Sunday, September 30, 2012

Satu Harapan (Palsu)

Siang itu kantin sekolah riuh oleh suara anak-anak yang baru saja keluar kelas karena menjeritnya bel tanda istirahat. Gue melangkah masuk kantin bareng anak-anak band. Dara yang melangkah paling depan menjatuhkan pilihannya pada meja panjang yang paling dekat dengan tukang bakso langganan kami. Enam orang cowok yang kayaknya junior, berhasil ‘diusir’ Vino dari sana.

“Eh, eh.. Ngapain lo di sana? Itu meja senior. Minggir sono!” Vino menegur tepat saat keenam junior lugu itu baru saja duduk. Seketika mereka berdiri lagi dan segera berpindah ke meja lain.

“Mau pesen apa?” Audi menatap kami bertiga.

Vino mengangkat bahu, “terserah, tapi lo yang traktir ye?”

“Ah, sialan lo. Udah tau gue lagi miskin!”

Gue melirik seorang cowok berambut cepak yang baru melangkah masuk ke kantin, tanpa pikir panjang, gue langsung menantang Vino, Dara dan Audi, “gini deh, lo bertiga liat cowok yang diujung sana.”

“Yang senior kelas tiga itu?” Dara menebak-nebak, “Kak Liam? Ketua tim basket?”

Gue mengangguk yakin, “hari ini, gue bakal bikin dia traktir lo semua makan sepuasnya!”

“Ah, yang bener aja. Lo kan nggak kenal sama dia..” Audi meremehkan. Vino hanya tertawa, “cobain, cobaiinnn.. Tapi kalo gagal, makanan kita siang ini lo yang bayar ya, Ra?!” Ia menantang balik.

“Deal!” Gue mengedipkan mata sebelum akhirnya mendekati meja Liam.

Cowok itu masih belum sadar kalo sekarang gue semakin dekat ke mejanya. Konsentrasinya tertuju pada Blackberry Bold yang ada di genggaman.

“Halo ganteng, boleh kenalan?”

Liam mengangkat wajahnya dan langsung tertawa kecil, “hey Ra, apa kabar? Kok baru keliatan?”

“Aku sih di sini aja, Kakak kali yang jarang masuk kantin. Sibuk main basket mulu.”

“Tumben nyamperin? Pasti ada maunya nih anak.”

Aku terkikik, apalagi saat melihat ekspresi Audi dan Vino dari kejauhan. Mereka pasti penasaran kenapa kami bisa saling mengenal.

“Kabarnya kemaren menang pertandingan basket nasional ya? Belom ngucapin selamat, nih..”  Gue duduk di samping Liam, meraih Blackberry tadi seenaknya, dan melihat-lihat gallery foto seperti kebiasaan gue yang dulu-dulu; waktu berkunjung ke rumahnya.

“Paham deh, kamu mau makan apa?” Liam sepertinya sudah hafal taktik gue yang satu ini. Tiap ucapan selamat atas menangnya dia dalam pertandingan basket, selalu diiringi niat minta traktiran.

“Maap yak, karena ini lagi di sekolahan, aku nggak mungkin makan gratis sendirian..”

“Okay, paham banget. Ada berapa orang pasukan kamu hari ini?” Liam berkata gemas lalu mengacak rambutku.

“Tuh, ada Dara, Vino sama Audi.” Gue menunjuk meja ujung dengan dagu, “sepuasnya, kan? Biasanya si Vino makannya banyak, sih. Kayak kuli bangunan.”

“Dasar! Hahaha. Iya, pesen aja. Ntar aku yang bayarin.”

Belum sempet gue ngucapin makasih, mendadak sepasang indera pendengaran gue menangkap sinyal nggak enak dari meja sebelah. Dua orang cewek yang kayaknya angkatan Liam bisik-bisik sambil sesekali melirik ke meja kami. Um, lebih tepat sih ngegosip. Soalnya kalo bisik-bisik, harusnya nggak kedengeran sama orang yang lagi diomongin!

