Ruangan ini terasa begitu sempit dan menghimpit. Aku
beranjak dari tepian tempat tidur menuju ke luar—ruang persegi panjang yang
salah satu sisinya berhias sebuah piano. Mataku tertuju pada pigura besar yang
menggantung manis di dinding, di atas piano tersebut. Pigura itu diisi dengan
karya terbaik yang diambil oleh fotografer pernikahan kami. Mas Asa terlihat sangat
tampan dan bahagia. Sebahagia aku, tentu saja.
Aku berdiri terpaku di depan pigura emas itu. Kemudian,
tanpa kupanggil, kilasan kata-kata dokter tadi siang muncul kembali.
“Hasil lab sudah keluar…”
“Anda didiagnosa menderita…”
“Rata-rata tidak lama…”
Kubuka pelindung yang menutupi tuts piano, lalu aku duduk di
kursinya. Ingin sekali kumainkan lagu sedih yang mungkin dapat mewakili
perasaanku yang kini bernada minor. Seandainya aku bisa. Selama ini yang kubisa
hanyalah menikmati permainan piano Mas Asa yang mengiringi melodi yang
dilantunkan suaranya yang luar biasa. Aku membayangkannya sedang menyanyikan
lagu kesukaannya.
Dia indah..
Peretas gundah..
Dia yang selama ini kunanti..
Pembawa sejuk..
Pemanja rasa..
Dia yang selalu ada untukku..
Mendadak hatiku seperti dihujam ratusan anak panah. Ya,
hatiku yang dinyatakan tercemar kanker ganas itu.
***
Kondisi Padma semakin lemah. Berminggu-minggu proses
kemoterapi dijalaninya, namun saya tak melihat perkembangannya.
Saya terbiasa membelai rambut istri saya setiap malam
sebelum tidur, tapi kini hampir tak ada rambut yang bisa saya belai. Semua
direnggut oleh penyakitnya yang entah dari mana sumbernya. Bagaimana bisa Tuhan
tega menciptakan seorang wanita rupawan yang dibekali sebuah hati yang lembut
sekaligus tertanami kanker?
Empat tahun kami menikah, tanpa dikaruniai anak, tapi hati
istri saya tak lantas jadi resah. Ia justru menguatkan saya, menjadi teman bagi
saya yang sangat kalut ketika divonis mandul oleh dokter. Padma dengan hatinya
yang tulus tak menuntut haknya untuk menjadi seorang ibu. Ia menjalankan
kewajibannya sebagai istri tanpa mengeluh.
Kepada saya dokter pernah mengatakan, bahwa hidup istri saya
tak akan lama. Kankernya sudah terlalu parah. Hatinya sudah rusak. Ironis.
Hatinya begitu terjaga, tapi rusak.
Yang bisa saya lakukan hanyalah menguatkannya. Saya tak tahu
pasti seberapa sakit proses kemoterapi yang ia jalani. Saya benar-benar awam
atas seberapa kuat ia setiap hari. Saya tak bisa menjelaskan bagaimana
perasaannya menjalani setiap sisa detik yang ia punya.
Saya terus mengumbar harapan. Saya memberinya harapan untuk
tetap bertahan, dengan saya ada di sisinya. Saya ingin menghidupkan kembali
semangatnya dan menjaga agar senyumnya tetap mengembang. Karena itu, saya
menghujaninya dengan berbagai janji, antara lain jika ia sembuh nanti, saya
akan mengajaknya umroh ke tanah suci, mengunjungi pedesaan yang dilingkung
sawah dan tanaman-tanaman yang sangat ia suka, membuat syukuran lima tahun
pernikahan kami bersama anak-anak di panti asuhan.
Saya menjanjikan apapun yang terpikirkan, asalkan semangat
hidupnya tetap tumbuh dan menguat. Saya ingin ia tahu, bahwa ia selalu memiliki
saya yang bisa ia andalkan, dan saya juga memberitahunya bahwa saya merasa bisa
mengandalkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, untuk bertahan.
