Friday, September 28, 2012

Saranghae, Tsukiatte Kudasai vol. 5

“Yang Mulia … !!!”

Salah satu prajurit berteriak memanggil Hidetsugu dengan tergesa-gesa. Pasalnya siang ini mereka mendapat serangan mendadak, serangan balasan untuk mengambil –alih kembali kota yang sudah jatuh ke tangan pasukan perang Jepang. Padahal pasukan inti Jepang sedang berperang di tempat lain dan dikabarkan melalui burung merpati pembawa surat bahwa mereka akan kembali sekitar siang keesokan hari. Yang tersisa di kota ini hanyalah pasukan cadangan dengan jumlah terbatas.

Hidetsugu dan Soo-Yeon saling berpandangan satu sama lain. Ada yang terucap pada tatapan mata itu. Ada kata tanya, ini belum berakhir kan? Kita belum berakhir sampai di sini kan? Juga kata seru yang tidak kalah kuatnya ingin terucap, kamu harus pergi! Tinggalkan tempat ini, aku ingin kamu tetap hidup! Serta sebuah kalimat janji, aku pasti akan kembali kepadamu.

Soo-Yeon menunggangi kuda semampunya. Dengan air mata berlinangan ia berlari menjauhi tempat perang. Hidetsugu menyuruhnya kembali ke desa. Laki-laki itu juga menjanjikan bahwa ia akan kembali menemui Soo-Yeon di desa. Apakah ini sebuah perpisahan?

***

“Aku ingat ketika pertama kali bertemu. Aku menangis melihat tubuh laki-laki itu bersimbah darah. Aku hanya mampu menangis di luar gubuk setelah kakek dan Eun Jo membawa tubuhnya dengan gerobak menuju gubuk. Kakek melarangku masuk karena aku hanya dapat menangis. Aku begitu takut melihat kematian. Seperti aku takut melihat budak yang menandu keretaku mati dengan tebasan-tebasan pedang. Karena itu aku berlari, aku berlari, dan terus berlari. Aku tidak peduli lagi dengan kakiku. Aku ingin berlari.

Dengan perlahan aku mengusapkan kain basah untuk menyeka tubuhnya. Laki-laki ini begitu tampan untuk menjadi seorang prajurit perang. Wajahnya memikat hati. Wajah ini harusnya berada di istana sedang membaca laporan, menyusun strategi politik, melakukan perdebatan, dan menuliskan sajak. Ia bukan laki-laki yang pergi berperang di barisan depan. Ia bukan laki-laki yang pantas menerima tebasan pedang, juga anak panah yang menghujan. Meskipun tubuhnya padat berisi dan dihiasi otot besi. Dia bukan laki-laki seperti itu.

Aku tidak ingin melihatnya mati dua kali. Laki-laki itu mengambil pisau yang tidak sengaja ku letakkan di sampingnya untuk mengupas buah bila ia terbangun lagi, nanti. Pikirku begitu. Tetapi ia terbangun dengan gelap mata. Ia putus asa. Tetapi aku tahu ia ragu saat akan menusukan pisau itu ke perutnya. Aku menahan tangannya. Aku menahan kakinya. Aku menahan pikirannya. Bahwa ia masih harus hidup. Ia harus hidup. Laki-laki itu masih harus hidup, menjadi dirinya sendiri.

Dan ia masih hidup di keesokan hari. Aku membelikannya hanbok, gat, dan sepatu meskipun bukan barang mahal. Aku melihatnya mengenakan hanbok dengan susah payah. Juga saat mengenakan gat. Dengan tanpa diminta, aku pun membantunya merapikan hanbok, merapikan rambut panjangnya dalam gulungan sebelum dimasukkan ke dalam gat, juga merapikan ekspresi di wajahnya yang masih kusut. Hari ini aku ingin mengajaknya jalan-jalan ke pasar.

Dia menyesal terhadap kedua kakiku. Padahal aku menyembunyikan kedua pasang kaki itu dengan baik. Aku seolah berjalan dengan normal. Tetapi dia menggendongku dan berkata, ‘aku akan membuatmu menari lagi’. Entah harapan itulah yang kemudian memotivasiku. Aku ingin menari lagi. Kemarin keinginan itu sudah tidak ada artinya bagiku.

Melihatnya tertawa bersama Eun Jo di sungai membuatku bahagia. Kedua laki-laki inilah harapanku hidup. Eun Jo yang menyelamatkanku. Miyoshi Nobuyoshi, nama laki-laki prajurit perang itu, yang memberikanku mimpi. Eun Jo dan Nobuyoshi bercengkrama seakan keduanya sepasang adik-kakak. Betapa indahnya pemandangan ini.

