Terkadang harapan memang hanya akan menjadi sebuah harapan semata, tidak lebih.
♬♬♬
Terlalu sadis caramu
Menjadikan diriku
Pelampiasan cintamu
Agar dia kembali padamu
Tanpa perduli sakitnya aku
Tega niannya caramu
Menyingkirkan diriku
Dari percintaan ini
Agar dia kembali padamu
Tanpa perduli sakitnya aku
Semoga Tuhan membalas
Semua yang terjadi
Kepadaku suatu saat nanti
Hingga kau sadari
Sesungguhnya yang kau punya
Hanya aku tempatmu kembali
Sebagai cintamu
Lalu terdiam, memanjang. Mendengarkan dengan begitu tenang harmonisasi nada yang di bawakan Afgan bersama sulaman huruf yang berubah kata penuh makna berjudul Sadis.
Sadis. Iya, katanya begitu sadis ketika kita di berikan harapan oleh seseorang yang begitu besar lalu seketika semua di hancurkan dengan cepat. Tak sebanding dengan apa yang sudah kita berikan, sudah kita angankan dan ternyata jauh berbeda dari pencapaian yang di inginkan.
Kemudian, timbul rasa kecewa yang kadang di ungkapkan secara berlebihan. Ya, lagi-lagi berlebihan. Tapi, tidak masalah, itu hak setiap orang—selama tidak merugikan orang lain. Tapi, coba kita pikirkan kembali. Pemberi harapan palsu, berarti yang merasa di kecewakan adalah si penerima? Iya, kan? Mungkin.
Harapan. Itu adalah sebuah rasa yang di kembangkan menjadi asa. Terucap dalam do’a ataupun kata-kata. Bisa pula serupa mimpi indah dan keinginan yang kita damba-dambakan. Lalu apa yang salah dengan harapan? Mengapa kadang ada kalimat ‘Jangan terlalu berharap.’
Takut kecewa? Sebuah perasaan kecewa sebesar atau sekecil apapun harapan kita, tetap saja terasa tak enak. Jadi, mengapa harus di batasi? Semua hanya butuh pengendalian diri ketika perasaan kita di kerumuni kecewa; menerima, merelakan, berpikir yang baik, dan bersyukur.
Jadi. Mungkin, ketika kita sedang dalam masa pendekatan dengan sesorang yang rupanya menarik untuk kita pribadi. Tidak perlu membatasi harapan kita untuk hal indah bersamanya nanti. Lakukan apa yang memang bisa di lakukan. Tunjukan perasaan yang memang ada. Karena apa? Setidaknya dia tahu dengan maksud dan usaha kita.
Tapi, sedih pasti. Ketika kita sudah mengembangkan banyak harapan dan ternyata tidak sesuai dengan yang di inginkan. Dia hanya ingin menjalin hubungan sebatas teman—sebatas itu saja. Lalu kita merasa di permainkan dan lalu memberi dia sebutan Pemberi Harapan Palsu. Ngeri…
Namun, balik lagi. Coba kita intropeksi lebih jauh lagi. Benarkah dia yang semata-mata hanya memberikan harapan palsu? Atau mungkin kita yang terlalu cepat menarik asumsi-asumsi sendiri bahwa dia memberikan harapan untuk kita?
Harapan bukan datang dari pemberi namun justru di ciptakan oleh sang penerima. Jadi, jika kita takut mengakui kesalahan dan kegagalan. Tidak pantas pula kita langsung melimpahkan kesalahan itu kepada orang lain.
Tanya pula pada diri kita. Sudahkah kita benar-benar memberikan dengan setulus hati atau dengan cara yang baik? Jangan lupa juga, bahwa setiap orang memiliki hak untuk memutuskan memilih sesuatu dalam hidupnya. Karena baik untuk kita belum tentu menurut dia. Cukup untuk kita belum tentu sama untuk dia.
Tak perlu terlalu menyalahkan dia ataupun diri kita sendiri. Karena terus memperbaiki diri dan tak melepas harapan lain, akan jauh lebih baik. Merelakan harapan terkadang harus di lakukan, ketika sudah pernah mencoba dan mengusahakannya.
Jadi, bagi saya pribadi. Pemberi harapan palsu itu tidak pernah ada. Itu hanya ungkapan rasa kecewa ketika sebuah keinginan tak sesuai dengan pencapaian yang di dapat. Karena harapan memang tak selalu harus di dapatkan. Ada kalanya harapan memang tetap menjadi sekedar harapan.
Berharaplah dengan usaha yang lebih besar. Dan tak perlu menyesalinya ketika kegagalan yang menyapa.
ditulis @OdetRahma dalam http://odetrahmawati.wordpress.com | Sadis
No comments:
Post a Comment