***
Untuk ukuran seorang wanita seusiaku yang seharusnya masih
terhitung produktif, aku sungguh tak berguna. Aku tak lagi mampu menata
apartemen yang tak seberapa luas ini.
Aku sadar betul bahwa ini tak akan lama. Kondisiku yang
semakin hari semakin melemah kini memaksaku untuk duduk di atas kursi roda.
Meskipun masih bisa berdiri, tapi gerakku tak lagi semulus dulu. Aku mulai
kesulitan buang air sendiri. Mas Asa seringkali tak berangkat ke kantor, hanya
untuk menemaniku. Hanya Mas Asa yang aku punya sejak ibuku meninggal dua tahun
lalu menyusul ayahku yang sudah lebih dulu pergi saat aku kecil.
Hari ini, aku memberanikan diri bertanya pada suamiku, “Mas,
apakah aku menyusahkan hidupmu?”
Mas Asa menatap mataku dalam-dalam. Ia berpikir sejenak,
lalu menghembuskan napas berat. Ia membuka mulutnya lalu menjawab.
“Iya, Dek, kamu menyusahkan hidup Mas.”
Aku tercekat seketika. Aku terdiam beberapa detik, berharap
akan ada tawa canda yang mengoreksi pernyataannya barusan.
Nihil.
Hatiku mencelos. Aku tidak siap dengan jawaban yang seperti
itu. Aku menyiapkan diriku untuk mendengarnya menjawab sebaliknya. Aku
menyiapkan hatiku yang sudah morat-marit ini untuk diperban
oleh kata-kata manisnya di masa-masa kritisku, dan bukan makin dihancurkan
begini.
“Mas akan jadi pendusta paling hebat jika Mas mengaku tidak
kesusahan merawatmu, Dek. Itu artinya Mas akan membohongi diri sendiri, dan
membohongimu. Dan Mas tidak sanggup berbohong pada orang yang Mas cintai.”
Aku bergeming. Aku masih sulit menemukan ekspresi yang tepat
untuk merespon kata-kata Mas Asa.
Mas Asa meraih tanganku, lalu menggenggamnya erat. “Tidak
sedetikpun Mas menyesal disusahkan olehmu, Dek. Mas justru menghargai setiap
momen susah ini. Mas mencintaimu bukan hanya saat kita sama-sama sehat, tapi
juga dalam kondisi seperti ini.”
Kutatap matanya lekat-lekat, sangat terpancar kehangatan
dari dalam sana. Aku meresapi kejujurannya yang ternyata tak menyakitkan.
Kejujuran ini nyatanya lebih menyenangkan dibanding semua
harapan-harapan yang Mas Asa utarakan belakangan ini, yang hanya dapat
kutanggapi dengan anggukan dan senyuman. Ia ingin aku lekas sehat, untuk
kemudian bersamanya menikmati hal-hal indah di dunia. Tapi aku lebih dari
sekedar tahu—aku sadar betul, semua itu hanyalah harapan palsu. Dan aku juga
sadar betul, bahwa yang nyata hanyalah ketulusan Mas Asa dalam mencintaiku.
Hari ini aku seperti mengalami titik balik. Aku seperti
kembali ke masa pertama kali jatuh cinta pada suamiku, enam tahun yang lalu.
***
Saya melepasmu, Padma. Saya relakan kepergianmu hari ini.
Terima kasih untuk perjuanganmu bertahan selama delapan bulan ini. Terima
kasih, kamu telah menjadi teman hidup saya yang terbaik. Pada kenyataannya,
kita tak bisa menghadapi dunia bersama-sama lagi, namun saya tahu persis, bahwa
kamu selalu ada di dunia saya. Saya mencintai kamu—jiwa yang
selalu saya puja.
*) Diinspirasi oleh lagu Tulus — Teman Hidup
Ditulis oleh @_fikan dalam http://thankthinkthunk.wordpress.com
No comments:
Post a Comment