Friday, September 28, 2012

Menemani Kai

“Mamaaaaa…..Kai sudah pulang”

Ah, Kai selalu begitu setiap kali pulang sekolah. Anak perempuanku yang cantik, dengan bentuk pipi yang bulat nan menggemaskan dan rambut keriting hasil genetik dari Mas Bima, suamiku. Tumben, hari ini dia sampai rumah jam 12.08. Mungkin, jalanan sedang berbaik hati pada kami untuk tidak memacetkan diri sehingga aku bisa dengan segera bertemu dan mendengar celoteh riangnya tentang aktivitasnya di sekolah, begitu pikirku.

Sekejap kemudian, aku mendengar derap kakinya menuju ruang keluarga, tempatku biasa menunggunya pulang. Dalam waktu singkat, Kai yang masih lengkap dengan seragam juga tas ranselnya, sudah duduk manis di hadapanku dengan nafas yang terengah-engah.

“Iya sayang. Anak mama lari-lari sampai keringetan gini”, sahutku sambil mengusap lembut keningnya yang berkeringat.

“Hehehe, halo mama. Hari ini Kai bisa pulang lebih awal soalnya para guru sibuk rapat, katanya buat nyiapin ujian kelulusan kakak kelas Kai yang sudah kelas 6”.

Ah! Itu ternyata penyebab si cantikku pulang awal.

“Harusnya tadi Kai bisa sampai rumah lebih awal lagi kalau bukan gara-gara jalan macet dimana-mana. Banyak jalan ditutup, banyak polisi juga. Padahal kabarnya cuma Pak Presiden yang mau lewat. Kenapa harus pakai nutup jalan sih, Ma? Kai enggak suka deh, Pak Presidennya enggak ngerti apa…kalau Kai butuh buru-buru ketemu mama?”

Aku tersenyum. Anak kelas empat SD mana paham kalau dijelaskan soal protokoler. Tapi protesnya lucu juga, karena dulu aku juga sering merasakan juga merutuk dalam hati atas hal yang sama.

“Terus, ada cerita apa lagi?”, tanyaku sambil memeluk dan mengelus pipinya. Aku terbiasa diam ketika dia bercerita. Bukan berarti acuh. Aku sekedar membiasakan putriku untuk bebas dan terbiasa menceritakan apapun kepadaku.

“Oh iya!”, pekik Kai yang dengan segera membuka paksa tas ranselnya dan mengeluarkan hampir seluruh isinya demi menemukan lipatan beberapa kertas. “Tadi Bu Dina bagiin hasil ujian. Matematika delapan tiga, IPA tujuh lima, IPS tujuh tujuh, Bahasa Indonesia delapan puluh, Bahasa Inggris delapan delapan, Bahasa Jawaaaa….hehehe…tujuh puluh. Bahasa Jawa susah, Ma…enggak papa kan kalau dapat nilai segitu? Mama enggak marah kan? Enggak usah marah ya? Nanti kalau marah, cantiknya hilang lho”

Seperti biasa. Nilai Bahasa Jawa selalu lebih rendah dibanding Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Padahal ayah Kai berdarah Jawa, yang tak jarang membiasakan Kai untuk berbicara dalam bahasa Jawa. Tapi coba lihat, bagaimana caranya merajuk. Apa bisa aku marah dengan rayuan semacam itu dari putri kesayanganku? Apalagi dengan gayanya yang memilin ujung rok sekolahnya juga dengan mimik muka memelas.

“Nilai Kai lumayan bagus kan, Ma? Kai janji belajar lebih giat lagi, biar jadi anak pintar. Terus nanti Kai sekolah hukum juga, kayak Mama sama Papa. Eh iya, teman Kai tiap kali ditanya Bu Dina soal cita-cita, jawabannya kebanyakan dokter. Enggak kreatif kan, Ma? Kai enggak mau jadi dokter! Kai mau jadi notaris kayak Mama sama Papa aja, biar punya banyak uang. Uangnya notaris juga enggak kalah banyak kan, Ma? Enggak kalah sama orang-orang yang jadi dokter kan?”

“Iya. Kai boleh kok jadi notaris. Nanti Kai bilang sama Papa ya”

“Ehm…tadi kelompok Kai menang olahraga kasti. Teman sekelas Kai dibagi jadi dua kelompok terus ditanding. Skornya 15-10. Kai satu kelompok sama Rama, cowok nyebelin itu. Untung jarakku berdiri enggak terlalu dekat sama dia. Kalau dekat, pasti rambut keriting Kai dibuat mainan sama dia. Selesai olahraga, persis pas jam istirahat, kelompok Kai ditraktir es milo sama Pak Bobi soalnya sudah menang kasti. Rasanya segeeeeerrrr banget…”

Ceklek!

Pintu kamar di samping ruang keluarga terbuka. Maya, adikku, muncul. Kai menoleh sesaat.

“Kai, kamu sudah pulang?” tanyanya sambil mendekat pada kami.

“Eh, Tante…Kai sudah pulang sekitar sepuluh menit yang lalu. Ini Kai lagi asyik cerita sama mama”

Maya tersenyum lemah. Matanya mendadak sayu. “Iya, tante tadi dengar dari kamar suara Kai cerita, makanya ini tante keluar kamar mau ngajak makan. Yuk, makan. Tante sudah buatin semur lidah kesukaanmu”

“Asyiiikkk! Mama, hari ini Tante Maya ternyata lagi baik juga kayak Pak Bobi, masakin Kai semur lidah. Kai makan dulu ya. Dadahh Mamaaaa…”

Kai segera bangkit dari duduknya, menciumku sekilas dan berbisik “I love you, Ma…” lalu memegang erat jemari Maya untuk segera pindah ke ruang makan. Tepat sebelum mereka melangkah, Maya menoleh sekilas kepadaku, pada foto hitam putihku di atas meja, fotoku yang sedang tersenyum dalam bingkai pigura berwarna hitam yang simpel tapi manis.


Di foto itu tertulis rapi namaku.


Andita Mayangsari
11 Desember 1974 – 5 Maret 2012


Kai…
Maju terus, sayang
Mama selalu di sini, menemanimu.


Show me a smile then,
Don’t be unhappy, can’t remember
When I last saw you laughing
If this world makes you crazy
And you’ve taken all you can bear
You call me up
Because you know I’ll be there



*Diinspirasi dari lagu True Colors - Phil Collins
Ditulis oleh @vandakemala dalam http://myredstrawberry.blogspot.com

No comments:

Post a Comment