Monday, October 1, 2012

Hati

Aku duduk menangis dalam diam. Tak pernah aku merasa sekacau ini selama tiga puluh dua tahun hidupku.
Ruangan ini terasa begitu sempit dan menghimpit. Aku beranjak dari tepian tempat tidur menuju ke luar—ruang persegi panjang yang salah satu sisinya berhias sebuah piano. Mataku tertuju pada pigura besar yang menggantung manis di dinding, di atas piano tersebut. Pigura itu diisi dengan karya terbaik yang diambil oleh fotografer pernikahan kami. Mas Asa terlihat sangat tampan dan bahagia. Sebahagia aku, tentu saja.
Aku berdiri terpaku di depan pigura emas itu. Kemudian, tanpa kupanggil, kilasan kata-kata dokter tadi siang muncul kembali.

“Hasil lab sudah keluar…”
“Anda didiagnosa menderita…”
“Rata-rata tidak lama…”

Kubuka pelindung yang menutupi tuts piano, lalu aku duduk di kursinya. Ingin sekali kumainkan lagu sedih yang mungkin dapat mewakili perasaanku yang kini bernada minor. Seandainya aku bisa. Selama ini yang kubisa hanyalah menikmati permainan piano Mas Asa yang mengiringi melodi yang dilantunkan suaranya yang luar biasa. Aku membayangkannya sedang menyanyikan lagu kesukaannya.

Dia indah..
Peretas gundah..
Dia yang selama ini kunanti..
Pembawa sejuk..
Pemanja rasa..
Dia yang selalu ada untukku..

Mendadak hatiku seperti dihujam ratusan anak panah. Ya, hatiku yang dinyatakan tercemar kanker ganas itu.

***

Kondisi Padma semakin lemah. Berminggu-minggu proses kemoterapi dijalaninya, namun saya tak melihat perkembangannya.

Saya terbiasa membelai rambut istri saya setiap malam sebelum tidur, tapi kini hampir tak ada rambut yang bisa saya belai. Semua direnggut oleh penyakitnya yang entah dari mana sumbernya. Bagaimana bisa Tuhan tega menciptakan seorang wanita rupawan yang dibekali sebuah hati yang lembut sekaligus tertanami kanker?

Empat tahun kami menikah, tanpa dikaruniai anak, tapi hati istri saya tak lantas jadi resah. Ia justru menguatkan saya, menjadi teman bagi saya yang sangat kalut ketika divonis mandul oleh dokter. Padma dengan hatinya yang tulus tak menuntut haknya untuk menjadi seorang ibu. Ia menjalankan kewajibannya sebagai istri tanpa mengeluh.

Kepada saya dokter pernah mengatakan, bahwa hidup istri saya tak akan lama. Kankernya sudah terlalu parah. Hatinya sudah rusak. Ironis. Hatinya begitu terjaga, tapi rusak.
Yang bisa saya lakukan hanyalah menguatkannya. Saya tak tahu pasti seberapa sakit proses kemoterapi yang ia jalani. Saya benar-benar awam atas seberapa kuat ia setiap hari. Saya tak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya menjalani setiap sisa detik yang ia punya.
Saya terus mengumbar harapan. Saya memberinya harapan untuk tetap bertahan, dengan saya ada di sisinya. Saya ingin menghidupkan kembali semangatnya dan menjaga agar senyumnya tetap mengembang. Karena itu, saya menghujaninya dengan berbagai janji, antara lain jika ia sembuh nanti, saya akan mengajaknya umroh ke tanah suci, mengunjungi pedesaan yang dilingkung sawah dan tanaman-tanaman yang sangat ia suka, membuat syukuran lima tahun pernikahan kami bersama anak-anak di panti asuhan.
Saya menjanjikan apapun yang terpikirkan, asalkan semangat hidupnya tetap tumbuh dan menguat. Saya ingin ia tahu, bahwa ia selalu memiliki saya yang bisa ia andalkan, dan saya juga memberitahunya bahwa saya merasa bisa mengandalkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, untuk bertahan.