Dan kami menertawakannya ketika pulang dari gunung bersama kakek. Dengan semak-belukar, dengan pipi yang bengkak, dengan baju yang basah, dan wajah yang kusut ia pulang. Kata kakek, Nobuyoshi tidak sengaja melempar sarang lebah hutan saat membidik burung di dahan sebagai makan siang. Ia berlari sekuat tenaga mencari sungai karena lebah-lebah itu tidak melepaskannya begitu saja. Beberapa jam ia berendam dalam sungai dengan bambu kecil yang kakek berikan semasa ia berlari tanpa arah di dalam hutan.

Juga saat menemaniku berlatih tari. Ia bersungguh-sungguh menjadi tiang tempatku berpegang. Ia juga memijati kedua kakiku yang kelelahan. Dan ketika aku mulai menyerah, ia menghiburku dengan menirukan gerakan tari yang ku latih. Membuat aku tertawa terpingkal-pingkal melihat laki-laki berhanbok dan mengenakan gat itu menari. Tidak cocok. Setelah itu aku bangkit dan memulai lagi.

Hal lebih lucu lagi ketika ia dengan malu-malu ikut duduk di bawah pohon rindang saat aku mengajarkan anak-anak desa membaca hangul. Meskipun di tertawakan oleh anak-anak desa, Nobuyoshi tidak menyerah dan terus ikut belajar bersama. Eun Jo dengan bangga memperkenalkan kakak angkatnya itu di depan teman-teman. Aku hanya tersenyum melihat keakraban mereka.

Kapan hadirnya perasaan cinta?

Kami berpandangan dalam gelapnya malam. Nobuyoshi, kakek, Eun Jo, dan aku. Kami tidur di lantai gubuk bersama-sama dalam satu ruangan. Cahaya bulan menyinari malam mengintip kami yang sedang berpandangan. Hanya bertemu pandang karena tidak bisa tidur malam itu. Ia memainkan matanya menyuruhku tidur segera. Aku memaikan bibir membentuk kata ‘sirro’ untuk menolaknya. Jadilah kami saling berpandangan. Hingga masing-masing tertidur dengan sendirinya.

Kembali pada pagi ini, ketika aku pulang ke desa tanpa Nobuyoshi. Kakek dan Eun Jo merasa sangat kehilangan. Aku berusaha meyakinkan keduanya bahwa Nobuyoshi akan segera kembali ke desa. Setiap hari aku menggantungkan harapan pada awan-awan yang berarak di langit. Melukiskan wajahnya dan menanti kepulangannya. Nobuyoshi yang tidak akan pernah kembali.

Dengan penuh harapan … aku menunggunya.

Aku kembali menjadi gisaeng untuk melayani bangsawan. Aku ingin mencari informasi tentang keberadaannya. Tentang perang yang terjadi di kota selatan. Benar saja. Pasukan Jepang dapat dipukul mundur saat itu. Aku benar-benar khawatir akan nasib Nobuyoshi. Aku menangis semalaman. Bagaimana dengan keadaannya saat ini?

Namun kabar yang datang berikutnya begitu menyakitkan. Aku mendengar bahwa ia dihukum beserta istri dan anak keturunannya. Ia dihukum dengan hukuman harakiri karena menolak penyerangan ke negeri kami. Ia gugur sebagai pahlawan. Eun Jo mengamuk di sungai tanpa arah. Ia kehilangan kakak yang disayanginya. Kakek hanya diam di gubuk memandangi zirah perang yang pertama kali Nobuyoshi kenakan. Dan aku, aku ingin berlari saja. Aku ingin berlari dan terus berlari. Namun langkahku terhenti. Aku tak sanggup melihat Eun Jo tersiska seperti ini. Aku menyabarkannya. Aku mengatakan padanya bahwa Nobuyoshi telah kembali ke desa. Ia melindungi desa kita dengan nyawanya. Ia mencintai kita selalu di dalam hatinya seumur hidup. Tidak pernah melupakan Eun Jo, kakek, dan janjinya.”

***

“Eun Jo, kakek, aku merindukan kalian. Soo-Yeon, saranghae young wonhee!”

Dengan menitikan air mata, dengan segala perasaan cinta, dengan semua rindu yang tak terbendung, sebuah pisau mencabik-cabik kenangannya. Ia gugur sebagai pahlawan. Toyotomi Hidetsugu aka Miyoshi Nobuyoshi.

Tertanda:
abcdefghijk.eL-u-v U

‘ Apa yang harus kulakukan, aku akan sangat merindukan. Aku menangis karena tidak dapat melupakan, kamu.’


*Diinpirasi oleh lagu Is Love That Foolish – Davichi
Ditulis oleh @___eL dalam http://noteofme.wordpress.com

No comments:

Post a Comment