Wednesday, September 26, 2012

Tentang Kita (Tujuh)

Langkahku mendekati kotak musik besar berwarna hitam kilat yang teronggok manis menghadap jendela. Dari seluruh perabot yang ada, itu yang selalu berhasil mencuri perhatian lebih banyak—juga di rumahmu ini. Tak ada yang mahir memainkannya selain kakak, jelasmu tanpa ku tanya. Pernah kau bercerita mengenai kepindahannya ke luar kota atas tuntutan pekerjaan. Namun permukaan kayunya bebas debu, pun berbagai foto keluarga, buku, dan kertas-kertas partitur tersusun rapi di atasnya. Pertanda ia tetap dirawat, meski ditinggal pianis regulernya.

Ini adalah bagian dari mimpi masa lalu, akuku, selain menjadi balerina. Tak banyak yang tahu, karena seringnya ku posisikan sebagai khayal semata yang takkan kesampaian. Nenek satu-satunya penikmat setia hobi otodidakku itu. Ditiap kunjungan ke kediamannya, kerap ia memintaku mengalunkan lagu gereja, atau lagu apa saja, dari kotak musik besar miliknya yang berwarna coklat tua. Pengiring kala merawat bunga-bunga di beranda, sembari ikut menyanyi kecil dengan girang. Kadang ia duduk saja di sofa kesayangan sambil memejam menikmati untaian nada yang singgahi telinga. Tak ada lagi yang seperti itu semenjak ia tiada. Tahun-tahun setelahnya pun hanya menjadi waktu yang membuat piano di rumahnya semakin penuh abu. Jemariku telah kehilangan gairahnya.

“Pantas saja tadi, tatapmu itu, tatapan rindu.” Aku tersenyum, sudah biasa aku begitu mudah kau baca. Kepalaku pun menggeleng cepat saat kau minta, “Mainkan untukku.” Aku tak lagi semahir dulu, ditambah ketidakpercayaan diri sebab harus memainkannya di depanmu. Tak menyerah, kau menarik tutup tuts piano, dan mengangkat kedua tanganku menyentuhnya.

Jemariku tak lagi kuasa menolak menari di atas putih dan hitamnya. Akor terputus-putus, hasilkan tempo berantakan. Injakan pedal tergesa, namun jiwa ini turut mengalir bersama dinamikanya. Nada-nada yang ku hafal luar kepala menemukan harmoninya dengan suaramu yang turut bersenandung..

“Fly the ocean
In a silver plane
See the jungle
When it’s wet with rain
Just remember till
You’re home again
You belong to me”

Jauh dari sempurna, namun mampu datangkan lega. Seperti ada bagian jiwaku yang menemukan kembali rumahnya.

Tanganmu terulur begitu aku selesai memainkan bagian akhir. “Menari denganku,” pintamu lagi. Tak bisa ku sembunyikan rona bahagia dari wajah. Segera ku sambut tangan itu tanpa lagi menimbang terlalu panjang.

Sebab bersamamu, semua mimpi terasa begitu dekat..

ditulis @beatricearuan dalam http://beatrice-aruan.tumblr.com | You Belong To Me

No comments:

Post a Comment