Harapan palsu selalu saja menyakitkan. Terlebih saat hati sudah dipasrahkan sepenuhnya. Pada apa pun, pada siapa pun. Bukan salah siapa-siapa, sebab siapa pun punya hak yang sama untuk melakukannya. Tidak ada aturan tertulis yang melarangnya. Lalu, saat aku menjadi korban seperti saat ini, aku bisa apa?
Aku tak ingin terus terdiam memandangi harapan
Terlena akan manis cinta dan berujung kecewa
Iya… Aku hanya bisa terbaring sendiri memeluk ingatan dan menitipkannya pada malam. Seperti halnya malam ini, tubuhku yang lemah terbaring di ranjang ruang VIP Rumah Sakit itu. Ini untuk kesekian kalinya aku berada di sini sejak Aretha, tak pernah mau membuka suara tentang isinya hatinya padaku atas pernyataan cintaku waktu itu. Tidak dengan kata ‘iya’ atau ‘tidak’.
Aku tak ingin terus menunggu sesuatu yang tak pasti
Lebih baik kita menangis dan terluka…
Sungguh, sikapnya meruntuhkan imunitas tubuhku dan membuat hatiku terluka. Hampir sebulan Aretha tak kunjung memberikan jawaban. Dan, hampir selama waktu itu aku dirawat di sini. Sendiri.
Lalu, tiba-tiba ada sosok baru yang hampir sebulan ini dekat denganku dan setia menemaniku. Aneh memang. Bahkan namanya saja aku tidak tahu. Dia lebih banyak diam saat datang menemui dan menemaniku. Dan, anehnya lagi dia selalu datang pada saat yang tepat. Saat aku gundah dia selalu menenangkan hatiku. Dari situ aku mengenalinya sebagai malaikat hatiku.
Yang kuinginkan…
Satu tujuan…
Sebuah kenyataan…
Bukan impian…
Sedikit demi sedikit aku bisa melupakan Aretha lewat doa-doa yang tak pernah terlupa. Sampai akhirnya saat hari ke-29 bulan ini tiba.
“Hei… boleh aku nanya sesuatu?”
Dia hanya mengangguk pelan. Masih tetap diam.
“Sampai kapan kamu akan membiarkanku penasaran seperti ini? Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin bersamamu.”
“Tunggu waktunya,” jawabnya singkat.
“Aku hanya ingin kepastian jawaban darimu? Kapan?”
“Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaanmu.”
Kini giliran aku yang terdiam. Dia datang seolah memberi harapan padaku pada satu kenyataan bahwa aku akan sembuh dan bisa bangkit lagi. Tetapi, kenyataannya dia lebih memilih membiarkanku seperti ini dengan alasan waktu. Dia ternyata tidak tahu tentang isi hatiku yang sudah percaya dengan kebaikannya.
Coba katakan…
Coba katakan…
Coba katakan…
Coba katakan
Aku ingin berteriak agar dia bisa mendengarku, tapi tenggorokanku seperti tercekat. Dia justru tiba-tiba menghilang tanpa kabar selama hampir lima hari. Selama itu pula aku menjadi tenang. Membaca sikapnya, aku tahu jawabannya. Kondisiku berangsur-angsur membaik. Kata dokter seminggu lagi aku sudah boleh dibawa pulang untuk proses pemulihan. Aku merasa bahagia mendengar kabar baik itu.
Hari keempat bulan Oktober dia tiba-tiba datang lagi menemuiku.
Sikapnya yang tidak menentu itu kembali menenggelamkan aku ke dasar kekecewaan tanpa harapan nyata. Kondisi tubuhku mendadak semakin melemah. Aku kritis. Hal itu membuatku dan keluargaku pasrah dengan apa yang akan terjadi. Sepertinya aku sudah tidak mampu lagi untuk bertahan hidup. Harapan itu mendadak sirna.
“Sekarang waktunya, Arion!”
Aku tersenyum ke arahnya. Dengan sekali sentakan, nyawaku melayang bersama tubuhnya yang perlahan menghilang di kegelapan malam diiringi tangisan keluarga besarku.
Terima kasih malaikat hatiku yang telah menyelamatkanku dari harapan palsu hidupku lewat kematian yang nyata.
***
ditulis @momo_DM dalam http://bianglalakata.wordpress.com | Coba Katakan
No comments:
Post a Comment