“Liat deh, itu junior kelas dua, kan?” Gadis berkacamata memberi kode pada temannya supaya ngelirik gue.

Temannya mengangguk, “memang kenapa, Ren?”

“Nggak, keliatannya agak ganjen aja.”

“Cemburu ya? Pengen juga akrab sama Liam? Hihi.”

“Nggak, ngapain cemburu sama bocah kayak gitu..”

Sebenernya gue nggak pernah peduli sama bisik-bisik orang, tapi bedanya bisikan kali ini kedengeran langsung di kuping gue.

“Kak, kayaknya ada yang ngomongin aku, deh.”

“Hmm? Siapa?” Liam ternyata nggak nyadar kalo sedari tadi dua beo itu udah sibuk sama argumennya masing-masing. Jadi daripada lama, gue langsung melangkah ke meja mereka tanpa basa-basi.

“Ngomongin saya, Kak? Kedengeran, lho. Bagusnya gabung aja di meja sebelah. Kita ngobrol rame-rame,” gue memamerkan senyum tipis.

Cewek berkacamata itu kayaknya kaget liat gue nekat, “apa-apaan, nih?” elaknya kemudian, “yang sopan dong sama senior. Gue tau ada banyak cewek junior kayak lo di luar sana yang ngedeketin Liam, tapi nggak kurang ajar.”

“Saya atau Kakak yang kurang ajar? Bisik-bisik tentang orang lain. Kedengeran pula sama orangnya. Lagian, emang Kakak siapanya Liam? Salah satu cinta nggak kesampean, ya? Judes banget..”

“Ra, udah..” Liam yang paling tahu sifatku buru-buru menghampiri dan menengahi kami.

“Cewek ini siapa? Pacar baru lagi? Gita dikemanain?” Si cewek berkacamata menegur Liam, sementara temannya menyikut, “Karen, udah ah. Nggak enak ribut di kantin kayak gini.”

“Sorry Ren, aku rasa kamu nggak punya hak untuk sinis sama Tiara. Dan jangan bawa-bawa Gita dengan nada ketus kayak tadi.” Liam menegaskan satu kalimat itu sebelum akhirnya menarik gue beranjak dari meja Karen.

*

                “Nah, menurut kamu, kenapa Karen bisa ketus kayak gitu?” Liam menyudahi ceritanya. Sore itu gue diajak ke rumah barunya di daerah Serpong, katanya lagi sepi dan ada studio nganggur. Jadilah gue berempat sama anak-anak Na(ra)da Band ngumpul.

Audi, Vino dan Dara sibuk berenang di kolam renang belakang. Kesempatan itu digunakan Liam untuk curhat dikit tentang cewek annoying di kantin tadi.

“Dia naksir kali sama Kakak.” Jawab gue asal, tapi Liam malah tertawa.

“Ra, aku ramah kan sama semua temen cewek. Nggak cuma sama dia. Dan aku rasa itu belum termasuk kategori PDKT.”

“Kan buat Kakak, belum tentu dia berfikiran kayak gitu juga. Dan lagi..”

“Dan lagi apa?”

“Dan lagi..” Gue mengedip centil, “di dunia ini cuma ada dua sebab cewek cemburu, pertama karena memang si cowok adalah pacarnya. Kedua, dia naksir tapi nggak kesampean. Dan aku rasa si cewek judes tadi termasuk tipe kedua.”

“Kesimpulannya?”

“Kesimpulannya.. dia merasa di PHP sama Kakak!”

“Maksud kamu?”

“Pemberian Harapan Palsu. Sok PDKT tapi abis itu ninggalin. Entah, aku juga nggak tahu, sebenernya Kakak yang memang PHP, atau dianya aja yang ge-er.”

Liam terdiam.

*

                Besoknya, entah gue dapet kesialan apa lagi, tapi secara nggak sengaja kami; maksudnya gue sama si cewek judes papasan di lapangan basket. Hari ini tim kelas dua dan kelas tiga tanding, termasuk Liam. Gue berdiri di tepi lapangan nggak jauh dari posisi Karen dan temennya, yang kemudian gue tahu bernama Andien.

