Monday, October 1, 2012

AUCH!!


“Ini sudah di kantor BPN. Nunggu Pak Agung yang urus Surat Ketetapannya, lagi rapat. Kata anak buahnya, mungkin sekitar jam sebelas sudah selesai. Nanti kalau ada kabar, langsung saya beritahu. Oke, iya…thank you mam”, jawab Farah lewat ponsel pada General Managernya.

Sambungan telepon terputus.

Urusan ini belum juga selesai padahal cuma urusan perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan. Kalau bukan gara-gara notaris yang enggak becus itu, masalah ini mungkin enggak pernah ada. Kalau begini yang ada malah capek tenaga, capek pikiran bahkan capek uang juga! Sudah berapa juta dibayar demi jasanya tapi tanpa hasil dan akhirnya membuatku, seorang Farah Putri Darmawan, terdampar di kantor Badan Pertanahan Nasional, di siang bolong yang panasnya tanpa ampun. Bukan Surabaya kalau enggak panas kan?.

“Lagi nungguin Pak Agung, mbak?”, sapa laki-laki yang duduk di sebelah Farah, membuka percakapan.

“Eh iya mas, lagi nungguin beliau”

“Maaf, tadi saya enggak sengaja curi dengar pembicaraan mbak di telepon”, jawabnya sambil memberikan senyumnya yang manis.

“Oh, enggak masalah. Mas mau ketemu Pak Agung juga?”

“Iya, kebetulan memang sudah ada janji sama beliau”.

Farah menggangguk lalu perlahan memperhatikan laki-laki itu. Farah mengira umurnya sekitar dua puluh lima. Penampilannya cukup rapi walaupun dia menggulung lengan kemejanya yang berwarna coklat muda dengan garis- garis coklat tua vertikal, hingga batas siku. Dengan celana warna hitam dan sepatu warna coklat tua, aku menebak dia termasuk laki-laki yang memperhatikan penampilannya. Tapi siapa tahu, kalau ada wanita yang menjadikannya demikian. Pacar atau istrinya, mungkin? Bukankah di belakang laki-laki tampan, pasti ada wanita cantik yang rajin memperhatikan penampilannya? Farah tersenyum samar.

“Kalau boleh tahu, mbak mau ketemu Pak Agung untuk keperluan apa?. Oh ya kenalkan, saya Donny dan tolong jangan panggil mas. Rasanya umur kita tidak beda jauh”, ujarnya sambil tersenyum lalu mengulurkan tangan kanannya, mengajak Farah berjabat tangan.

“Saya Farah dan juga tolong jangan panggil mbak” jawabnya sambil berusaha memberikan senyum paling manis. “Ini, mau tanya soal Surat Ketetapan buat sertipikat Hak Guna Bangunan punya kantor”.

“Ada masalah? Kok sampai minta Surat Ketetapan?” Donny mengernyitkan dahi.

“Sertipikatnya telat diperpanjang, akhirnya masa berlakunya keburu habis dan walhasil, harus urus sertipikat mulai dari awal lagi”.

“Kok bisa telat? Masa enggak ada catatan khusus buat jadi pengingat?”.

Donny menanyakan hal ini sambil tersenyum yang seakan-akan menyindir. "Haduh, kenapa kesannya jadi aku yang disalahin?" pikir Farah dalam hati. Tapi dia memang enggak tahu gimana ceritanya kan? Jadi enggak perlu protes dong! Untung dia lumayan cakep, jadi aku enggak perlu marah duluan sama pertanyaannya. Eh tunggu, apa hubungannya? Fokus Farah, fokus!

“Sebenarnya ada. Jadi ceritanya, sertipikat itu dijadikan jaminan di bank, untuk dapat pinjaman. Sekitar satu tahun sebelum masa berlakunya habis, pihak bank sudah konfirmasi ke pihak kami soal itu. Pihak bank tanya mau pakai notaris siapa, bos besar sebut lah…nama notaris yang sudah sering dipakai jasanya sama kantor. Bos besar asal aja sebut nama si notaris, padahal jelas-jelas banyak karyawan yang tahu kalau kinerja dari notaris itu kayak koboi. Nekat. Tapi kadang juga suka menggampangkan masalah. Tapi kalau sudah bos besar yang bilang, karyawan bisa apa, ya kan?”

“Ternyata entah karena apa, dokumen pengurusan sertipikat itu ditaruh di mejanya gitu aja. Ditumpuk sama dokumen-dokumen yang lain, enggak diurus. Sampai akhirnya satu bulan sebelum masa berlaku habis, kami tanya perkembangannya, baru mereka sadar kalau sertipikat itu belum dikerjakan sama sekali.”

Donny lagi-lagi mengernyitkan dahi. “Kok gitu? Apa alasan pihak notaris yang sudah telantarin dokumenmu? Kalau telat gitu, tanahmu otomatis jadi tanah milik negara lagi dong”.

“Iya, memang. Makanya harus diukur ulang segala sama BPN, ribet. Si notaris malah balik nyalahin kantorku karena enggak pernah tanya atau sekedar cari info yang buat mereka jadi ingat”.

“Terus, tanggapan pihak notaris? Apa enggak ada usaha buat kerjain dalam waktu singkat?”

“Masa bisa, ngurusin perpanjangan gitu dalam waktu singkat? Hahaha, ini Indonesia lho, Don…masa kamu enggak tahu gimana birokrasi yang ada di sini?”.

