Kamu
datang tiba-tiba seperti hujan tanpa kelabu.
Sehingga saat itu aku tak sempat lagi meneduhkan indera-inderaku.
Mereka kuyup, terbasahi deras pesonamu.
Dan bahkan setelahnya, terlukis pelangi yang tak pernah hilang di langit hatiku.
Sehingga saat itu aku tak sempat lagi meneduhkan indera-inderaku.
Mereka kuyup, terbasahi deras pesonamu.
Dan bahkan setelahnya, terlukis pelangi yang tak pernah hilang di langit hatiku.
“Saya Mahardika Ginting dari Fit
N’ Fun Magazine,” ujarmu memperkenalkan diri seraya menyodorkan tangan
kananmu.
Spontan kusambut jabatanmu. Lalu
seketika saja aku seperti tersihir. Kuakrabi semesta pesonamu yang tiada
banding. Sepasang mata dengan tatapan tajam namun meneduhkan. Senyum semanis
gula yang memperlihatkan gigi-gigi yang berbaris rapi. Tubuh tegap dan gagah
yang mungkin hasil tempaan pusat kebugaran. Ditambah wangi parfum bercampur
keringatmu yang memanjakan penciumanku.
Genggaman erat tanganku mungkin tak
pernah lepas andai suaramu selanjutnya tidak singgah di gendang telinga. “Mbak
Maria! Bisa kita langsung mulai saja wawancaranya?”.
Enam puluh menit setelahnya menjadi
satu jam paling mendebarkan yang pernah ada. Bagaimana tidak? Aku puas menikmatimu
sepenuhnya. Untung saja pertanyaan-pertanyaanmu seputar gaya hidup vegan
yang kujalani masih bisa kujawab dengan lancar. Padahal yang ada di pikiranku
saat itu hanya kamu, kamu, dan kamu.
Tak lupa kuselipkan rindu pada
perpisahan pertamaku denganmu saat itu. Kapan-kapan kita ngobrol di luar
kerjaan ya, Dika! Nanti aku hubungi kamu deh. Dua kalimat basa-basi tadi
sukses menyembunyikan isi hatiku sebenarnya padamu. Padahal yang ingin
kusampaikan sebenarnya adalah bahwa aku mencintaimu sejak jabat tangan pertama
kita.
***
Namun
pelangiku seketika mengabu-abu.
Warna-warna yang menghiasinya tanggal satu demi satu.
Rinai yang membanjir pun berpindah ke mataku.
Kepedihan kemudian mengalirkan rintiknya pada luka yang menganga, di hatiku.
Warna-warna yang menghiasinya tanggal satu demi satu.
Rinai yang membanjir pun berpindah ke mataku.
Kepedihan kemudian mengalirkan rintiknya pada luka yang menganga, di hatiku.
Pertemuan-pertemuanku denganmu
setelahnya selalu membekas (setidaknya di ingatanku). Aku dan kamu berbeda
dalam banyak hal. Namun, beberapa kesamaan seperti menjadi perekat dari
perbedaan-perbedaan yang saling melengkapkan. Intensitas komunikasi pun
menigkat seiring waktu. Aku, yang dulu hanya subjek di salah satu artikelmu,
menjelma sahabat dekat yang siap menemanimu kala penat.
Dan tentu saja rasa cintaku kepadamu
tumbuh menghebat. Sampai di suatu saat aku memberanikan diri mengutarakan isi
hatiku kepadamu. Persetan dengan harga diri. Yang aku mengerti saat itu, hatiku
sudah tak lagi bisa membendung rasa yang ada.
Aku mencintaimu, Dika! Kuucapkan kalimat tersebut tanpa ragu kepadamu malam itu,
selepas kita menghabiskan sekotak penuh pop corn di sela menonton DVD
serial Friends bersama-sama. Ketika itu, kurasa kamu menganggapku
bercanda, karena jawabanmu hanya tawa panjang hahaha.
Aku ngga bisa, Maria! Kamu tuh udah
aku anggap saudara perempuanku sendiri.
Jawaban klasik seperti itulah yang terlontar dari mulutmu ketika kusampaikan
bahwa aku serius sepenuhnya tentang apa yang kurasakan kepadamu. Mataku
berkaca-kaca seketika. Kutinggalkan dirimu saat itu juga sebelum air mataku
meluap lalu banjir. Aku basah (lagi). Tapi kali ini oleh perih.
“Jangan dekat atau
jangan datang kepadaku lagi.
