Sunday, September 30, 2012

Tega

Ini sudah ketiga kalinya Regina mencoba menelpon Dean. Belum juga diangkatnya. Regina mulai kesal, “Oke, ini yang terakhir kali.” Batin Regina. Dipencetnya nomer-nomer hape Dean dengan cepat, yang sudah ia hafal tanpa perlu membuka daftar kontak yang tersimpan di hapenya.

“Halo” sapa suara berat di ujung hape Regina.

“Kemana aja sih? Susah banget sekarang dihubungin?!” ujar Regina dengan nada kesal. “Lagi dimana? Berisik banget?” lanjutnya dengan satu tarikan nafas.”

“Maaf sayang, tapi ini aku ada meeting sama klien.”

“Kamu ngga lagi bohong kan sama aku?” Regina menghela nafas dalam.

“Engga sayang, ngapain juga aku harus bohong sama kamu.”

“Tapi kan ini udah jam 8 malam, di sana juga udah jam 9 kan? Meetingnya ngga bisa ditunda besok aja?”

“Kamu kenapa sih Re? Kenapa jadi curigaan gini? Aku beneran lagi meeting sama klien. Ini proyek penting, tolong ngertiin aku. Udah ya, ngga enak ninggal klien lama-lama. Nanti aku telfon lagi.”

“klik!” sambungan telepon mereka langsung terputus. Regina masih tak menyangka bahwa LDR bisa seberat ini. “Seharusnya kalau aku punya percaya sedikit saja jarak antara kita bukanlah apa-apa De.” Bisik Regina sambil memejamkan mata dan merebahkan tubuhnya ketempat tidur.

——

“Siapa sayang? Regina lagi?” Tanya Mira dengan nada tak suka.

“Iya.” Jawab Dean singkat.

“Yaudah sih, putusin aja. Gampang kan.”sahut Mira.

“Iya sih, tapi aku ngga tega sama Regina. Tahu sendiri kan aku sama dia udah dua tahun lebih. Lagian kan sekarang kamu udah bisa ketemu aku kapanpun kamu mau kan?” ujar Dean sambil melingkarkan tangannya ke pinggul Mira.

“Yadeh.” Sahut Mira asal sambil tersenyum.

——

“tring!” hape Regina berbunyi, sebuah BBM masuk dari Rissa. “Tumben nih anak BBM gue.” Batin Regina. Rissa mengiriminya sebuah foto, seorang laki-laki yang sedang mesranya merangkul seorang perempuan di mal, ia sangat kenal lelaki tersebut. Dean.

“Gue ketemu mereka lagi jalan di BSB.” Bunyi BBM Rissa yang masuk setelah gambar tersebut diterimanya, diikuti dengan beberapa gambar lagi yang masuk sesudahnya. Mata Regina kontan saja berair. Ia tak menyangka Dean bisa setega itu kepadanya. Sesak tiba-tiba memenuhi rongga paru-parunya. Air mata juga dengan deras mengalir di pipinya. Ia tak tahu lagi apa yang akan dilakukan dengan Dean setelah ini. Kini yang ia inginkan hanya sebuah istirahat panjang. Sayangnya, malam ini kedua matanya juga tak juga kunjung terpejam. Ia menangis semalaman.

——

Selesai memarkir mobil di kontrakan Mira, Dean segera masuk menyusul Mira yang telah lebih dahulu menghilang ke dalam rumah. Ditemukannya Mira berada di kamarnya. Tanpa sepatah katapun Dean memeluk Mira dari belakang. Mira tersenyum nakal sambil membalikkan badannya. Kini mereka berdua saling berpelukan, bibir mereka juga tak mau kalah. Digiringnya Mira ke tempat tidur, direbahkannya. Keduanya tak lagi sadar. Keduanya tak lagi sabar. 5 menit setelahnya pakaian Mira sudah saja berserakan ke segala kamar, begitu juga milik Dean. Mereka melakukannya.

—-

Ini sudah bulan ketiga Regina mencoba hidup tanpa Dean. Tanpa seseorang yang pernah memberinya semangat juga bahagia yang begitu banyak. Melupakan Dean? Tidak, nyatanya Regina juga masih saja suka memutar lagu kesukaan mereka berdua. Siang ini, Regina sedang sibuk dengan iPodnya, mencoba mencari lagu yang pas dengan moodnya hingga jemarinya berhenti pada sebuah lagu dan memutarnya.

Di tengah rasa rinduku yg menggebu…
Kau bersama dia…


Di saat-saat ku menunggu dirimu…
Kau bersama dia…

Lagi asik menikmati lagu tersebut, tiba-tiba hape Regina berdering. Sebuah panggilan dari nomer asing. Biasanya, bila ada nomer yang tak tersimpan di kontak hape bisa dipastikan Regina tak mungkin mengangkatnya. Tapi kali ini lain, ia merasa harus mengangkat panggilan masuk tersebut.

“Halo, Regina.” Sapa suara berat nan khas diujung sana. Regina tahu, ini Dean.

“Re, aku mau ngomong sama kamu.” Regina masih saja diam, membiarkan amarahnya turun dahulu sebelum ia memutuskan untuk bicara.

“Iya De, ada masalah apalagi?” jawab Regina sambil berusaha setenang mungkin berbicara.

“Re, aku ingin menjelaskan semuanya ke kamu.”

“Apalagi yang mau dijelasin De? Toh semuanya sudah jelas, kita ngga ada apa-apa lagi semenjak kamu menghilang tiga bulan lalu.”

