Sunday, September 30, 2012

Ingkar

Di ruang yang minim pecahayaan. Hanya sebatang lilin yang menyala kecil menyinari satu ruang sempit yang terlihat. Listrik malam itu lenyap.

“Mala, ayok.. Please.. Satu kali aja?”

“Tapi, Rud, gue nggak mau kayak gini.”

“La, lo nggak cinta ya, sama gue? Kalau lo cinta, gue butuh bukti!”

“Tapi apa harus kayak gini caranya, Rud?”

Sesekali terlihat kilat dari langit bak lampu flash pada kamera. Memotret satu ruang kost kecil yang tengah dirambah iblis dan kawannya.

Hujan turun. Suara rintiknya bagai alunan musik mengiringi sesenti paksa demi nikmat yang diminta.

“Ntar kalau gue hamil?”

“Lo pikir gue nggak bakal tanggung jawab? Gue cinta sama lo, La. Kalau lo hamil, itu anak gue. Gue pasti tanggung jawab!”

Dear, Malaikat. Maaf, malam ini kau dikalahkan Iblis…

***

Pagi tak secerah hari kemarin. Mendung dan hujan berkolaborasi, menciptakan angan yang seolah tak ingin lepas dari pembaringan.

“Yang, bangun. Kuliah pagi, kan?” lirih Mala tertahan kantuk.

“Bentar lagi ah, Yang. Dingin. Sini aku peluk.” balas Rudi.

“Yang, kamu yakin kan, mau tanggung jawab semisal gara-gara ini aku hamil?”

“Iya lah, Yang. Harapanku emang suatu saat bisa nikah dan punya anak dari kamu…” jawab Rudi, memanja. “Yang, sarapan yuk..” lanjutnya.

“Sarapan?”

“Iya, sarapan. Kalau kata Christina Aguilera, sex for breakfast!”

Dan terulang lagi yang semalam tadi. Mala… Mala… Katamu tak ingin, nyatanya menagih.

Pergumulan di antara rintik hujan. Saking asyiknya, mereka berdua tidak sadar ketika suara pintu kamar kost berdenting ada yang membuka.

“Mala! Rudi!” pekik seorang wanita dari balik pintu.

“Sandra…” balas mereka bersamaan.

Setelah keterkejutan yang menarik di pagi itu, pintu kembali tertutup rapat dalam sunyi.

Sandra adalah teman satu kamar kost yang disewa Mala. Mereka saling mengenal karena Sandra lebih dulu kenal Rudi, yang pada akhirnya menjadikan Sandra dan Mala sebagai seorang sahabat, karena Mala adalah pacar dari Rudi. Walaupun kamar itu terkunci, tapi Sandra punya cadangannya. Bisa dia buka pintu itu semau-maunya. Dan hari ini Sandra pulang dari libur panjangnya di kampung halaman.

Rudi, Mala dan Sandra. Mereka teman satu kampus. Sama-sama anak rantau.

***

“Gila, La. Lo sampe sejauh itu gue tinggal sebulan liburan doang?” seru Sandra ketika Rudi sudah pergi dari kamarnya.

“Kalau dibilang nyesel, serius gue nyesel. Tapi dia janji kalau ada apa-apa sama gue, dia bakal tanggung jawab,” balas Mala. “Lo kan lebih lama kenal sama Rudi. Menurut lo, Rudi itu orang yang tanggung jawab nggak, sih?”

“Sebaik-baiknya orang ya, La, tetep susah ditebak. Apalagi cowok!”

“Ah, enggak ah! Gue percaya kok sama dia. Gue yakin Rudi orang yang tanggung jawab.”

“Terserah lo deh, La. Asal jangan jadi harapan palsu aja nantinya…”

Sandra… Memang, terkadang perhatian malah tidak tersampaikan dengan baik ketika satu orang yang diperhatikan sedang terbuai dengan dunianya yang padahal bisa membuat hancur di kemudian hari.

Setelah hari itu, terkadang ada waktu ketika Mala meminta Sandra sejenak menyingkir ketika Rudi datang. Tapi setelah merasa tidak nyaman, Sandra benar-benar pergi dan memilih untuk menyewa tempat lain.

Ada banyak kejadian lain setelah malam pertama itu. Tanpa berpikir akan resiko, Mala dan Rudi rutin melakukannya.

Dear, Malaikat. Maaf, berkali-kali kau kalah oleh Iblis…

***

Masih di kamar kost Mala. Hari itu, Rudi berniat mengulanginya lagi, tapi tertahan ketika raut muka Mala terlihat sangat serius.

“Rud, gue hamil…” diakui Mala.

“Hah? Bohong! Dari mana lo tau? Udah ke dokter?”

“Dua bulan, Rud. Gue takut!”

“Udah santai aja, La. Mm.. Gue tanggung jawab, kok. Besok lo tunggu gue di belakang kampus. Biar gue ngomong dulu sama nyokap gue.”

