Monday, October 1, 2012

Saranghae, Tsukiatte Kudasai (Vol. 7)


“Apa yang aku pikirkan hari itu, ketika seorang teman mengajakku untuk bertemu di salah satu kafe. Tidak lain adalah untuk mempertemukanku dengan seorang peramal tarot. Awalnya aku tidak setuju dengan ide gila itu. Lagi-lagi karena aku belum menemukan pasangan hingga saat ini. Mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.”

Hiro Takagawa, 27 tahun, Calon Dewan

“Bagaimana kalau tidak usah saja?” tawar Hiro pada temannya.

“Tapi aku memaksa. Satu kartu saja. Kamu sudah datang sejauh ini.” Sang peramal ambil berbicara.

“Aku ke sini bukan untuk diramal, hanya ingin bertemu dengan beberapa orang saja.”

“Mungkin termasuk aku?” peramal itu tidak menyerah.

“Oke. Kamu benar-benar memaksa!”

“Kamu memang orang yang harus dipaksa!” timpal teman Hiro.

Mereka duduk di kafe itu dengan tenang. Karena kartu-kartu tarot itu sebenarnya sedari tadi telah tersusun di atas meja dengan rapi sebelum Hiro menolak untuk bermain-main dengan satu di antaranya. Dan kini Hiro duduk berhadapan dengan semua kartu ‘aneh’ yang menyulitkan pikirannya. Iya, hanya satu kartu.

“Untuk asmara?” peramal itu menanyakan lagi.

“Untuk asmara.” Hiro memilih salah satu kartu tarot dengan ragu-ragu.

“Wheel Of Fortune. Roda keberuntungan.”

“Artinya?” teman Hiro yang justru menggebu-gebu.

“Jodohmu … selalu menjadi jodohmu. Di masa lalu, sesuatu yang belum selesai harus diselesaikan saat ini. Jodohmu.” Si peramal meraba-raba perkiraan yang dijelaskan oleh kartu tarotnya.

“Jadi, apakah teman saya ini mati bujang di masa lalu? Apakah begitu?” sambil tertawa teman Hiro meyakinkan.

“Aku sudah pernah menikah, aku hanya duda saat ini!” tentu saja Hiro kesal.

“Bukan seperti itu, tetapi ada yang tidak benar-benar kamu selesaikan di masa lalu.” Tambah si peramal.

“Apa?” teman Hiro menatap dalam, apa yang belum diselesaikan oleh teman ‘perfect’-nya satu ini? Semua sudah. Menikah dengan artis cantik, sudah. Meskipun kemudian istrinya meninggal. Menjadi anggota dewan, juga sedang proses saja. Lalu apa yang belum selesai di masa lalu?

“Jangan tanya aku, aku juga tidak tahu. Bullshit dengan semua ini. Aku pergi! Terima kasih atas kartunya. Dewi keberuntungan selalu memihakku.” Hiro beranjak dari kursinya.

“Atau tidak juga?” tambahnya lagi ketika melihat hujan di luar kafe. Kapan hujan ini turun? Ia bahkan lupa menyiapkan payung seperti yang biasa Hiro lakukan di negaranya, Jepang. Hujan di Korea tidak bisa ia duga.

Dengan memeluk tas laptopnya, ia berlari ke pusat perbelanjaan. Ia butuh untuk membeli sebuah payung di sana. Sebuah pusat perbelanjaan yang letaknya berseberangan dengan kafe tempatnya berdiri. 1 … 2 … 3 … lari. Hiro berlari sambil merunduk. Tanpa sadar ia bertabrakan dengan seorang gadis. Gadis itu jatuh terhuyung. Hiro tidak mungkin untuk membiarkan laptopnya kebasahan. Sesegera mungkin ia bernaung. Ia tahu gadis itu pasti sangat kesal. Namun ia berpikiran lain. Hiro segera memasuki market dan membeli 2 payung, 2 handuk kecil, dan 2 minuman hangat. Satu di antaranya untuk gadis itu. Mudah untuk menemukan gadis itu, di bajunya tertulis besar merek dagang yang ia sedang promosikan.

