Friday, September 28, 2012

Hujan Terakhir

Back to the days where I’m counting the years
Clock never seems to alive
And all I can do is believe what she said
Love never goes to sleep


Ketika itu hujan turun dengan derasnya saat kami di jalan pulang dari kampung halaman. Aku mengemudikan motorku dengan kecepatan 45km/jam. Kupicingkan mataku kedepan, meneliti setiap liku jalan. Jas hujanku sepertinya ada yang robek, celanaku basah. Aku menggigil, sudah satu jam sejak aku mengemudi turun gunung. Rasanya tanganku mulai kesemutan—kram. Sudah hampir isya. Hah. Aku tidak gila untuk berteduh dibawah pohon di tengah hutan rimba seperti ini. Untung sebelum berangkat ke kampung sempat membeli jas hujan satu lagi untuknya. Itupun dikarenakan hujan pula diperjalanan berangkat. Air hujan membuat mataku rasanya seperti ditusuk-tusuk—dipaksa mengantuk, mengatup. Daripada menutup kaca helm, sama saja dengan membutakan pandanganku. Perjalanan kerumah masih satu setengah jam lagi. Sudah tak sanggup. Harus cari penginapan sesampainya di pemukiman warga kira-kira setengah jam lagi.

“Pelan-pelan saja.” katanya.

“Iya.” jawabku menyembunyikan gigil.

“Kalau mau berteduh dulu dibawah pohon. Cari yang rindang.” Hah gila! Tak rela aku kalau harus bertemu lelembut.

“Tidak usah. Masih kuat, kok. Lagian sama saja, basah.”

Sepuluh menit berlalu, rasanya benar-benar disuruh untuk mengemudi sambil tidur. Sebentar-sebentar mataku menutup untuk sepersekian detik. Kukucek-kucek mataku disaat ada cahaya terang ditikungan jalan. Aku membelalak. JANGANNN!!!

“BRAKKKKKKK!!”

Sebuah truk menghantamku dari samping—menyerempet. Aku terpelanting kedepan, terguling-guling—merasakan. Sebentar aku buka mata. Mama?! Aku berdiri melupakan sakitnya lebam-lebam biru, kain dilutut dan siku yang sobek—luka terkoyak. Disana! Didekat pohon besar. Terduduk, rebah kekanan. Tidak ada luka!

“Mama?! Mama! Bangun!!” Mulutnya mengucapkan sesuatu—berbisik. Yang terdengar hanya riuh hujan.

Terpelantingkah?! Dipohon besar ini?! Dia seperti menyunggingkan senyuman. Air mataku mulai keluar. Tetap mencoba membangunkan walau kenyataan mutlak dihadapan. Tidak terima. Dibawah pohon besar nan rindang itu, dibawah hujan, air mata yang tak lagi kelihatan. Aku meneduhkan matanya.

But miles and miles away
Far across the sea
Thousand miles away
Far behind the star
I miss her.. I miss her..
This is my story.. I miss her..



*Diinspirasi dari lagu Behind The Star – Adrian Martadinata
Ditulis oleh @yulysafar dalam http://pecandurindu.wordpress.com

No comments:

Post a Comment