Aku semakin tersiksa
karena tak memilikimu.”
jangan datang kepadaku lagi.
Aku semakin tersiksa
karena tak memilikimu.”
***
Kemudian
dia singgah.
Membawakan pelangi warna-warni yang sempat enyah.
Membawakan pelangi warna-warni yang sempat enyah.
Harianto Wijaya, pria luar biasa
yang dikenalkan orang tuaku malam itu. Di usianya yang masih muda, ia sudah
bisa menyejajarkan diri dengan pebisnis senior seperti ayahku. Kabarnya, franchise
Rumah Baca yang ia kelola sudah berdiri di beberapa kota besar di Indonesia.
Dan yang lebih istimewanya lagi, sama sepertiku, ia pun seorang vegan.
Aku dipertemukan dengannya dalam
makan malam yang sedikit formal. Di sebuah restauran mahal di pusat kota
Jakarta. Tanpa sengaja, kami memesan menu yang sama. Saat itu, dalam hati aku
bertanya-tanya, mungkin dia lah yang Tuhan bawakan kepadaku sabagai
penggantimu. Ayahku sepertinya telah membaca pertanda kemurunganku hari-hari
belakangan, sehingga ia membawa Hari untuk diperkenalkan. Singkatnya, kami
dijodohkan.
Setelahnya, aku mencoba menerima
Hari dalam hati. Hari, yang dengan kesungguhannya menunjukkan rasa yang sama
besarnya dengan rasaku kepadamu. Namun, hatiku ternyata telah terisi penuh
olehmu dan kenangan-kenangan tentang kita. Maka kuletakkan lah dirinya di ruang
logika. Siapa tahu suatu waktu kamu bisa kuenyahkan dari hatiku.
“Kucoba jalani hari
dengan pengganti dirimu.
Tapi hatiku selalu
berpihak lagi padamu.
dengan pengganti dirimu.
Tapi hatiku selalu
berpihak lagi padamu.
***
Tapi
pelangi bukanlah pelangi jika tanpa hujan penghapus gersang.
Hatiku pun memilih tetap kerontang,
hingga suatu saat dengan basahmulah aku berkubang.
Hatiku pun memilih tetap kerontang,
hingga suatu saat dengan basahmulah aku berkubang.
Seisi rumahku saat ini dihinggapi
keriuhan. Meja-meja di taman sudah dipenuhi segala macam hidangan yang
disajikan. Tamu-tamu undangan, yang sebagian besar merupakan kerabat dan teman
dekat, satu persatu berdatangan.
Aku memandang cermin di hadapanku. Cantik.
Mapan. Pacar tampan, juga mapan. Apa lagi yang harus kubimbangkan?
Kurapikan sedikit sisiran rambutku sebelum kulangkahkan kaki menuju taman.
Aku dan Hari menjadi pusat keriuhan
pesta malam ini. Aku berbisik padanya bahwa sudah saatnya mengumumkan hal yang
paling ditunggu-tunggu oleh semua tamu. Hari mengambil gelas panjang yang
kemudian ia dentangkan berulang.
“Hadirin sekalian!” Suara berat Hari
mengundang semua yang hadir mendengarkan. “Hari ini, Saya dan Maria, dengan
berat hati meyampaikan bahwa kami membatalkan rencana pernikahan kami.”
Pernyataan Hari tadi mengagetkan tamu yang hadir, tak terkecuali kedua orang
tuaku, juga orang tua Hari.
Aku berlari ke kamarku. Ini kesekian
kalinya mataku terbasahi oleh sembab dari keputusan-keputusanku tentangmu.
Sementara hatiku masih gersang, menunggumu datang membawa hujan.
“Tuhan maafkan diri ini
yang tak pernah bisa
menjauh dari angan tentangnya.
yang tak pernah bisa
menjauh dari angan tentangnya.
Namun, apalah daya ini,
bila ternyata sesungguhnya
aku terlalu cinta dia.”
bila ternyata sesungguhnya
aku terlalu cinta dia.”
***
Karena
cinta bukan lagi perkara logika.
Kadang dia memilih yang acuh,
dan mengacuhkan yang begitu peduli.
Kadang dia memilih yang acuh,
dan mengacuhkan yang begitu peduli.
[fin]
*Diinspirasi dari lagu Terlalu Cinta - Rossa
Ditulis oleh @__adityan dalam http://deetzy.tumblr.com
No comments:
Post a Comment