Sunday, September 30, 2012

Aku Pergi, Bunga

Klik.. Klok.. Klik.. Klok.. Hanya ada suara detak jarum jam menemaniku. Gusar. Sedari kemarin siang kerjaanku hanya memandangi akun facebooknya. Kubiarkan laptopku berjaga. Pun tak kuhiraukan berapa banyak pulsa modem terbuang termuntahkan hanya demi dia. Yang kucari tak kunjung ketemu. Membolak-balik album fotonya. Si tuan tebar pesona ini. Banyak nian koleksi fotonya.

    “Dasar narsis!”

Tiba-tiba tercetus kalimat itu dari bibirku. Dia.. Ah, rasanya terlalu panjang bila harus kubeberkan siapa sebenarnya dia. Hm..

***

Namanya Ikin, teman seangkatanku. Sejak tahun pertama kuliah ia berhasil mencuri hatiku. Entah.. mungkin benar kata orang, cinta itu buta tak punya syarat mengapa harus cinta. Cinta yang hanya bisa kupendam karena aku tahu aku siapa. Hanya seorang gadis kampung, anak seorang janda yang beruntung bisa meneruskan kuliah di kota. Dengan Ikin.. Selama ini kami berteman, bersahabat.. Kata mereka, kami cocok. Nyambung. Cuma..

    “Kin… Aku ajari yang ini dong!”

Alamaak! Si centil ini datang mengganggu kami. Tugas yang sedang kami bicarakan mendadak buyar karena kedatangannya. Siapa tak kenal gadis centil ini? Ira. Parahnya, tiap kali kami berdua membicarakan tugas kelompok si pengganggu ini hampir selalu datang. Yang membuatku gemas, Ikin membiarkan saja ia berulah. Menanggapi dengan manis dan penuh perhatian pada Ira.

Padahal…

    “Fit, hm.. boleh aku bicara?”

Kulihat raut wajah Ikin berubah serius.

Hari itu kami bertemu di Djendelo Koffie lepas Ashar. Kata Ikin, masih ada beberapa bagian tugas dari Dr. Nano yang harus kami bicarakan. Setahuku kami sudah menyelesaikannya dua hari sebelum Ikin meminta bertemu.

    “Ya.. “

Kalimatku pun berubah menggantung, heran dengan sikapnya.

    “Aku.. Aku..”

    “Hei, Tuan Penebar Pesona… Kau ini kenapa sih?”


Aku mulai tak sabar. Jarang sekali Ikin bersikap seperti itu. Heran.

    “Enggaaak..”

    “Ya sudah, kita lanjut ke tugas pak Nano. Jadi apa yang kurang?”


Tanyaku lagi tak sabar. Aku tak suka membuang waktu, meski jauh di dalam hati aku senang bisa bertemu dengannya sore itu.

    “Hm.. Aku.. Sebenarnya aku bukan mau membahas tugas dari pak Nano.. Aku…”

    “Ya ampun, Ikiiiin…!!


Setengah berteriak aku melampiaskan ketidaksabaranku. Ia tak pernah seperti itu, berbelit-belit.

    “Stop.. Stop.. Aku cuma mau ketemu Fitri Nurmawati.. Titik.”

    “So? “

    “Tugas kita selesai dan ga ada yang harus kita bahas.. “


Bola mataku menatap tajam ke arah Ikin.

    “.. hanya perlu menyampaikan satu hal saja. Hmm…”

Ikin mengambil napas dalam-dalam lalu diam sesaat,

    “Maukah kau menikah denganku?”

Jadi ternyata…

***

Dalam diamku aku bahagia. Orang yang selama ini kudamba hampir melunasi pengharapan, menjadi jawaban doa tiap malamku. Bahagia karena aku tak perlu jauh-jauh mencarinya seperti mereka, gadis-gadis sebayaku yang gemar mengejar sesuatu yang tak pasti. Bahagia karena rasa ini hanya antara kami. Tak perlu orang lain tahu sebelum waktu menjadi penentu.

Lepas kuliah, kami terpaksa berpisah. Kujaga baik-baik janjiku pada Ikin, pada Tuhan untuk setia menjalani itu semua. Ia pergi mengadu nasib ke  ibukota. Sebuah perusahaan penyiaran berskala nasional menerimanya menjadi cameraman. Rupanya portofolionya dinilai sangat baik. Sekali lagi, aku berbahagia. Dengan sederhana kuungkapkan lewat surat-suratku pada Ikin. Aku suka berkirim kabar lewat surat. Biar orang bilang kuno, kalau aku suka.. mereka mau apa?

Waktu berlalu.. Tak terasa empat tahun sudah, jarak terentang di antara kami. Dua kota, Sragen-Jakarta. Denganku, tak banyak berubah. Masih menjadi gadis kampung yang teguh (atau mungkin keras kepala) memegang janji setianya. Janji Ikin bahwa ia akan menjemputku pada saatnya nanti. Ah, bukankah cinta itu sederhana?

Sayangnya…

Akhir Juni 2012

Sepekan sebelum kepulangan Ikin ke kampung halamannya di Tegal,  ia menghubungiku via ponsel. Sesuatu yang tak kusangka tanpa sengaja kudengar langsung darinya. Ibunya sakit keras. Sedih mendengarnya, tapi aku bisa apa? Selama empat tahun itu sama sekali tak ia perkenalkan kepada keluarganya. Pada ibunya yang sering menjadi pokok bahasan di surat-surat balasannya; pada ayahnya yang veteran perang; pada kakak cantiknya yang suka memberikan wejangan. Ah, ia seakan hanya memameriku kehidupan manis. Apakah aku terlampau lugu (atau bodoh) bila mempercayai orang yang berjanji hendak menikahiku?

Sepuluh hari kemudian kuterima surat darinya, dari orang yang kucinta, Mukhlas Sholikhin. Tapi tak seperti biasanya. Kiriman kali itu terbungkus amplop coklat berukuran kuarto. Begitu kubuka.. betapa kaget bukan kepalang. Amplop itu berisi semua surat-suratku.. juga sebuah amplop berwarna biru, warna kesukaan Ikin. Di bagian muka amplop itu tertulis sebuah puisi, permohonan maaf darinya..

    Duhai Bunga..

    Mengertilah aku tlah membuatmu kecewa

    Maafkanlah..

    Kepulanganku menemui Ibunda

    Rupanya adalah isyarat untuk mengakhiri ini semua

    Duhai Bunga..

    Maafkanlah..

    Aku pergi, Bunga..

Gemetaran ku membukanya. Astaghfirullaah.. Ira & Ikin? 27 September 2012? Itu 2 bulan lagi. Astaghfirullaah.. Seketika pandangan mataku meredup, lalu gelap.

Biar kuutarakan saja
Segenap rasa mengendap di dada
Lewati desah nada lagu
Walau sumbang terlanda sendu
Suratku, seribu makna

Bagimu, dambaan jiwa
Masih tetap terjaga s’lalu
Sebentuk cinta kasihku buatmu
Sejak kau tanamkan harapan
Kusambut dan membuka tangan
Tega kau buyarkan impian

Bantu aku, lari dari bayangmu
Hasrat melupakanmu
Usah lagi, senyum sapamu mengganggu
Engkau bukan untukku

Terlanjur aku terjatuh
Mencoba bangkit dan berjalan lagi


ditulis @phijatuasri dalam http://asree84.wordpress.com | Bantu Aku

No comments:

Post a Comment