Sunday, September 30, 2012

Don't Give Me this Feeling

“Ma, aku berangkat ya.”
“Jadi pergi sama Erie?”
“Iya ma. Ini mau jemput.”
“Salamin ke dia ya.”
“Pasti! Assalamualaikum”
“Waalaikum salam.”

Namaku Fahmi. Mahasiswa semester akhir jurusan arsitektur di sebuah universitas ternama di Jogja. Erie, nama yang tadi disebut itu, perempuan teman kuliahku. Ya, teman. Tapi kami sering sekali berduaan, di kampus, di mall, di cafe. Erie anaknya manis dan punya wawasan luas. Karena itulah aku bisa betah berjam-jam menemaninya berbelanja baju atau sekedar minum es krim. Aku seolah sangat nyaman dengan kehadirannya dalam hidupku. Sepertinya mamaku juga. Kalau Erie sudah jarang ke rumah, mama pasti rajin menanyakan dirinya, bahkan beberapa kali menelepon langsung dengan alasan sudah kangen. Seandainya kami pacaran, mama pasti sudah memberikan restu untuk menikah.

Pacaran? Hampir semua orang yang melihat kami berduaan pasti menyangka kami pacaran, mengingat kedekatan kami. Tapi sebenarnya kami hanya berteman. Ya, berteman. Meskipun aku punya perasaan yang lebih dari itu, tapi aku tak tahu apa dia juga punya rasa yang sama. Aku tak pernah menyatakan rasa ini, karena aku takut dia menolakku dan hubungan kami jadi renggang. Tapi aku juga merasa sakit hati dan cemburu ketika dia dekat dengan laki-laki lain. Aku tak tahu, mungkin memang sudah waktunya aku memperjelas status kami.

Di jalan ke rumah Erie, aku kembali melamunkan dirinya. Rambutnya yang panjang dan lurus, senyumnya yang selalu mengembangkan lesung pipit, suaranya yang tegas tapi merdu, obrolan-obrolan penuh makna kami di cafe-cafe maupun warung pinggir jalan, dan banyak hal lain yang tentunya aku suka dari dirinya. Bahkan hanya memikirkannya pun sudah membuatku tersenyum lebar. Ah, seandinya panah cupid diberikan padaku, tentu langsung kuhunjamkan satu anak panahnya ke jantung hati Erie.

I’ve caught myself smiling alone
Just thinking of your voice
And dreaming of your touch
Is all too much
You know I don’t have any choice


******

“Jadi, hubungan kita sebenernya kaya’ gimana sih?” tanyaku pada Erie malam itu di sebuah restoran fast food.
“Maksudmu gimana? Kita ya teman lah” jawabnya sambil mengelap mulutnya yang belepotan sambal.
“Cuma teman aja? Nggak lebih?”
“Memang kamu ngerasanya gimana?”
“Ya aku sih ngerasanya kita ada hubungan lebih dari sekedar teman. Kita sering berduaan meski itu sekedar makan atau nongkring berdua di teras rumah sambil ngitungin bintang. Kaya’nya kalau sekedar teman nggak ngelakuin hal kaya’ gitu deh.”
“Ngelakuin kok. Buktinya ya kita ini kan.” jawabnya tak mau kalah.
Jawabannya membuatku agak terpukul. Meskipun kemungkinannya tak banyak, tapi aku juga mengharapkan jawaban yang lebih dari sekedar teman. Pikiranku mendadak kosong. Bahkan mengingat berapa harga burger yang barusan kumakan saja membutuhkan waktu cukup lama. Aku hanya memandangi wajah manis itu.

“Kenapa kamu ngeliatin aku terus?”
I just… The truth is, i love you Erie!
You what?
I love you! Aku yakin kedekatan kita punya makna lebih karena aku punya perasaan ke kamu. Aku sayang kamu!”
“Why?”
“What kind of question is that? I love you. Period. No reason.”
Sorry. Aku nggak bisa kaya’ gini. Kalau memang kita cuma teman, nggak seharusnya kita sedekat ini.”
“Apa kamu mau menjauh dari aku? Please don’t! I need you
Don’t tell me you need me if you’re not gonna stay.”
Erie lalu terdiam. Hingga kami keluar dari restoran itu dan kuantar dia pulang, kami tetap tak berbicara sepatah kata pun. Sepertinya diam menjadi bahasa baru kami. Sempat kulirik wajahnya, ada setitik air mata yang menetes perlahan.

