Saturday, September 29, 2012

Bagaimana Pantasnya?

    “Hai, lagi di mana?” tanyaku pada Ari

    “Baru aja nyampe ke rumah, kenapa Tam?”

    “Aku lagi deket rumah kamu nih.”jelasku

Menjelang magrib, aku dan Ari pun bertemu dengan sengaja di sebuah warung bakso di pinggir jalan. Sudah lima tahun sejak perpisahan itu, kami belum bertemu lagi. Ada rasa canggung juga rindu yang membuncah di pertemuan kali ini. Aku hampir tak mengenalinya. Tubuhnya tampak lebih kurus, rambutnya juga lebih panjang. Aku sibuk memperhatikannya. Tak ingin ada yang terlewat.

“Jangan ngeliatin aku terus dong, Tam.”kata Ari

“Akhirnya kita ketemu lagi ya? Kalau direncanain malah gak pernah jadi. Eh, spontanitas gini malah bisa.”kataku tak menghiraukan kata-katanya

“Kamu sih sombong kalau aku sms gak pernah balas.”

Aku tersenyum, “Ya kamu tau lah keadaanku kemarin kayak apa.”

***

Arindra Wibowo, mantan kekasihku saat aku duduk di semester lima. Aku mengenalnya saat berkunjung ke rumah kawan kuliahku. Rumah mereka berada di satu lingkungan. Pertemuan singkat membuat kami langsung akrab. Dan ingin bertemu terus. Saat itu, Ari baru saja berhenti dari kuliahnya di jurusan teknik pertambangan dan perminyakan. Tak ada biaya katanya.

Ari cukup cerdas, menurutku. Sayang sekali melihatnya berhenti kuliah seperti itu. Dengan keadaannya yang seperti itu tidak membuatku menolak pernyataan cintanya. Aku justru makin ingin membuatnya semangat, tak menyerah kepada keadaan.

Masa pacaran kami tak seperti orang kebanyakan. Kami jarang bertemu. Malah kami pernah selama empat bulan tak bertemu, ya alasannya karena uang. Aku mencoba mengerti dengan tidak memaksakannya berkunjung ke kosanku.

***

Sejak pertemuan kembali, kami jadi lebih rajin berkirim kabar. Ia bahkan mengajakku ke rumahnya.

“Bener nih aku gak apa main ke rumah kamu?”tanyaku

“Iya, beneran lah. Emangnya kenapa?”

“Ya gak enak aja, Ri.”jelasku

Entah kenapa aku selalu mempunyai ketakutan tersediri bila diajak main ke rumah laki-laki. Entah karena takut diterima kurang baik oleh orang tuanya atau hanya takut dicap perempuan gatal karena main ke rumah laki-laki.

“Gak apa kok, aku besok gak ke mana-mana. Kamu ke rumah aja.”

“Iya, aku ke sana.”ujarku mantap

Malamnya aku tak bisa tidur karena dihantui perasaan deg-degan akan berkunjung ke rumah Ari. Padahal dulu saat kami berpacaran, aku tak pernah main ke rumahnya.

***

Sejak pertama kali berkunjung ke rumah Ari. Aku jadi beberapa kali main ke sana. Salah satu alasannya adalah karena aku rindu pada Ari. Dan alasan lainnya adalah karena Ari bukan tipe laki-laki yang akan rela menyambangi seorang gadis seberapa pun rindunya dia. Jadilah aku yang mengalah. Perjalanan tiga jam dari rumahku dengan naik bis pun aku jalani, demi bertemu dan menuntaskan rindu.

Ibu, ayah, dan kakaknya Ari sangat ramah. Mereka menerimaku dengan baik. Ya walau hanya sebatas teman. Aku senang dengan kehangatan keluarganya.

“Aku jadi sering ke rumah kamu nih. Gak enak.”kataku

“Gak masalah kok. Ibu malah nanya-nanya kalo kamu gak ke rumah.”

Wajahku bersemu merah.

“Terus pacar kamu si Rahma?”tanyaku balik

Seingatku, Kemarin-kemarin Ari masih memiliki pacar. Aku sempat melihatnya di salah satu jejaring sosial.

“Oh itu, jadi kamu masih belum percaya dengan ceritaku.”

Ari menjelaskann dengan detail bagaimana hubungannya dengan kekasihnya Rahma. Mantan kekasihnya tepatnya.

“Yang  pasti dia sudah menghilang begitu saja dari akhir tahun kemarin. Aku sudah mencoba mempertahankannya dan mencarinya, tapi dia menutup akses denganku. Semuanya.”

Aku diam mendengarkan ceritanya.

“Yang aku sesalin, kenapa dia meninggalkan aku di saat terpuruk seperti ini. Bukan saat kemarin siaat aku sedang berjaya.”jelas Ari sambil menunduk

Aku tak ingin membuatnya sedih karena mengingat Rahma. Aku lalu memeluk lehernya dan menyesap aromanya dalam-dalam. Aku rindu aroma ini. Ari berbalik. Dalam sepersekian detik , bibir kami pun beradu, saling melumat lembut.

