Monday, October 1, 2012

Menghilanglah Lagi


Bahkan siluetnya pun masih aku kenali dengan baik. Apalagi punggung tegaknya, sepasang lengan kokoh yang... ah... sudahlah. Aku tak perlu memastikan wajah pemilik siluet itu. Aku sangat yakin. Bahwa itulah dirinya. Ia yang masih mengisi desakan-desakan rindu. Rindu yang bertuan namun tak mungkin aku kirimkan.

Kamala menghela nafas panjang. Jemarinya ia genggam sendiri. Menahan getar yang entah sudah ia tahan berapa ratus detik. Kali ini ia menyelesaikan tegukan terakhirnya, dari gelas ke dua air mineral yang sengaja ia ambil di meja prasmanan.

Anggita datang menghampiri. Kamala tampak kikuk, kemudian melukis senyum yang diusahakannya menjadi senyum terbaiknya malam itu.
"Kamu kenapa, Kamala? Ayolah bergabung dengan yang lain. Katamu kamu ingin bertemu dengan orang baru, yang mungkin saja berjodoh denganmu". Anggita menarik lengan Kamala. Kamala menyambutnya dengan malas dan sedikit menahan.

Ini reuni. Artinya kita bisa bertemu dengan masa lalu. Bukan jebakan, ini kenyataan. Mungkin, akan menguji kejujuran dan kekuatan hati mengahadapi apapun.

Kamala, berdiri diantara kerumunan teman-teman SMA-nya. Mereka tertawa, mengenang semua yang terjadi di masa lalu. Kamala, beradu dengan dirinya sendiri. Berbicara dengan hatinya. Menuruti perasaannya yang katanya sudah pekat, bahkan memandang pun menyesak. Kamala tampak begitu mengatur segala sikapnya. Hingga mengatur jarak pandang kepada tamu-tamu yang hadir.

Namun, mungkin Tuhan yang telah menggerakkannya. Pandangan Kamala menumbuk satu wajah yang sejak tadi ia hindari. Pemilik wajah itupun tersenyum. Kamala membalas dengan malas. Kamala tak menampik, sebuah lengan lain menggamit lengan sang pemilik wajah. Seorang teman di jaman sekolahnya, yang tidak begitu ia kenal. Dan kenyataannya, Kamala justru mengenal baik sang pemilik wajah. Pemuda dengan sepasang lengan kokoh yang menjerat Kamala dalam sebuah ingatan.

"Nanti ada acara nemenin temen reunian"
Itu kalimat yang kemudian terngiang di kepala Kamala. Satu kaliamat diantara panjangnya pembicaraan dengan Rama di kotak chatting.

Bahkan Kamala pun tak sempat menduga bahwa ia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang Rama menjadi salah satu tamu dalam acara reuni sekolahnya.

Sungguh, tak ada yang tahu bahwa, Parama adalah teman dekat Kamala selama bertahun-tahun. Mereka jarang bertemu. Namun, dunia maya selalu menjadi ruang yang luas bagi pertemuan mereka.

"Sudahlah, kamu harus bisa mengurus dirimu sendiri, tanpa aku", kata Rama santai, menyudahi pembicaraannya dengan Kamala.
Kamala tetiba tersedak, nyaris makanan yang ada di dalam mulutnya bubar keluar, "Maksud kamu?"
"Kamu harus bisa mengurus impianmu sendiri", lanjut Parama.

Lihatlah Parama yang awalnya begitu sayang pada Kamala, kini memilih pergi darinya. Ia adalah penyokong semangat terbesar untuk Kamala selama ini. Teman brain storming yang sangat bijaksana dalam penyelesaian naskah novel-novelnya. Sekarang tak ada lagi. Ia pergi. Bukan sekadar menjauh, bahkan menghilang.

Dari semua akun sosial medianya pun, Rama tak bisa ditemui. Kamala menyerah. Percuma saja menantikan sesuatu yang sudah tak mungkin ia raih. Parama sudah bahagia dengan hiupnya. Mungkin. Begitupun Kamala, jalan hidupnya masih panjang.

Hingga malam itu, Kamala tak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Sebuah email dengan pengirim Parama ia terima. Rama menyapa, bercerita, seakan tak pernah ada luka diantara mereka. Entah bagaimana, Kamala larut dalam keterkejutannya dan terus menyelam dengan segala pertanyaan, kabar dan segala kisah Parama.

Seperti ingin membayar kesalahannya, Parama memperbaiki hubungannya dengan Kamala.

"Mungkin aku salah besar padamu. Semoga masih ada kesempatan untuk mengembalikan niat baikku", kata Rama malam itu.

Kamala, memang tak lagi berharap besar kepada pemuda yang sekarang ada di hadapannya. Ia masih takut sakit itu menyapa lagi. Kamala hanya tersenyum.

"Terserahlah dengan niat baikmu yang seperti apa. Aku tak lagi berani jatuh cinta kepada yang belum muhrimku". Seakan ada yang mendikte Kamala menimpali Parama.

Bukannya mudah Kamala berhadapan kembali dengan Parama. Ia berusaha kuat membatasi segala perasaannya kepada Parama. Ia tak mau jatuh di lubang yang sama, sekali lagi. Kamala mencoba berfikir lebih positif dan percaya kepada Parama meski tak sepenuhnya.

Sayangnya, acara reuni itu justru menghunus jantungnya sekali lagi. Dari sekian cerita Parama yang menyebut dirinya masih juga sendiri, Kamala justru menyaksikan kenyataan lain. Kamala tak marah kalaupun Parama pergi dengan siapa saja. Tapi, semua temannya pun tahu bahwa Parama adalah kekasih perempuan yang ia lihat menggamit lengan Parama.

Ada dendam apa kau padaku, Rama? Sampai di titik mana kau akan mengakhiri semua ini?
Aku tak pernah tak rela kamu bahagia. Dengan siapapun. Dengan cara apapun.
Tolong jangan sekat satu takdir terbaikku hanya dengan prasang-prasangka burukku padamu.
Jika luka yang pernah kusemat di jantungmu tak lagi bisa sembuh, kau boleh benci aku dengan caramu. Namun tidak dengan menyiksaku, membunuhku perlahan, tapi pasti.
Parama, Tuhan Maha Melindungi. Aku... dan juga kamu. Bertemanlah dengan-Nya. Agar ada cara yang lebih baik untuk menyelsaikan semuanya.

Kamala menekan tombol "send". Email untuk Parama telah terkirim. Namun entahlah, kapan terbaca oleh Parama. Atau bahkan justru Parama memilih untuk tak membacanya. Kamala membiarkan pikiran itu menghilang. Meski pelan tapi pasti. Kamala memilih lupa. Membiarkan gemuruh langit melumat segalanya. Membiarkan hujan mengguyur tubuhnya senja kali ini. Tanpa jingga.


*) Diinspirasi dari lagu Tahu Diri - Maudy Ayunda

 Ditulis oleh @wulanparker dalam http://lunastory.blogspot.com

1 comment: