Sunday, September 30, 2012

Fantasiku Kamu

Suara ringtone telepon genggam Dhimas memaksanya untuk menghentikan kegiatan membaca buku berjudul Abarat karya Clive Barker. Dengan agak malas, Dhimas meraih telepon genggamnya dan satu pesan singkat sudah menunggu untuk dibuka. Pesan singkat dengan nama pengirim Mahendra, salah satu teman baiknya.

                “Dhimas, sebentar lagi temen gue sms lo, dia mau kenalan katanya,” kata-kata itu berpendar kecil di layar telepon genggam Dhimas.

                Buset, Dhimas membatin, siapa lagi yang dia kasih nomor gue? Dhimas menghela nafas pendek, namun ia tetap tersenyum. Mahendra ini sudah sering menjodohkan Dhimas dengan teman-temannya, dan sebagai pria gay dengan pertemanan yang luar biasa luas, entah sudah berapa orang yang menggenggam nomor Dhimas.

                Dhimas sebenarnya tak keberatan Mahendra memberikan nomornya ke berbagai pria. Toh Dhimas baru-baru saja menyendiri untuk alasan yang tak ingin ia ingat lagi, karena bagi Dhimas, terjebak di masa lalu itu bagaikan sedang berlari kencang di atas mesin treadmill: mati-matian berlari tapi tidak maju-maju, stagnan, lelah, dan memberikan ilusi pahit soal masa depan. Pun begitu, Dhimas adalah orang yang sulit jatuh cinta. Berkali-kali Mahendra menjadi semacam mucikari bagi Dhimas, berbagai pria diperkenalkan melalui temannya itu, tapi tetap saja tak ada yang mampu membuat Dhimas merasakan kembali satu dekapan yang membuatnya nyaman, mirip kisah-kisah fantasi romantis yang sering ia baca.

                Ya, Dhimas amat menyukai cerita-cerita roman berjenis fantasi, namun begitu, baginya kisah-kisah fantasi romantis adalah harapan palsu bagi mereka yang merindu cinta. Novel dan cerita itu begitu manis, terlalu manis malah, dan segala sesuatu yang terlampau manis bakal membuat seseorang muak. Dhimas menyadari itu, dan setidaknya ia menganggap cerita fantasi hanyalah hiburan semata. Tidak, kisah romantis bukan solusi, dan realita adalah teman terbaik Dhimas, dan teman terbaiknya itu selalu berkata bahwa kisah cinta antara dua pria tak akan pernah berhasil. Harapan paling palsu terletak pada percintaan dari jenis kelamin yang sama!

—Sebagai perempuan yang terbiasa tertindas, Sati tak pernah ingin dihargai. Keinginannya itu ia tinggalkan jauh-jauh sejak dulu. Sati tidak punya sahabat, karena satu-satunya teman terbaiknya adalah realita—
 

                Beberapa menit kemudian, layar telepon genggam Dhimas menyala. Satu pesan telah masuk dari nomor yang tak dikenal Dhimas sebelumnya. Pesannya cukup singkat, hanya berisi: “Hai, aku Rama, tahu nomor kamu dari Mahendra. Boleh kenalan? :) ”

                Dhimas melengos. Jari jemarinya dengan cepat membalas, “Hai, Rama. Ya tentu saja boleh,”

                “Jadi katanya kamu lagi nyari pacar?”

                Ha? Gak ada basa-basi banget! Gila ini orang! Gila! batin Dhimas. Matanya melotot ke layar telepon genggamnya. Heran.

— Bagi Sigurd, batas waras dan gila bisa saja terbengkalai ketika cinta sudah bermain di dalamnya. Tak ada yang tahu, tak ada yang mengerti—

                “Iya, kok tahu?” Dhimas membalas.

                “Wah, aku juga. Jadi?”

                Dhimas semakin melotot dan jari-jemarinya semakin cepat membalas, “Gini ya, Rama, aku gak mau terburu-buru. Sesuatu yang mudah didapat akan mudah hilangnya,”

                “Aku tahu kok, Dhimas. Semua istana selalu berawal dari batu kerikil, bukan?”

                “So?

                “Boleh kita bertemu kapan-kapan? Aku ingin mengenalmu lebih jauh,”

                Dhimas menarik napas dalam-dalam. Jari-jemarinya kini mengetik kalimat “Ya, tapi sebelumnya mari bertukar Yahoo Messenger,” lalu menekan tombol Send. Entah takdir akan memberinya harapan sepalsu apa lagi kali ini.

* * *
                Maka di sinilah Dhimas sekarang, di Senayan City, dan peluh membanjiri keningnya karena kebodohannya dalam membaca peta Jakarta dan berakhir dengan perjalanan kaki dari Komdak. Pendingin ruangan di Mall ini sedikit demi sedikit mengeringkan keringatnya, dan kepala Dhimas tak henti-hentinya mencari sosok Rama. Sudah beberapa minggu semenjak ia dan Rama intens chat di Yahoo Messenger dan pesan singkat, dan ini adalah hari yang mereka tentukan untuk bertatap muka untuk pertama kalinya.

                Seorang pria melambaikan tangannya. Senyumnya begitu manis dan tulus, dan Dhimas membalasnya dengan senyum kelelahan.

                “Kok keringetan gitu?” Rama memandangi kening Dhimas.

                “Iya, jalan kaki dari Komdak jauh yah ternyata,”

                “Serius?!” Rama menatap bulat-bulat Dhimas.

                Dhimas mengangguk. “Cari tempat duduk, yuk!” Tanpa menunggu persetujuan dari Rama, Dhimas berjalan ke arah foodcourt, kemudian duduk.

                “Jadi, pingin mengenalku?” Dhimas bertanya.

                “Sebenarnya bingung juga sih mau nanya apa,” Rama tersipu. Kacamatanya melorot sedikit, “So, sudah menjomblo berapa lama?”

                Dhimas kembali dibuat terkejut dengan pertanyaan langsung dari Rama. “Ah! Aku tak mau mengingatnya,”

                “Kenapa?”

                “Pokoknya gak mau! Ogah!” Dhimas menunduk.

                “Yah, apapun itu, mungkin karena kamu belum memaafkan dirimu sendiri,” Rama tersenyum. “Maaf yah aku mengingatkanmu akan masa lalumu,”

 — Jabberwock tersenyum manis. “Terimalah dirimu, Alice. Terimalah kenyataan dan jangan pernah lari darinya. Kenyataan mengejarmu lebih cepat dari yang bisa kau bayangkan. Terimalah dan maafkan dirimu sendiri. Phantasma hadir karena penyangkalan terhadap dirimu,”—

                Dhimas menatap Rama dalam-dalam. Belum pernah dalam 24 tahun hidupnya ia bertemu dengan pria blak-blakan seperti Rama, dan di balik keterusterangannya itu, tersimpan kebijaksanaan yang begitu luas. Dhimas tak mampu berkata apa-apa. Ia kini tercebur di antara realita dengan harapan. Sosok pria di depan Dhimas ini, yang bisa dirasakan oleh seluruh panca indera Dhimas, justru begitu terkesan fantasi. Begitu indah secara fisik, begitu menenangkan secara hati.

                “Yah asal tahu saja sih,” Rama kembali berbicara, “Satu-satunya yang bikin masuk akal saat depresi itu yah tindakan cinta dan memaafkan,”

—“Jeanne. Hapuskan dendammu. Dua unsur utama pembentuk hati manusia adalah tindakan memaafkan dan tindakan cinta, dan kau menunjukkan betapa besarnya dua aspek itu di hatimu,”—

                “Ih kok kamu jadi puitis sih?” Dhimas tertawa kecil. “Mirip deh kayak orang lagi jatuh cinta untuk pertama kali,”

— Leo tertawa. “Ya, tentu saja, Paus. Cinta itu termasuk rahasia, terlebih cinta pertama. Asal tahu saja, kebahagiaan hadir di tiap cinta, tidak hanya yang pertama tetapi juga yang kedua, ketiga, dan seterusnya,”—

                “Gimana kalo aku bilang bahwa aku memang suka kamu?” pipi Rama mulai bersemu. Ia menggigiti bibir bawahnya, pertanda bahwa keberanian telah memaksanya untuk mengutarakan isi hati.

                Dhimas sedikit tersedak saat Rama berucap kalimat itu. “Tapi, kita kan baru aja ketemu?” Mata Dhimas kini makin dalam menatap mata Rama.