“Re, tenang dulu. Aku bisa jelasin semuanya.”sela Dean, ia tahu emosi Regina sebentar lagi akan meledak.

“Aku ngga bisa lama-lama, sebentar lagi aku ada kelas. 3 menit.” Sambung Regina tanpa basa-basi.

“Aku minta maaf Re untuk semua salah aku ke kamu sebelumnya. Aku udah jahat banget sama kamu. Iya, semenjak kamu melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, aku selingkuh sama Mira. Bahkan jauh sebelum kamu pergi. Setelah kamu pergi, aku sama Mira semakin dekat. Bahkan kami sempat ML Re. Maafin aku.”

Mira masih berusaha mencerna suara yang masuk ke telinganya barusan. Ia tak menyangka bahwa kenyataan mampu sepahit ini.

“Kini Mira sedang hamil, ia mengandung anak aku Re dan aku harus menikahinya. Pernikahan kami akan dilakukan sederhana dan sembunyi-sembunyi karena ini merupakan aib bagi keluarga Mira yang kamu tau sendiri kan cukup berada di sini. Sekali lagi maafin aku Re.”

Hening. Panjang.

“Udah dulu ya De, aku ada kelas.” Ujar Regina seraya memutuskan sambungan telponnya dengan Dean. Regina sama sekali tak mengeluarkan air mata kali ini, toh percuma juga jika ia menangis. Semuanya takkan kembali seperti semula. Nafasnya terasa berat, dadanya sesak. Berulang kali ia menghela nafas panjang juga tak cukup. Ia mengambil tasnya dan memutuskan untuk tak mengikuti kelas hari itu. Ia ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu.
 


Nampaknya usaha Dean untuk meminta maaf kepada Regina berhasil. Akhir-akhir ini komunikasi mereka semakin membaik. Mereka sering sekali bertukar kabar melalui percakapan telepon hingga larut pagi. Regina sendiri sebenarnya penasaran bagaimana Dean bisa meneleponnya jika sekarang ia sudah berstatus istrinya Mira. Tapi Regina tak mau ambil pusing toh Dean juga sudah kembali padanya. Sumber bahagia Regina yang pernah hilang.

“Re, kamu jangan tinggalin aku ya?” ucap Dean. Ini sudah pukul 3 pagi saat Dean mengatakannya.

“Tapi kamu kan yang duluan ninggalin aku?”

“Iya, itu salah aku Re, tapi aku mohon aku belum bisa sepenuhnya kehilangan kamu. Aku mau kamu tetep dekat sama aku.”

“Hmmm.”

“Kamu mau kan berjanji untuk selalu ada buat aku?” pinta Dean.

“Iya.” Entah apa yang sedang terlintas di pikiran Regina hingga ia mampu mengucapkan iya semudah itu bahkan untuk orang yang telah mengkhianatinya.

“Eh Re, oiya bulan depan aku ada rencana kunjungan kerja ke kantor cabang di Yogyakarta. Ketemu mau?”

“Mau!”seru Regina.

“Ya tapi pelan-pelan aja dong Re, ngomongnya. Kalau aku ntar sakit telinga gimana?!”

“Auk ah bodo!” lalu mereka berdua tertawa. Bahagia. Sementara.
  

 
Layar laptop di depan Regina sudah sedari tadi mati. Ia sedang melamun. Kali ini kafe yang biasa Regina kunjungi tak terlalu ramai. Bahkan kebanyakan yang berkunjung hari ini adalah orang yang baru saja pulang dari kantor. Mungkin menyempatkan singgah, sekalian makan daripada harus bolak-balik.  Beberapa orang sedang sibuk menata peralatan musik yang nampaknya mereka adalah band pengisi malam ini. Regina memanggil pelayan yang sedang asyik ngobrol di meja kasir, memesan secangkir coklat panas lagi. Setelah pelayan kafe tersebut berlalu, Regina kembali dalam lamunannya. Kembali ke masa-masa saat Dean masih di sampingnya. Saat dimana bahagia menjadi bagian hari-harinya meski ia tahu cepat atau lambat hal ini akan dialaminya juga.





Sebulan yang lalu Dean menghubungi Regina. Ia meminta maaf sekaligus berpamitan. Dean tak lagi bisa terus bersama Regina karena Mira telah melahirkan. Dean tak mungkin lagi bisa membagi perhatiannya. Regina tak elak marah. Selama ini, ialah yang terus ada di samping Dean, yang mendengarkan keluh kesah Dean karena kelakuan Mira yang aneh-aneh selama masa kehamilannya. Regina lah yang terus memberi semangat saat Dean mengeluh dan hampir menyerah dengan Mira. Regina telah melakukan segalanya untuk Dean, untuk bahagianya.
 
Di tengah rasa rinduku yg menggebu…

Kau bersama dia…

Di saat-saat ku menunggu dirimu…


Kau bersama dia…


Regina tersentak begitu mendengar suara berat yang masuk ke sela-sela telinganya. Seorang laki-laki yang sedang diatas panggung rupanya yang mengembalikan sadarnya barusan.

bila kau cinta aku
 mengapa kau tipu diriku 
tuk bersama dia…

Regina tertunduk lemas. Ia tak menangis. Dadanya sesak. Bukan kebencian yang penuh di sana tapi kekecewaan.

kau bunuh hatiku 
saat ku bernafas untukmu…


kau kebanggaan aku
 yang tega menipuku…


ditulis @merelakan dalam http://adityaistyana.tumblr.com | Tega

No comments:

Post a Comment