Wednesday, September 26, 2012

Dengarlah

Menjadi wanita kaya yang tidak terlalu muda mungkin akan membuatmu kesepian dalam artian sesungguhnya. Pria – pria baik budi hanya akan menatapmu seolah kau adalah gunung es tertinggi yang sukar ditaklukan. Dan beberapa pria matre berlomba – lomba merayumu sampai kau merasa jijik. Akibatnya, di mata mereka kau hanya semacam pajangan yang dilihat-lihat dan tak jadi dibeli karena terlalu mahal.

Sementara di antara teman wanitamu yang biasa-biasa saja, engkau kelihatan begitu mencolok dan menjadi orang paling dicemburui. Teman-teman akrabmu pun sudah begitu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga barunya, sehingga waktumu yang kadang begitu luang terasa sepi. Nah, begitulah nasibku akhir-akhir ini.

Ditambah lagi dengan bakat mampu “mendengar isi hati” seseorang yang kumiliki, membuatku semakin bersembunyi dari banyak orang. Tentu kau akan kesal mendengar sekitarmu sibuk menggunjingkanmu yang mendadak kaya di dalam hati mereka, kan?

Tapi hal ini pun satu – satunya senjata yang kumiliki untuk melindungi diri. Dulu sekali, ketika eyangku hendak mangkat, ia membisiku sesuatu, semacam doa, atau mantra yang aku sendiri tidak paham bahasanya. Diriku yang masih kecil dan penurut, mendengarkan saja dengan seksama. Dan menjelang remaja, aku sudah paham kemampuanku ini. Kuanggap saja ini anugerah dari Yang Maha Esa. Tetapi aku hanya mampu mendengar samar suara hati mereka, jika telah bertemu minimal dua kali.

Sejak muda aku telah menjadi seorang penasehat ulung, padahal awalnya cuma dimintai tolong orang-orang terdekatku untuk menilai calon pasangan mereka. Jane, Dido, Nefertiti dan Erica adalah sahabat sekaligus klien pertamaku. Dan mereka semua telah sukses menikah. Aku? Belum.

Saat ini klienku sudah dua ribuan orang. Banyak juga kasus yang gagal disebabkan kondisiku yang kurang sehat, atau kondisi psikis si orang yang sedang ku”dengar” isi hatinya. Bayaranku pun tak terlalu mahal, yang penting adalah aku tertarik dengan kasusnya.

Seperti misalnya kasus ini, ketika suatu sore seorang pria datang menemuiku. Pria ini kulitnya kecoklatan dan tubuhnya gemuk tapi berotot. Rambutnya sedikit acak dan ikal. Matanya teduh dan senyumnya bersahabat. Ada bekas luka yang sudah agak mengering di ujung dagu sebelah kanan, dugaanku itu bekas pisau cukur yang tak sengaja melukai. Dengan kemeja kotak-kotak biru laut dan celana jeans lurus, ia kelihatan seperti pria matang dan mapan yang siap menikah.

“Saya Andra. Ingin sekali minta bantuan. Erica bilang, anda adalah “pendengar” yang baik.” Katanya, setelah kupersilahkan duduk dan basa-basi ‘ada yang bisa saya bantu?’ sebelumnya.

“Tentu, Erica itu sahabat lama saya. Silahkan anda ceritakan keinginan anda” kataku bersender pada kursi, menyamankan posisiku.

Dia pun mulai bercerita. Gayanya bercerita begitu mempesonaku, berkali-kali aku kehilangan fokus dan memintanya mengulang dengan alasan agar lebih spesifik. Padahal aku terlalu menikmati suaranya yang lunak dan barisan gigi yang rapi itu.

Aku memutuskan ia menemui asistenku untuk mengatur jadwal pertemuan kedua setelah kuberi saran untuk mempertemukanku secara (seolah-olah) tak sengaja dengan kekasihnya. Kebetulan sang kekasih adalah seorang guru TK.

Viona namanya. Sekilas terlihat ia gadis yang lembut, wajahnya menyenangkan dan tutur bahasanya disukai anak-anak. Apa iya perempuan seperti ini suka memukuli laki – laki? Rasanya tak percaya dengan yang diceritakan Andra.

