Saturday, September 29, 2012

Jatuh Sendiri

Kau matahari dan aku bumi penampung cahayamu. Detik ke detik adalah hidup dari keberadaanmu. Harapan tanpa tepi.

Ada kalanya jarak tak menjadi acuan untuk merindukanmu. Bahkan sedekat nafasku dengan detak di jantungmu--dalam pelukan--aku masih bisa menanam rindu dengan gebu. Tidak perlu jarak jika harus menabur rindu ke tanah hidupmu.

Pelukan demi pelukan kau rebahkan tanpa syarat di dingin dadaku. Selalu saja kau mampu hunjami aku dengan ketenangan, meski seringnya tusukan-tusukan airmatamu lebih dulu membunuh aku. Seperti duri di tangkai mawar, menusuk kecil-kecil terhalau rekah merah kelopaknya. Aku adalah tangan, yang tak peduli sakitnya menggenggam.

Kita tidak saling meminta untuk apa harapan ditali-pitakan. Sebuah rasa membungkus dirinya sendiri untuk dapat saling melengkapi.

Ini adalah kebahagiaan yang aku rasakan tanpa pernah sekalipun aku rencanakan. Sekelumit waktu atas kedatanganmu, entah melalui jalan apa dan berkelok di persimpangan mana. Tiba-tiba saja kau sudah jatuh di dadaku dan aku jatuh di matamu dengan hatiku. Keindahan yang berlalu-lalu tanpa pernah kita tau, kita ini siapa dan siapa sebenarnya kita. Iya kita..

Aku bahagia sebab kulihat kau tertawa dalam tiap pertemuan kita. Dari sana aku mulai jatuh, jatuh, lalu jatuh dan semakin jatuh. Aku adalah kesenangan, pada waktunya di tibamu.

Kata-kata cinta kurangkum dari debar dadaku. Padu-paduan aksara kutata dari geletar nafasku. Akan kubilang kau cinta dari segala yang pernah kau cipta. Sejak hari demi hari peluk kau titip tanpa spasi. Lalu jatuhlah harapan, saat cinta yang kutawarkan kau tampik dalam senyuman. Jatuh berdebam. Blaaaarrrr..

"Apa maknanya kita berpeluk selama waktu--sebelum ini--tanpa jeda?" tanyaku berturut-turut pada nyalang matamu yang jauh dari hirau suaraku. Ini aku, seada-adanya terjerembab dari gunung harapan ke jurang kekosongan.

Bisakah kita menjadi cinta, saat nyala matamu hanyalah biasan dari kisah yang untuknya masih kau jaga?

Kutanyakan sekali lagi, benarkah pelukan di dadaku hanyalah sepi kenyataan atas harapan yang tak ingin kau restui? Bukankah telah banyak pahatan mimpi yang kita--tunggu, mungkin hanya aku--rancang sedemikian sempurna untuk hias-hiasan bahagia. Ah, ternyata memang benar. Hanya aku saja yang menikmati rekah-rekah kelopak mawar, tanpa menghirau duri yang menjadi sekat antara luka dan cinta.

Engkaulah mendung paling langit. Berharaplah aku menjadi hujan, ditampungmu dalam-dalam, sebelum derasan.
Kini aku kembali menjadi pintu; tertutup--menutup diri dari nyata yang terjadi. Membatasi harapan supaya tak lagi melayang-layang pongah. Seolah layang-layang, ia terbang ke langit paling angkasa dan tak berteman siapapun, bahkan angin enggan untuk membaca maunya diberi sela terbang. Aku jatuh, pada cinta yang jauh dari cinta. Aku ilalang, tumbuh di tanam petani di sawah harapan kosong paling lapang--kamu.

Seperti ruang lapang yang kudatangi sendiri--lengang begitu nyata, ketika cinta jatuh tanpa kau tangkapi.



♬ tak pernah kumengerti aku segila ini
aku hidup untukmu aku mati tanpamu
tak pernah kumengerti aku sebodoh ini
aku hidup untukmu aku mati tanpamu




ditulis @dzdiazz dalam http://aksaralain.blogspot.com | Hidup Untukmu Mati Tanpamu

No comments:

Post a Comment