Wednesday, September 26, 2012

#cumadibandung

Dalam bus menuju Jakarta aku menyadari pemandangan di sepanjang jalan tol Padalarang ini tampak menyedihkan. Meranggas dan kering. Padahal baru kemarin ketika menuju Bandung pemandangan ini tampak eksotis. Mungkin perasaan mempengaruhi pemandangan. Makan siangku tadi juga begitu. Biasanya ayam goreng ber-franchise itu selalu bisa membuatku ketagihan. Tadi, lahap saja tidak. Rasanya anyep. Nasinya juga asin. Mungkin airmata mempengaruhi rasa.

Ah, baru kemarin aku menertawakan sahabatku yang menangis karena kepedasan semangkuk mi di daerah Dipati Ukur. Lalu dia juga terbahak-bahak menertawakan seorang perempuan di meja lain yang menangis hingga hidungnya berair karena semangkuk mi juga. Sialnya aku menangis sendirian seharian ini, tanpa semangkuk mi pedas. Di trotoar pasar dekat simpang Dago, aku berjalan sambil menangis. Bodohnya tak terkatakan. Malu menangis sambil jalan aku menyebrang ke Mc D. Memesan eskrim Mcflury dan mulai sesenggukan setelah di kasir aku hampir menumpahkannya. Kupilih sebuah kursi empuk dan meja mini dekat jendela kaca di pojok ruangan. Kupikir itu tempat yang nyaman untuk memulai tangisan. Merunut penyebab kekecewaan. Mungkin tangisan mempengaruhi pikiran.

Aku buntu tak tau sebab yang membuatku sesenggukan. Baru beberapa menit tumpah ruah di pipi, tangisku terpaksa berhenti lagi. Seorang petugas Mc D menghampiri dan memintaku pindah tempat duduk karena lampu di langit-langit tepat di atas kepalaku akan diperbaiki. Petugas itu menunjuk bangku dan meja baru di tengah ruangan. Tidak mungkin aku menangis disana. Kuputuskan keluar saja. Aku haus. Eskrim di tanganku belum habis dan kubawa menyebrang ke Circle K.

Menyebrang pun ternyata tak mudah. Simpang empat Dago itu terlalu ramai untukku. Kalau bukan karena aku yakin di toko itu ada air mineral Nestle, tak perlu aku sesusah itu menyebrang. Sebotol air mineral itu membuat sesenggukanku hilang. Kuputuskan mencari tenang di taman Babakan Siliwangi. Aku menyebrang jalan lagi. Kali ini dengan napas teratur tanpa senggukan. Pelan-pelan kutelusuri trotoar. Kuturuni anak tangga taman. Hutan kota ini masih seasri terakhir kali aku datangi. Aku masih jatuh cinta pada sulur-sulur beringinnya. Di taman itu kupikir aku akan lebih leluasa berpesta airmata. Kukelilingi untuk menemukan bangku sepi. Tapi tidak ada. Tangga berundak yang kududuki saat pertama kali datang kesini dikuasai anjing dan pemiliknya tidak kelihatan. Aku takut dan memutuskan naik lagi. Di depan pohon beringin terbesar ada Galery Mitra dan penjaganya menegurku ramah. Akhirnya aku duduk bersamanya menikmati sulur-sulur bergoyang di depan kami. Dia terlalu ramah. Aku gagal duduk di bangku sepi.

Mungkin kesedihan mempengaruhi keputusan. Duduk beberapa menit di Babakan Siliwangi, kuputuskan, aku mau pulang ke Jakarta saja. Menyudahi perjalanan. Seorang sahabat yang menemaniku selama disana memintaku bertemu dulu dengannya sebelum aku pulang. Kuiyakan, kukunjungi dia di asrama kampus besarnya. Malang, di kerumunan pemuda dengan seragam coklat yang tampak sama di mataku, tak kutemukan dia. Telepon genggamnya pun tak bisa dihubungi. Aku menyerah untuk menunggu. Kuputuskan benar-benar pulang.

It’s a dangerous game that I’m not sure if I could keep playing for long

It’s a dangerous game, it’s a very fine line, and if one step is wrong I’ll have no cards to play


Dalam bus menuju Jakarta aku menyadari pemandangan di sepanjang jalan tol Padalarang ini tampak menyedihkan. Ah, apa sih yang lebih menyedihkan dari penolakan? Ekspetasi yang berlebihan? Jatuh cinta yang keterlaluan? Ketika ketulusanmu dihadiahi pengabaian. Ketika keinginanmu untuk membuktikan dianggap tidak lebih dari gangguan. Menyanjung untuk kemudian merasa dibenci. Menunggu lalu tidak berarti. Aku penjudi payah yang kehabisan keping kepercayaan. Seharusnya aku tau kapan berhenti, kapan melanjutkan lagi. Seharusnya tidak perlu sampai mendatanginya di kota ini untuk mendapatkan patah hati.
Bus yang membawaku pulang ke ibukota melaju menerbangkan daun kering jalanan. Sekerat hati yang lebam kubawa pulang. Tangisku usai. Cuma di Bandung aku bisa sejatuh cinta kemarin dulu. Cuma di Bandung aku mampu sepatah hati ini. Mungkin nanti cuma karena Bandung, aku tak ingin bercerita apapun lagi.

I have no cards to play
and that’s why
I’ve got nothing to say,
tonight


ditulis @ezapia dalam http://komidiputar16.wordpress.com | Riot On An Empty Street

No comments:

Post a Comment