Besok di belakang kampus, kata Rudi. Tapi tidak. Besok yang dijanjikan nyatanya tidak ada Rudi di belakang kampus.

Sebenarnya banyak kesempatan mereka bertatap muka, tapi Rudi menghindarinya. Sampai pada suatu ketika Mala terlihat memaksa…

“Rud! Lo kok gitu, sih? Tunggu! Gue mau ngomong bentar!” teriak Mala.

“Lo nggak usah teriak-teriak bisa nggak, sih? Kita ke belakang kampus!” ajak Rudi.

Hanya basa-basi, toh sesampainya di sana juga tidak ada jawaban pasti.

“La, gue udah ngomong sama nyokap gue,” ucap Rudi, sembari memberikan satu amplop coklat kepada Mala. “Itu uang dari nyokap. Lo disuruh aborsi.”

“Aborsi? Gue udah duga…” balas Mala dengan nada santai.

“Ya terus mau lo apa? Gue nggak bisa tanggung jawab. Nyokap gue nggak mau nerima lo jadi menantunya!”

“Oke! Fine! Gue bakal lahirin anak ini.”

“Lo udah terima duitnya, itu duit buat aborsi, bukan buat ngelahirin anak!” pekik Rudi, matanya menajam. Merasa sudah aman, Rudi pun dengan perlahan meninggalkan Mala sendiri. Dia beranjak pergi.

Oh pacarku, kenapa kau putuskan aku?

Padahal aku masih sayang kamu, kok kamu pergi meninggalkanku?

Oh pacarku, mengapa kau putuskan aku?

Padahal kamu berjanji padaku, takkan pernah meninggalkanku…


(Shaden – Pacarku)

Ternyanyikan secara akapela, dengan suara yang lirih seperti mau mati..

“Rud, lo inget baik-baik ya. Hari di mana anak ini lahir, gue pastiin itu bakal jadi hari kematian lo!” gerutu Mala.

Rudi yang tadinya berjalan pergi dari dekat Mala, sejenak menunda langkahnya. “Gimana kalau lo yang mati duluan?” ucapnya sembari memutar badan. Tapi, percuma, Rudi agak terkejut ketika ternyata Mala sudah beranjak dan menghilang dari posisinya tadi.

Tidak sampai di situ, ada kejutan lain ketika Rudi melanjutkan langkahnya pergi. “Anjrit! Sandra?! Lo ngapain di sini?” kejutnya ketika Rudi melihat Sandra sudah ada tepat di depan matanya.

“Hei, Rud. Kaget ya? Takut ya kalau gue denger semua yang lo bicarain?”

“Tapi lo udah denger semua, kan?”

“Rud, gue ada rencana, nih. Gimana kalau kita aborsi paksa aja si Mala? Gue bantuin!” ujar Sandra.

“Lo serius, San?” tanya Rudi dengan ekspresi heran.

Lagi-lagi Iblis sedang bermain-main. Apa sebenarnya Malaikat itu benar-benar ada? Atau memang dunia ini sudah dikepung Iblis?

Rud, jangan janjikan untuk apa yang akan kau ingkari, dan jangan berikan harap untuk apa yang akan kau dustai.

***

Sayang, sejak hari itu Mala seolah lenyap. Tempat kost lama sudah ditinggalkannya. Kegiatan perkuliahan juga tidak lagi diikutinya. Mala benar-benar menghilang.

San, lo dmn?

Sender : Mala (087878349xxx)

Tapi tidak untuk hari ini, ketika ponsel Sandra berdering. Satu pesan singkat dari Mala setelah berbulan-bulan dia menghilang.

La? Lo yg kmn aja? Lo udh dpt rmh baru? Gue ksna ya?!

Sent to : Mala (087878349xxx)

Kabar baik, untuk Sandra ataupun Rudi. Langkah kaki Sandra mulai dipercepatnya. Sandra berjalan mencari Rudi.

“Rud! Mala SMS gue! Gue udah dapet alamatnya! Tapi tenang aja, Mala nggak tau gue ada di pihak siapa.” seru Sandra.

“Serius lo? Tapi tunggu bentar deh, Mala ilang udah dari berbulan-bulan lalu. Mungkin dia udah ngelahirin, San?”

“Enggak! Gue udah nanya tadi. Dia lagi hamil tua, dia bilang prediksi dokter tiga hari lagi anak itu keluar. Gue diminta Mala buat nemenin dia. Sebelum anak itu lahir, kita masih bisa ngelakuin apa aja biar anak itu nggak ada di dunia ini!”

“Oke! Kapan kita ke sana?”

“Dua hari lagi! Santai, Mala tinggal sendiri. Dia sembunyi dari orang-orang. Mungkin dia malu sama keadaannya yang kayak gitu.”

Ini masih soal rencana Iblis. Lalu, kapan Malaikat itu berencana?

***

Sampai pada hari yang terlingkar merah pada kalender. Hari itu sore, rencananya Sandra dan Rudi akan membawa Mala pergi pada malam harinya.

“San, serius ini rumahnya?”

