Saturday, September 29, 2012

Jatuh Cinta di Kota Tua

Bandung, 30 Maret 2011..

“Suatu hari nanti, saya akan mengajak kamu ke Kota Tua.”

Gumammu, sambil menghisap rokokmu dalam-dalam. Entah sudah berapa batang rokok yang kau habiskan malam ini, yang pasti, selalu ada cerita di balik asbakmu yang penuh.

Aku selalu membenci kebiasaan merokokmu itu, namun aku juga menyukai wangi khas yang ditimbulkan oleh pria perokok seperti kau. Dan aku terlanjur jatuh cinta dengan kebiasaanmu, yang selalu membungkuk setiap menyalakan rokok.

“Nanti itu.. kapan?” Aku bertanya  sambil sesekali mengibaskan asap rokok yang beterbangan ke mukaku, baunya menyebalkan. “..selama masih ada dia, kisah kita tidak akan pernah mempunyai cerita.”

“Tunggu saja waktunya tiba.”

“Dia tidak akan meninggalkan kamu.” Perlahan, aku meraih lenganmu dan menjauhkannya dari rokok yang sedang kau hisap, “ ..terkecuali kamu yang meninggalkan dia.”

“Saya tidak punya alasan untuk meninggalkan dia.” Jawabmu, nampak sedikit gusar. “Sudahlah, Tuhan selalu mempunyai skenario terbaik.”

“..dan kamu yakin Tuhan punya skenario yang baik untuk kita?”

“Yang jelas Tuhan tidak akan mempertemukan kita tanpa alasan.”

“Sekalipun waktunya tidak pernah tepat?”

“Saya meminta kamu menunggu. Kita akan kembali jatuh cinta di Kota Tua. Saat hari itu tiba, kita akan jatuh cinta di waktu yang tepat.”

-

Kota Tua, 25 Maret 2012..

Aku tidak terkejut bisa bertemu dengan kamu secara kebetulan di tempat ini, sejak dulu tempat ini memang favoritmu, dan ternyata masih begitu sampai sekarang. Sosokmu pun masih terlihat sama, kebiasaan merokokmu juga belum berubah.

Aku pun bergerak menghampiri kamu yang sedang memotret suasana di sekitar Museum Wayang.

“Kamu mirip dengan seseorang yang seharusnya mengajakku datang kemari.”

Kamu menoleh, dan nampak terkejut, “Alena..”

“Itu percakapan kita 1 tahun yang lalu, kan?” Aku tersenyum, dan menatap cincin di jari manis kirimu, bukti nyata yang menjelaskan mengenai kabar terakhir yang aku dengar mengenai hubunganmu dengannya, “…dan sebenarnya kau meminta aku menunggu apa?”

“Segalanya bisa berubah dalam 1 tahun, Al.”

“Jadi, skenario yang terbaik untuk kita itu… ini?”

“Kita memang kembali jatuh cinta, hanya saja pada akhirnya cinta yang saya jatuhkan bukan untuk kamu.”

“Lalu, Tuhan mempertemukan kita untuk alasan apa?”

“Tuhan sedang memintamu untuk belajar jangan terlalu banyak menaruh harapan pada seseorang. Hanya itu.”

“Oh, that’s just so impossible to not put a hope into you.”

“Anggaplah saya adalah harapan yang harus kamu endapkan.”

-

Kita kembali jatuh cinta di Kota Tua.

Jatuh cinta pada luka yang sama, pada kerinduan yang masih mengeja satu nama.

Dan jika memang harapan ada hanya untuk dikubur dalam-dalam,

mulai kali ini sebut saja ia keputusasaan.
 
“So I lay my head back down,

and I lift my hands and pray to be only yours.

I pray to be only yours,

I know now you’re my only hope..”



ditulis @frdtas dalam http://faraulias.wordpress.com | Only Hope

No comments:

Post a Comment