Pertemuan kami tiba-tiba terjadi ketika suatu pagi membuat janji temu dengannya dengan menyamar menjadi ‘ibu muda yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah’. Obrolan kami meluas sampai ke hal pribadi yang biasa dilakukan wanita-wanita, gosip istilah kasarnya.
Usahaku pun mulai kukerjakan, samar suara hatinya berkata bahwa ia memiliki trauma pada masa lalunya. Dulu ia sering dipukuli ayahnya. Dan beberapa keluhan menumpuk di sana, gaji yang kecil, orang tua yang terlalu banyak menuntut, pacar yang.. kegenitan?

Hari beranjak siang dan kami berjanji bertemu lagi dua hari yang akan datang, dan ia kelihatannya sama sekali tak curiga padaku. Aku mungkin terlalu bagus berakting.



Dua hari kemudian Andra datang lagi. Tetap mempesona seperti biasa. Tapi bagaimanapun aku mengaguminya, aku tetap menganggapnya klienku. Ini adalah bentuk profesionalitas yang kujunjung tinggi.

“Kemarin ia memukuliku lagi. Masih ada bekasnya, tapi maaf, aku harus membuka baju jika ingin menunjukkannya. Apakah anda keberatan?”Tanyanya dengan mimik wajah tenang dan sopan.

“Tentu tidak, silahkan, setidaknya saya bisa melihat bukti nyata.” Kataku dengan dada berdebar.

Lalu aku terdiam lama. Memar di tubuh Andra tidak bisa dianggap remeh. Spontan aku bangkit dan melotot.

“Ini sudah kekerasan dan kriminal pak Andra, anda tidak boleh membiarkan ini terus berlangsung!”Kataku sedikit emosi setelah memandangi tubuh klienku yang penuh memar seperti bekas cambuk.

“Dia dulu tidak begini. Dia dulu gadis lemah lembut. Senyumnya hangat dan matanya seteduh senja. Aku masih mencintainya. Aku ingin dia kembali seperti semula..” Katanya seraya merapikan kembali pakaiannya. Sorot matanya sedih.

“Besok saya bertemu dengannya. Semoga saya masih bisa membantu. Tapi berjanjilah anda akan lapor polisi jika dia semakin mengerikan. Dan tinggalkan nomer telepon anda yang bisa saya hubungi. Selamat siang.” Kataku setenang mungkin mempersilahkannya keluar ruanganku.

***

Basa – basi dengan Viona berjalan lancar, tanpa mengorek pun akhirnya dia bisa curhat dengan sendirinya.

“Aku punya pacar, tapi kadang suka nyebelin. Dia suka terlalu baik sama semua perempuan. Jadi sering membuatku cemburu.” Katanya sore itu saat kami mengaduk kopi di gelas masing-masing di dapur kantornya.
Sudah tak ada siapa-siapa, anak-anak sudah pulang, rekan guru juga.

“Oh ya? Terlalu baik gimana?” Ucapku pura-pura antusias.

Dia diam. Meniup pelan dan menyeruput kopinya.

“Memangnya kalian sudah pacaran berapa lama?” Tanyaku lagi.

“Lima tahun. Dia sudah melamarku secara sederhana. Orang tuaku pun menyukainya. Akhir-akhir ini sikapnya berubah. Aku menduganya ada hubungan lagi dengan teman sekantornya yang cantik.” Matanya terlihat menyimpan sesuatu, kecemburuan yang diakibatkan menduga-duga itu memang jahat, fikirku.

“Ibu sudah berapa lama menikah?”Katanya membuyarkan dugaan-dugaan yang sedang kususun di kepalaku. Aneh, kenapa hatinya tak terdengar berkata apa-apa ya? Kuelus telingaku lalu menjawab

“Ah, sama sepertimu, bedanya, aku telah punya satu putri.” Jawabku mengarang cerita senatural mungkin. “Trus kamu gimana ngatasin masalah perubahan sikap pasanganmu? Aku juga sepertinya mengalami nasib serupa, aku menduga suamiku pun begitu.” Lagi-lagi cerita yang kukarang-karang.