“Hah? Dia sudah bisa tersenyum.” Hiro melewatkannya saja. Ia melihat gadis itu dari kejauhan. Gadis itu berdiri dengan pakaian yang seksi dan tersenyum kepada semua pengunjung yang hilir mudik.

“Ah, lupakan. Aku hanya terlalu khawatir.” Hiro pun berlalu pergi.

***

“Lalu bagaimana dengan menemukanku lagi di Korea? Bukankah kamu kehilangan ingatan?”

“Ah, itu hal mudah. Kamu tahu suami Mae Ri?”

“Suami Mae Ri? Jangan bilang itu teman yang mempertemukanmu dengan peramal tarot?” tebak Davichi.

“Bukan. Dia bawahanku di perusahaan. Aku pemiliknya, setelah pihak Korea diakuisisi Jepang.”

“Hah?” Davichi tidak mengerti.

“Di hari pernikahan itu, aku tidak sengaja melihatmu. Aku takut bahwa aku salah. Selama 2 tahun ini ingatanku kembali. Aku mencarimu lagi. Sebelumnya aku hanya seperti bermimpi bertemu dengan seorang wanita dengan hanbok yang terus memegang tanganku dalam pandangannya. Aku tidak mengerti apa maksud dari mimpi itu. Ternyata setelah ingatanku pulih, aku pernah berpisah dengan seorang gadis cantik asal Korea di sini.”

“Beraninya kamu melupakan itu!” Davichi mengetuk kepala Hiro dengan kedua jarinya.

“Tapi kita sekarang bersama lagi. Aku bahagia.” Hiro tersenyum dan mengelus rambut Davichi yang ada dalam gulungan rambut khas wanita korea yang telah menikah atau disebut juga Eonjun Meori.

“Bagaimana dengan Karin?” Davichi masih cemburu.

“Hei, suami Karin itulah yang membawa peramal tarot itu. Kami memang dekat. Karena Karin telah menikah jauh sebelum kita bertemu 7 tahun lalu. Di antara teman-teman, hanya akulah yang jomblo. Makanya mereka repot-repot membawakan peramal. Ya, maksudku hanya aku yang duda. Kamu masih cemburu?”

“Iya. Cemburu.” Davichi mengerutkan bibirnya.

“Hahaha … tapi ke mana Eun Jo pergi?” Hiro mengingatkan lagi pada anak laki-laki usia 8,5 tahun itu.

“Mudah menemukannya, dia memakai hanbok di tengah Shibuya. Itu bukan pakaian anak normal. Itu dia.” Davichi menunjuk pada anak kecil yang berkejar-kejaran dengan anak seusianya, bermain bola di pinggir jalan kota yang lenggang.

“Saranghae …” ucap Hiro yang mengenakan kimono musim gugur. Membuat laki-laki itu terlihat lucu.

Berkalipun aku mengatakan hal yang sama. Aku tahu kamu juga akan menjawab dengan sebuah cinta. Aku ingin kita selalu bersama.

2012, Shibuya, Patung Hachiko.

Aku Nam Davichi, dia Hiro Takagawa. Kami telah menikah dan telah memiliki seorang putra bernama Eun Jo. Usianya 8,5 tahun ketika Miyoshi Nobuyoshi meninggalkannya. Im Soo-Yeon berjanji dalam hidupnya untuk membesarkan Eun Jo ketika pada hari berikutnya kakek meninggal dunia. Terlalu sedih hidup Eun Jo di Zaman Joseon. Meskipun kini Eun Jo telah kehilangan kedua orang tua kandungnya. Ia masih memiliki kami. Kedua orang tua yang selalu mencintainya.

“Kami bertemu lagi di sini, Hachiko.” Dalam hati Davichi mengucapkannya.

‘Semua kata cintamu bohong, air matamu juga bohong. Tapi jika semua itu bohong, mengapa aku kini tidak dapat hidup tanpa kebohonganmu? Ini begitu nyata. Hanya kata ‘aku pergi’-mu saja yang bohong.’



*) Diinspirasi dari lagu Don’t Leave – Davichi (track bonus)

Ditulis oleh @___eL dalam http://noteofme.wordpress.com

No comments:

Post a Comment