“Pacarannya kapan, ciumannya kapan.”goda Ari

“Huuuuu…”kataku sambil mencubit perutnya.

***

Kejadian singkat itu membuatku jadi sering bengong memikirkannya. Ada perasaan tak enak pada Rahma. Walau aku lebih dulu kenal dan berpacaran dengan Ari, tapi Rahma lah yang lebih lama mendampinginya. Bukan aku. Aku tak ingin dianggap sebagai perebut pacar orang. Tapi aku juga ingin memastikan hubunganku dengan Ari jika mereka benar sudah tidak berhubungan. kedekatan kami sudah berjalan dua bulan lebih. Aku pikir sudah saatnya.

“Kamu anggap aku apa sih?”akhirnya aku berani menanyakannya pada Ari walau hanya lewat bbm

“Kamu maunya aku anggap apa? Aku sih terserah kamu.”jawabnya

“Lho, kok terserah aku?”tanyaku

Ari tak menjawabnya lagi. Aku dibuatnya kesal. Dia seperti tidak tegas. Mungkin di hatinya masih penuh dengan Rahma.

Katakan berapa dalam kau ingin aku

Masuki kehidupanmu

Katakan berapa jauh kau ingin aku

Ada di hari-harimu


***

Aku marah pada Ari. Aku merasa dipermainkan. Kadang aku jadi seperti bertanya-tanya. Jangan-jangan Ari hanya ingin balas dendam. Aku ingat, dulu aku meninggalkannya karena aku punya kekasih lain. Mungkin ini balasan untukku.

Aku tak menghubungi Ari walaupun aku rindu berat. Mencoba tak terlalu berharap dengan sosoknya.

“Lagi apa Sayang?”tanyanya lewat bbm

Oh God, Ari bbm aku duluan. Batinku bersorak riang.

“Ngapain kamu? Masih inget sama aku?”tanyaku ketus

“Yaelah, kamu ngambek? Kayak anak kecil aja sih ngambek gitu.”balasnya

Iya, aku memang jadi seperti anak kecil. Aku terlalu gampang ngambek dan semudah itu juga Ari mengerti sifatku dan dapat melunakkanku.

“Abisnya sih kamu…”jawabku

“Lho, kan kamu yang aku serahin jawabannya. Kamu mau anggap hubungan kita ini apa.”katanya

Aku pingin kamu yang bilang langsung Ari. Aku cuma pingin kejelasan. Bukan malah lempar-lemparan pertanyaan seperti ini. Ucapku dalam hati.

Hatiku sendiri masih berat. Bingung mengganggap Ari itu siapanya aku. Aku selalu rindu dan nyaman kepada sosoknya. Kehidupan yang keras juga sudah menempanya menjadi lelaki dewasa, lebih sabar.  Ia juga kerap memperlakukanku dengan sopan, gaya bicaranya juga lembut dan tidak pernah bicara kasar.

“Yaudah, gak usah ngambek-ngambek gak jelas gitu ya.”bujuknya.

Oh, haruskah aku pergi

Salahkah bila ku di sini tak peduli keadaannya

Oh, setiap kau tersenyum

Membuatku melupakan dunia nyata, tetap di sini

***

Hubungan kami yang sudah kembali baik pacsa-ngambek-nya aku pun tidak berlangsung lama. Ari kembali menghilang tidak ada kabar. Aku meneleponnya tapi tidak diangkat, aku sms juga tidak dibalasnya. Aku benar-benar jadi tidak mengerti harus seperti apa.Kami juga sudah tidak bertemu selama dua bulan.

“Aku gak apa kok Sayang. Aku cuma lagi sibuk aja. Kamu kan tau aku lagi ikutan sama Bang Doni di pengeboran minyak lepas pantai. Kamu jadi gak bisa ketemu dulu.”jelasnya

“Terus kenapa aku telepon gak diangkat? Aku sms juga gak dibales-bales?”tanyaku meminta penjelasan

“Aku kan kalau sibuk begitu Sayang. Mau siapapun yang nelepon juga gak aku angkat. Bukan cuma kamu.”

Aku benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir Ari. Mungkin ini juga lah yang membuat mantan tunangannya meninggalkannya, begitu juga mungkin dulu ini alasanku meninggalkannya. Aku jadi berpikir jauh tetang hubungan kami. Semuanya seperti tak ada tujuan. Sepertinya aku harus mengakhirinya (lagi).

Apalah yang diharapkan, bila tak ada tujuan

Mungkin hanya kesenangan

Yang membuat kita terus bertahan…


ditulis @hutamiayu dalam http://hutamiayu.tumblr.com | Luluh

No comments:

Post a Comment