan sebelum kepulangan Ikin ke kampung halamannya di Tegal,  ia menghubungiku via ponsel. Sesuatu yang tak kusangka tanpa sengaja kudengar langsung darinya. Ibunya sakit keras. Sedih mendengarnya, tapi aku bisa apa? Selama empat tahun itu sama sekali tak ia perkenalkan kepada keluarganya. Pada ibunya yang sering menjadi pokok bahasan di surat-surat balasannya; pada ayahnya yang veteran perang; pada kakak cantiknya yang suka memberikan wejangan. Ah, ia seakan hanya memameriku kehidupan manis. Apakah aku terlampau lugu (atau bodoh) bila mempercayai orang yang berjanji hendak menikahiku?

Sepuluh hari kemudian kuterima surat darinya, dari orang yang kucinta, Mukhlas Sholikhin. Tapi tak seperti biasanya. Kiriman kali itu terbungkus amplop coklat berukuran kuarto. Begitu kubuka.. betapa kaget bukan kepalang. Amplop itu berisi semua surat-suratku.. juga sebuah amplop berwarna biru, warna kesukaan Ikin. Di bagian muka amplop itu tertulis sebuah puisi, permohonan maaf darinya..

    Duhai Bunga..

    Mengertilah aku tlah membuatmu kecewa

    Maafkanlah..

    Kepulanganku menemui Ibunda

    Rupanya adalah isyarat untuk mengakhiri ini semua

    Duhai Bunga..

    Maafkanlah..

    Aku pergi, Bunga..

Gemetaran ku membukanya. Astaghfirullaah.. Ira & Ikin? 27 September 2012? Itu 2 bulan lagi. Astaghfirullaah.. Seketika pandangan mataku meredup, lalu gelap.

Biar kuutarakan saja
Segenap rasa mengendap di dada
Lewati desah nada lagu
Walau sumbang terlanda sendu
Suratku, seribu makna

Bagimu, dambaan jiwa
Masih tetap terjaga s’lalu
Sebentuk cinta kasihku buatmu
Sejak kau tanamkan harapan
Kusambut dan membuka tangan
Tega kau buyarkan impian

Bantu aku, lari dari bayangmu
Hasrat melupakanmu
Usah lagi, senyum sapamu mengganggu
Engkau bukan untukku

Terlanjur aku terjatuh
Mencoba bangkit dan berjalan lagi


ditulis @phijatuasri dalam http://asree84.wordpress.com | Bantu Aku