Don’t give me this feeling
I’ll only believe it
Make it real or take it all away


******

Sejak saat itu, hubungan kami bernar-benar merenggang. Sms dan telepon yang biasanya sering sekali, kini menjadi amat jarang. Kami cenderung saling menghindar. Aku, lebih tepatnya. Terus berdekatan dengannya setelah hari itu hanya akan menambah sakit hatiku. Namun sms nya kali ini membuatku berada dalam dilema. Dia menyuruhku mengangkat teleponnya. Penting, katanya. Setelah menimbang sekian lama, akhirnya aku luluh juga dan menerima telepon dari Erie.
“Halo” jawabku datar.
“Fahmi, tolong dengerin aku ya. Beberapa hari ini aku tersiksa banget nggak ada kamu di deketku. Nggak ada yang nemenin makan, nggak ada yang bisa diajak ngobrol seru. I miss you. I miss us.” ujarrnya panjang lebar dengan suara lemas.
Knock it off! Aku nggak mau ngulang lagi. Yang pernah ada di antara kita anggep aja masa lalu”
“Tapi aku bener-bener butuh kamu!”
“We’ve done this once then you closed the door . Don’t let me fall again for nothing more.”
“Ya sudahlah. Terserah kamu. Tapi in case kamu peduli sama aku….” Dia mengambil jeda sebentar untuk batuk lalu kembali melanjutkan ucapannya.
“Kamu bisa menemui aku di kamar 205 paviliun Dahlia.”
“Kamu masuk rumah sakit?” tanyaku mulai panik.
“Iya. Sejak hari..” Ucapannya terputus. Rupanya baterai telepon seluler Erie habis.
Aku jadi panik setengah mati, berusaha menghubungi ponselnya tapi tak kunjung dijawab. Setelah berpikir sejenak, kuputuskan untuk segera ke paviliun itu menemui Erie.Air mataku jatuh dengan derasnya membayangkan tubuh Erie yang biasanya tangguh, kini harus tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Makin deras lagi ketika memikirkan perasaanku yang tak terbalaskan.

******

Sampai di rumah sakit, jantungku berdegup tak karuan. Berkali-kali kurapalkan doa memohon keselamatan baginya. Aku tak peduli lagi, meskipun dia tak menganggapku lebih dari teman, tapi aku sudah menemukan rumah di dalam hatinya. Dan itu hal berharga yang tak ingin kulepaskan lagi. Setelah kutemukan kamar 205, perlahan kubuka pintunya. Kosong. Segera kutanyakan pada suster, barangkali kamar Erie dipindah atau salah memberikan nomer kamar.

“Mbak Erie? Erie Atmadja yang jadi korban tabrak lari itu?” Astaga! Rupanya dia jadi korban tabrak lari! Dadaku langsung panas.
“Iya, sus. Dipindah ke mana ya?” tanyaku panik.
“Maaf mas. Tapi mbak Erie nya…. Dia… Sudah meninggal dari tadi siang. Cuma sempat di UGD beberapa menit lalu nyawanya tak berhasil kami tolong.”
Lututku langsung lemas. Erie yang kusayang sudah meninggal. Lalu siapa yang meneleponku kurang dari sejam yang lalu?
“Mas yang namanya Fahmi ya?” tanya suster itu kemudian.
“Iya. Kenapa sus?” jawabku heran, sambil menghapus air mata dengan lengan kemejaku.
“Tadi di UGD mbak Erie pesan buat mas Fahmi. Katanya : I love you too.”

    Don’t say you love me
    Unless forever
    Don’t tell me you need me
    If you’re not gonna stay
    Don’t give me this feeling
    I’ll only believe it
    Make it real or take it all away


ditulis @ry4nn_ dalam http://bacafiksi.wordpress.com | Don't Give Me This Feeling

No comments:

Post a Comment