“Yakin kok, gue. Ini persis kayak yang dibilang Mala. Tapi aneh, jauh dari keramaian.”

“Masuk?”

“Ayok!” balas Sandra.

Satu pintu terlewati, sebuah gerbang kecil dari kayu. Sandra dan Rudi sudah berada di halaman rumah Mala.

Dengan pelan, Sandra mengambil satu bongkahan batu besar yang dilihatnya. “Buat bekal ntar sampe di dalem.” ucapnya. “Buka pintunya, Rud.” lanjutnya.

Dengan perlahan Rudi memegang daun pintu rumah itu. Baru saja beberapa detik dia masuk, tiba-tiba saja bongkahan besar batu yang dibawa Sandra tadi mendarat di kepala Rudi. Rudi tersungkur di lantai, tidak sadarkan diri.

Sandra, tidak salah sasarankah kau?

Tidak, karena pada dasarnya memang selama Mala pergi, Sandra tetap berkomunikasi dengannya. Mereka berkomplot.

***

Malam yang begitu panas. Sama seperti dulu, hanya ada satu cahaya lilin yang mengusir gelap.

Rudi yang tidak sadarkan diri pelan-pelan terbangun karena mendengar suara ketukan yang cukup keras pada lantai yang ditidurinya. Dia merasa ada yang sakit di telapak tangannya.

Mata Rudi benar-benar terbuka, makin menjadi kesakitannya ketika dia tahu dua tangannya sudah terpaku pada lantai.

“San, sakit San…” lirihnya kesakitan. Matanya menguluh, melihat Sandra yang tengah sibuk bermain dengan paku dan palu.

Tidak sampai di situ, Sandra mengambil dua buah paku lagi. “Rud, buka mulut lo lebar-lebar!” ucap Sandra dengan nada yang dingin.

Dua paku itu dipakainya sebagai penyangga dari gigi atas dan gigi bawah Rudi, membuat Rudi yang tengah kesakitan tidak bisa bisa menutup mulutnya lagi.

Keterkejutan bertambah, ketika Sandra beranjak, adalagi satu perempuan yang tengah mengaduh memegangi perutnya yang menggunung.

“San, lo bisa tinggalin kita berdua?” ucap perempuan itu. Dia Mala.

Beberapa detik Sandra pergi, Mala beranjak menyeret tubuhnya. Dengan sangat berhati-hati dia mengangkat tubuhnya, mengangkang tepat pada muka Rudi di bawahnya.

Satu kain penutup bagian bawah tubuh Mala dilepasnya. Antara rintihan kesakitan Rudi dan mala kini beradu.

“Rud, gue kembaliin apa yang udah pernah lo kasih…” rintih Mala.

Liang kewanitaan Mala mengeluarkan begitu banyak cairan. Ketuban pecah, tepat di atas mulut Rudi yang mengadah.

Jerit kesakitan Mala semakin menjadi, ketika satu nyawa, bayi mungil yang ada di perut Mala ingin segera keluar.

“Rud! Ini anak lo, Rud! Cucu dari nyokap lo!”

Perut Mala seolah pecah. Semua isinya keluar tepat di muka Rudi.

Ada banyak darah di sana. Darah bercampur air ketuban, dan juga air kecing. Semuanya tumpah di muka Rudi yang mulutnya terbuka lebar. Rudi menangis seiring dengan suara tangis bayinya.

Mala yang lemah akhirnya jatuh terduduk di dada Rudi.

“Rud… Lo jahat sama gue…” ucap Mala dengan sangat lemah. “Harusnya lo nggak usah kasih gue harepan, kalau nyatanya harapan itu cuma enak di elo, dan nggak enak di gue…” lanjut Mala yang akhirnya menjatuhkan tubuhnya di dekapan Rudi. Rudi tidak bisa bicara, ada kubangan darah di mulutnya.

Sandra yang juga tengah menangis, masuk ke ruangan itu untuk mengambil bayi Mala.

“La, serius lo nggak mau gue panggilin dokter?” tanyanya.

“San, makasih ya. Gue bentar lagi mati, kok. Nggak perlu ada dokter,” ucap Mala ringkih. “San, seperti rencana awal. Taruh bayi itu di panti asuhan. Satu lagi, bakar rumah yang gue beli pake duit nyokap Rudi ini. Sekarang!!” lanjutnya.

Sandra pelahan melangkah keluar meninggalkan Mala yang akan melepas nyawanya, dan Rudi yang menggeliat takut mati.

Sandra benar-benar melakukannya, dibakarnya rumah itu, beserta dua orang yang penan-pelan akan terpanggang di dalamnya…

Mala menepati janjinya. Hari di mana anaknya lahir adalah hari kematian Rudi. Hangus dilumat api.

***

Jangan pernah berjanji untuk apa yang akan kau ingkari, dan jangan pernah beri harap untuk apa yang akan kau dustai.

TAMAT

ditulis @misterkur dalam http://samuderakering.wordpress.com | Pacarku

No comments:

Post a Comment