“Aku.. “

Hati viona berkata: ( Ah, sepertinya tak enak disampaikan. Kalau sampai ibu ini mengetahui aku memukuli Andra, dia akan mengurungkan niatnya memasukan anaknya ke sekolah ini.)

“.. Aku cuma semakin memberi perhatian lebih saja kepadanya. Kami harus lebih sering komunikasi. Ibu juga sepertinya harus begitu.” Jawabnya.

Akhirnya hatinya bicara! Aku sudah cukup mendengar semuanya! Dia memang memukuli Andra.

“Kamu benar-benar mencintainya?” Tanyaku menatap matanya.

Hati Viona: ( aduh, ibu ini pertanyaannya detil sekali, apakah dia dikecewakan suaminya ya? Aku sih sudah tidak mencintai Andra, aku mencintai Ririn. Andra hanya akan menjadi penutup identitas saja. Dia hanya akan menjadi ayah dari anakku. Ayah yang tak akan bisa memukuli anak-anakku.)

Hatiku: (sialan perempuan ini..)

“Aku mencintainya.” Jawab Viona dengan senyum sederhana, yang dibuat-buat pastinya. Lalu ia menyeruput kopi.

Aku membalas senyumnya dan mengatakan padanya mungkin akan memutuskan bahwa putriku akan menjalani home schooling saja. Dan berterima kasih padanya atas bantuannya selama ini.



Sore itu, Andra diam saja. Dia seperti seseorang yang terluka fisik dan psikisnya.

Hati Andra: ( “Apakah aku harus percaya perempuan ini? Perempuan yang baru kukenal tiga hari. Dibandingkan Viona-ku yang telah lima tahun kucintai. Lalu bagaimana jika yang dikatakannya benar?”)

“Buktikan saja pak Andra. Buktikan apakah kata-kata saya tadi soal Viona itu benar. Jangan buru-buru percaya.” Kataku

Wajahnya kelihatan terkejut. Seakan-akan dia baru bertemu hantu.

Hati Andra: ( “Buset, gimana bisa dia tahu apa yang bahkan gak aku ucapkan? Perempuan ini mungkin sakti atau dukun? Atau dia menjual jiwanya kepada iblis?”)

“Saya tidak menjual jiwa saya kepada iblis. Ini adalah bakat yang diturunkan oleh eyang saya, yaitu mendengar isi hati manusia.” Jawabku tenang.

“Luar biasa. Baiklah, saya akan membuktikan ucapan anda. Saya akan menyelidiki sejauh apa hubungan Viona dengan Ririn.” Jawabnya masih dengan ekspresi kaget yang tak dibuat-buat. Tapi untuk kalimat terakhir, dia mengucapkannya sambil terkagum-kagum.


Kasus ini kuanggap selesai. Tak ada lagi Andra mempesona yang akan berkunjung ke ruangan konsultasiku yang sederhana ini. Tapi paling tidak, hilang pulalah kesakitan dan memar di tubuh dan hatinya. Perpisahan mereka bukan kehendakku, tapi pilihan Andra sendiri.

In the arms of the angel, fly away from here, from this dark- cold hotel room, and the endlessness that you fear. You are pulled from the wreckage, of your silent reverie. You’re in the arms of the angel, may you find some comfort here.


Musik mengalun lembut pada playlist laptopku. Sepi. Mataku terkantuk – kantuk.

“Kriiiiingg.. Krit.. Cekrit.. Krit.. Kriiiinnggg..” Telepon di ruanganku tiba-tiba berbunyi genit mengagetkan.

“Halo? ya saya sendiri. Oh, Begitu? Sepertinya menarik. Baiklah, Rabu pagi saya bebas. Silahkan datang saja ya. Terima kasih.” Telepon kututup.

Klien baru lagi. Kau tertarik membaca kisah selanjutnya?

(Bersambung)

ditulis @ikavuje dalam http://eqoxa.wordpress.com | Angel

No comments:

Post a Comment