Thursday, September 27, 2012

The Pacific

PROLOG:


Tempat yang indah.


Terlalu indah bahkan.

***

Persis seperti khayalanku. Tembok putih bersih dengan cermin besar sampai ke langit-langit di satu sisinya. Lantai kayu yang hangat. Satu tempat tidur besar berseprai putih dan bantal-bantal bersarung merah maroon. Satu dapur kecil bersih dengan aroma roti yang baru matang memenuhi ruangan. harum. Di dekatnya ada meja makan kecil dengan dua cangkir kopi di atasnya. Salah satu cangkir itu milikku, aku tahu. Satu milik entah siapa. Sebuah kulkas dua pintu yang penuh foto-foto dan post it note ditempelkan dengan magnet berbentuk buah-buahan.

"Cepet pulang yaa :)"

Aku membaca salah satunya. Tulisan tanganku, aku tahu.

Di suatu sudut lain aku melihat satu rak buku besar. Di sana berjejer komik dan berbagai bacaan koleksiku. Tidak jauh dari situ ada pintu yang mengarah ke luar, ke sebuah balkon dengan kursi rotan yang tampak sangat nyaman diduduki. Aku berpikir untuk mengambil sebuah buku lalu duduk di kursi itu, membaca sampai lupa waktu. Tapi satu suara dari ruangan lain membuatku mengurungkan niatku.

Satu ruangan lagi, dengan satu sofa besar dan satu televisi layar datar yang tengah memutar salah satu film favoritku, tepat pada adegan favoritku:


Andy Dufresne: You know what the Mexicans say about the Pacific?
Red: No.
Andy Dufresne: They say it has no memory. That's where I want to live the rest of my life. A warm place with no memory.


Ada seseorang duduk di sofa. Aku berjalan mendekat, dan indera penciumanku menangkap aroma wewangian yg tidak asing. Orang di sofa itu menoleh ke belakang, ke arahku. dan tersenyum. Ah, aku ingat senyum itu. Senyum paling meneduhkan yang pernah aku lihat.

"Kamu?" Hanya kata itu yang mampu keluar

Dia memberi isyarat agar aku beranjak ke sebelahnya. Bagai dihipnotis aku duduk di bagian sofa yang tadi dia tepuk dengan sebelah tangannya. Tepat di sebelah kirinya.

"Kamu?" Lagi-lagi hanya kata itu yang mampu aku ucapkan.

"Katanya tadi suruh cepet pulang" Tangannya menyibak helai anak rambut yang jatuh menutupi mataku, sambil tetap tersenyum dan memandangku lekat.

"Ini dimana?"

"Utopia."




***

EPILOG:


Sungguh tempat yang indah.


Terlalu indah bahkan.


Aku mengarahkan telunjuk dan ibu jariku ke sekelumit kulit di tangan, "Jika ini mimpi, maka aku tidak akan pernah mau untuk bangun lagi. Jika ini nyata, maka aku akan menenggak kafein sebanyak yg kubisa agar tetap terjaga"

Lalu aku mencubit lenganku....




.................................




tidak terasa apa-apa.




hadirmu, senyumku, rinduku, khayalku. 
utopia.


P.S.
utopia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
sistem sosial politik yg sempurna yg hanya ada dl bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dl kenyataan (nomina)


ditulis @malatsih dalam http://malatsih.blogspot.com

No comments:

Post a Comment