***

Untuk ukuran seorang wanita seusiaku yang seharusnya masih terhitung produktif, aku sungguh tak berguna. Aku tak lagi mampu menata apartemen yang tak seberapa luas ini.
Aku sadar betul bahwa ini tak akan lama. Kondisiku yang semakin hari semakin melemah kini memaksaku untuk duduk di atas kursi roda. Meskipun masih bisa berdiri, tapi gerakku tak lagi semulus dulu. Aku mulai kesulitan buang air sendiri. Mas Asa seringkali tak berangkat ke kantor, hanya untuk menemaniku. Hanya Mas Asa yang aku punya sejak ibuku meninggal dua tahun lalu menyusul ayahku yang sudah lebih dulu pergi saat aku kecil.

Hari ini, aku memberanikan diri bertanya pada suamiku, “Mas, apakah aku menyusahkan hidupmu?”

Mas Asa menatap mataku dalam-dalam. Ia berpikir sejenak, lalu menghembuskan napas berat. Ia membuka mulutnya lalu menjawab.

“Iya, Dek, kamu menyusahkan hidup Mas.”

Aku tercekat seketika. Aku terdiam beberapa detik, berharap akan ada tawa canda yang mengoreksi pernyataannya barusan.

Nihil.

Hatiku mencelos. Aku tidak siap dengan jawaban yang seperti itu. Aku menyiapkan diriku untuk mendengarnya menjawab sebaliknya. Aku menyiapkan hatiku yang sudah morat-marit ini untuk diperban oleh kata-kata manisnya di masa-masa kritisku, dan bukan makin dihancurkan begini.

“Mas akan jadi pendusta paling hebat jika Mas mengaku tidak kesusahan merawatmu, Dek. Itu artinya Mas akan membohongi diri sendiri, dan membohongimu. Dan Mas tidak sanggup berbohong pada orang yang Mas cintai.”

Aku bergeming. Aku masih sulit menemukan ekspresi yang tepat untuk merespon kata-kata Mas Asa.

Mas Asa meraih tanganku, lalu menggenggamnya erat. “Tidak sedetikpun Mas menyesal disusahkan olehmu, Dek. Mas justru menghargai setiap momen susah ini. Mas mencintaimu bukan hanya saat kita sama-sama sehat, tapi juga dalam kondisi seperti ini.”

Kutatap matanya lekat-lekat, sangat terpancar kehangatan dari dalam sana. Aku meresapi kejujurannya yang ternyata tak menyakitkan.

Kejujuran ini nyatanya lebih menyenangkan dibanding semua harapan-harapan yang Mas Asa utarakan belakangan ini, yang hanya dapat kutanggapi dengan anggukan dan senyuman. Ia ingin aku lekas sehat, untuk kemudian bersamanya menikmati hal-hal indah di dunia. Tapi aku lebih dari sekedar tahu—aku sadar betul, semua itu hanyalah harapan palsu. Dan aku juga sadar betul, bahwa yang nyata hanyalah ketulusan Mas Asa dalam mencintaiku.

Hari ini aku seperti mengalami titik balik. Aku seperti kembali ke masa pertama kali jatuh cinta pada suamiku, enam tahun yang lalu.

***

Saya melepasmu, Padma. Saya relakan kepergianmu hari ini. Terima kasih untuk perjuanganmu bertahan selama delapan bulan ini. Terima kasih, kamu telah menjadi teman hidup saya yang terbaik. Pada kenyataannya, kita tak bisa menghadapi dunia bersama-sama lagi, namun saya tahu persis, bahwa kamu selalu ada di dunia saya. Saya mencintai kamu—jiwa yang selalu saya puja.


*) Diinspirasi oleh lagu Tulus — Teman Hidup

Ditulis oleh @_fikan dalam http://thankthinkthunk.wordpress.com

No comments:

Post a Comment