“Hehehe, iya aku tahu. Maksudku apa mereka enggak ada usaha buat sering lobi orang BPN demi mempersingkat pengurusan?”

“Oh, ada. Mereka juga menawarkan itu, istilahnya percepatan. Tapi mereka minta tambah bayar, tiga setengah juta. Kantor setuju buat percepatan tapi dibayar waktu Surat Ketetapan sudah keluar. Padahal sebelumnya, kantorku sudah bayar dia entah berapa puluhan juta. Janjinya, lewat percepatan itu bisa mempersingkat waktu buat dapat Surat Ketetapan dari yang awalnya tiga bulan, jadi cuma dua bulan. Tapi ini sudah hampir lewat dua bulan, hasilnya enggak ada. Padahal setelah Surat Ketetapan keluar, aku masih harus nunggu tiga bulan lagi sampai akhirnya Sertipikatku jadi. Lama banget! Aku enggak ngerti deh, notaris ini maunya apa. Mungkin dia memang kayak gitu kinerjanya.”

“Lho, enggak bisa gitu dong. Harusnya notaris itu yang tanggung jawab, lobi sana sini. Gimana caranya walaupun pengurusan sudah telat tapi tetap harus diusahakan. Enggak bisa lepas tangan gitu aja, tergantung apa kata BPN tapi minta tambahan biaya. Wah, enggak becus beneran deh notaris itu”.

Melihat Donny ikut emosi, Farah merasa mendapat angin dan semakin berapi-api.

“Oh iya Don, ditambah lagi ternyata notaris ini sampai sekarang belum juga kasih Berita Negara dari salah satu perusahaan punya bosku, padahal pengurusannya sudah mulai tahun dua ribu delapan. Bayangin Don, empat tahun! Setiap diminta, jawabannya selalu masih dicari, minta ditelepon lagi satu atau dua hari lagi tapi sampai sekarang belum ketemu juga. Tuh, kelewatan banget kan? Baru kali ini, ketemu sama notaris yang isinya janji-janji melulu”.

“Far, kalau itu sih sudah kelewatan banget. Kalau aku jadi kamu, pasti kantor notarisnya sudah aku buat berantakan! Bikin emosi aja itu orang. Kamu rasanya sudah di-PHP-in sama notarisnya deh, jadi korban harapan palsu, hehehe. Kebetulan aku juga kerja di kantor notaris sih, Beny Sudarman yang di jalan Anggrek itu, tapi kinerja kami enggak kayak gitu, sama sekali berbeda. Buat kami, klien itu raja. Jadi enggak mungkin sampai ada kejadian kayak gitu, dijamin. Andai kita sudah saling kenal lebih dulu, mending dulu kamu minta bantuan kantorku aja deh. Memangnya kantormu pakai notaris siapa sih?”

“Notaris Lukman Tri Harsono”

“Hah, Lukman Tri Harsono? Yang kantornya di jalan Imam Bonjol 135? Apa enggak salah, Far?”. Donny tertegun sejenak. “Aku tahu orangnya sih tapi masa iya, cara kerjanya kayak gitu. Yang aku tahu, dia orangnya professional kok. Aku enggak percaya ah…”

“Kamu boleh enggak percaya tapi buktinya, aku udah jadi korbannya. Gila ya, ternyata enggak cuma orang pacaran sama politikus aja yang suka kasih harapan palsu. Bahkan sekarang notaris pun juga! Dan parahnya, aku jadi korbannya, ckckck…”

“Yahh, kamu harus lebih sabar kalau gitu”, ujar Donny bijak sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

“Hmm, sepertinya begitu” jawab Farah sambil menghembuskan nafas panjang. Kejengkelannya benar-benar tampak jelas.

Seorang petugas BPN tiba-tiba memanggil Farah dan memberitahu kalau Pak Agung sudah selesai rapat dan sudah punya waktu untuk bertemu. Dia sigap mengambil tasnya dan beberapa dokumen yang dia letakkan di meja yang ada disampingnya.

“Don, aku duluan ya. Pak Agung sudah selesai rapat tuh. Senang bisa ngobrol bareng kamu”. Farah pun mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Oh iya, sama-sama. Senang juga bisa ngobrol bareng kamu. Lain kali hati-hati pilih notaris, biar enggak dikasih harapan palsu lagi. Ngomong-ngomong, ini kartu namaku, siapa tahu kapan-kapan kamu butuh bantuanku”

“Oke, aku pasti ingat pesanmu. Daaannn….” Farah sibuk membuka tasnya, “ini kartu namaku. Sukses buat kamu ya. Kamu juga ingat, kinerjamu jangan kayak notaris yang aku ceritain tadi”

“Siap, laksanakan! “

“Bye Donny!”

“Bye! Tapi…Farah tunggu!”, teriak Donny ketika Farah sudah beranjak dari tempatnya berdiri.

“Ya? Ada apa lagi, Don?”

“By the way, kalau aku boleh ngomong sedikit lagi, hmm…sebenarnya notaris Lukman Tri Harsono itu seseorang yang setiap hari aku panggil dengan sebutan ayah lho”, ujar Donny sambil nyengir.

Brak!

Farah menjatuhkan semua dokumennya dan melongo sejadi-jadinya.

AUCH!!!

Ku ajak kau melayang tinggi

Dan ku hempaskan ke bumi…



*) Diinspirasi dari lagu Baby Doll - Utopia

Ditulis oleh @vandakemala dalam http://myredstrawberry.blogspot.com

No comments:

Post a Comment