Andien diam saja, nggak terlalu peduli sama orang-orang di sekitar. Cuma sesekali dia sibuk berkomentar hal yang sama, “dih, keren banget ya Yogi mainnya!”

Sementara Karen jauh beda, dari pertama dia liat gue muncul di lapangan, gelisahnya udah kayak cacing kepanasan. Sempat ketahuan beberapa kali dia ngelirik sinis ke arah gue. Puncaknya ketika ia berkata pada Andien, kali ini tanpa berbisik, “tuh anak kelas dua ada di sini juga ternyata. Masih kecil aja udah centil, ya. Roknya udah kayak rok mini, bukan rok sekolah.”

Gue yang lagi asik niupin balon dari permen karet yang sedang gue kunyah jadi ngerasa gerah.

“Ren, udah atuh.. Jangan diperpanjang urusannya.” Andien cuek dan kembali menatap Yogi yang berhasil memasukkan bola.

Kedua tim lalu diberi waktu istirahat sebelum babak selanjutnya. Liam duduk di deretan pemain dan sibuk menyeka keringatnya. Gue melenggang santai sambil nyodorin Aqua botol, “nih minum dulu.”

“Thanks.”

“Kak Gita mana?”

“Dia bentar lagi nyusul, katanya tadi ada rapat OSIS bentar.” Liam meneguk air botolnya.

Gue mengangguk paham, tapi kemudian bisik-bisik sialan itu kedengeran lagi. Ternyata Karen dan Andien juga sedang ngobrol bareng Yogi, teman satu tim Liam.

“Eh, ada Karen juga. Nyari Liam, ya?” Yogi menyapa.

apa ini jelaskan padaku
ku pikir hampir jadi
masih saja salah langkahku

meski impianku hancur di depan mata
masih saja ku tunggu jawabmu
ku bertahan


                “Nggak juga. Dia lagi sibuk sama korban barunya kali..” Karen berkata sinis. Gue rasanya pengen ketawa girang. Cewek ini menikmati drama picisan yang dibuat-buatnya sendiri. Oh please, hentikan sinetron ini!

Liam yang juga ikut mendengar sindiran Karen cuma diam, tidak mau membahas. Gue kali ini ogah buang tenaga lagi buat nyamperin dia, jadi dengan santai gue berseru ke arah mereka bertiga, “gue nggak ngerasa jadi korban, tuh. Kenapa Mbak? Pernah jadi korban? Harapan palsu, ya? Makanya, jadi adek aja, jangan jadi temen. Kalo jadi adek bisa dimanja dan diperhatiin. Jadi nggak perlu cemburu sampe judes gitu..”

haruskah ku akhiri
aku tak tahu apakah nyata
atau kah prasangka

tak mungkin ku hindari
sanggupkah aku terus melangkah
atau ku pergi saja

sampai hati statusku tak jelas
kini impianku hancur di depan mata
masih saja ku tunggu jawabmu
ku bertahan


                “Hey, Ra.. Kapan band lo manggung lagi?” Kali ini malah suara Yogi. Sementara Karen dan Andien terdiam mendengar ucapan telak gue barusan.

“Nggak lama lagi, ntar gue BBM-in infonya.”

Belum sempat percakapan kami dilanjutkan, Gita melangkah mendekat. Ia langsung menyapa gue dengan nada ramah, “dek, nonton juga ya? Lama nggak ketemu, deh.”

“Iya Kak. Tapi aku balik ke kelas aja, ya. Males banget ketemu korban PHPnya Kak Liam di sini..”

Gita terlihat heran. Ia baru saja akan bertanya lagi, tapi Liam menggenggam tangannya dan menggeleng. Seolah mengerti isyarat itu, ia lalu diam.

Gue melangkah keluar lapangan sambil terus meniupkan balon permen karet. Satu yang Karen harus tahu, sekarang udah nggak jamannya junior takut sama senior. Apalagi senior songong kayak dia!

ditulis @PPutriNL dalam http://petronelaputri.wordpress.com | Hampir Jadi

No comments:

Post a Comment