— Mata mereka bertatapan, dan tak pernah dalam hidup Mei Xia ia melihat mata yang begitu dalam dan tenang. Perasaan rindu yang sulit dimengerti dirinya sendiri saat melihat sosok Huang Long, meski saat itu adalah pertama kalinya mereka bertemu.—

                “Dhimas, dengar,” Rama berdeham sedikit. “Mungkin ini terdengar bodoh, tetapi aku tahu aku telah jatuh hati padamu saat aku melihat semesta di matamu,”

                “Semesta di mataku? Mungkin itu pantulan sosokmu,” Dhimas membalas puisi Rama. “Tapi aku hanya ingin mengingatkanmu: kita berdua pria. Kau siap dengan konsekuensinya?”

                “Sekarang aku ingin bertanya padamu, Dhimas, apakah Tuhan Maha Adil?”

                “Ya, tentu saja,”

                “Kalau begitu ia tidak diskriminatif pada satu kelompok hanya karena ia berbeda selera, bukan?” Rama tersenyum, “jadi konsekuensi apa? Aku mencintai Tuhan, dan atas nama Tuhan yang aku anut, aku mencintaimu,”

—“Tuhan mencintai kita, Garcia, maka cintailah setiap manusia. Cintailah mereka layaknya saudaramu sendiri,” kata Ibunda Garcia lagi dalam ingatannya—

                Dhimas bisa merasakan kedua telinganya memerah. Tak henti-hentinya ia berpura-pura membenarkan kacamatanya untuk menutupi rasa malunya. Ia tersentuh dengan ketulusan Rama, dan idealism-nya soal percintaan antara dua pria runtuh sudah. Dhimas sudah membulatkan tekad, ia juga akan melakukan apapun demi Rama.

— Nimpus tersenyum. “Aku tak pernah meragukanmu, Rax. Aku bisa saja ditakdirkan untuk menjadi pelindungmu.”—



                Dhimas menyentuh jemari Rama. “Rama, aku hanya ingin bilang: fantasiku kini adalah kamu,”

* * *

                “Kita bertemu lagi, Brynhild,” Sigurd tersenyum manis, “setelah beribu-ribu tahun jiwa kita berkelana dari satu tubuh ke tubuh yang lain,”

                “Oh Sigurd,” Brynhild membalas senyuman manis Sigurd dengan pelukannya, “betapa aku merindumu!”

                “Aku tahu, sayang,” Sigurd mengecup kening Brynhild, “aku juga merindumu,”

                “Aku bahagia akhirnya Dhimas—tubuh reinkarnasiku saat ini—bertemu denganmu,” Brynhild semakin mempererat pelukannya. “Cinta memang hanya berjarak satu surga,”

                “Dan akan kuyakinkan tubuh reinkarnasiku, Rama, untuk terus menjagamu, sayang,”

                Perlahan tapi pasti, kedua bibir dari kedua jiwa itu saling bersentuhan.

* * *

Si Bijak Semesta kembali tertawa bahagia

Ia kembali menyatukan dua hati meski jarak keduanya berjuta hasta

Ia berhasil menyulam kalimat “Aku dan kamu” dan mengubahnya menjadi “Kita”

Ia telah menugasi samudera, agar perahu rindu menyampaikan pesan cinta


Si Bijak Semesta berhasil merajut dengan benang-benang hati, jadi satu dari dua

Takdir dalam bentuk bahtera bernama cinta

Dari berbagai tempat, jarak, dan masa

Dan dari dua jiwa yang sama

Yang bereinkarnasi dalam berbagai rupa:


Seorang Valkyrie dan seorang ksatria

Gadis bernama Mei Xia dan seekor naga

Dua Avago bersaudara

Asmodeus dan Arcadia

Alice dan Dunia Khayalannya

Joanna dan cinta pertama yang menjadi rahasia

Cermin di lobi sebuah hotel dan arwah seorang gadis di India

Seorang tentara dan sang Ibunda


Dan kini, tersulam kembali satu kisah cinta

Kisah cinta berujung bahagia

Cinta di antara dua pria

Antara Dhimas dengan Rama

ditulis @rebornsin dalam http://inwordswetrust.wordpress.com | My Fantasy is You

No comments:

Post a Comment