Thursday, September 27, 2012

Gidarilge -기다릴게-


Aku melangkah keluar pintu kaca yang terbuka secara otomatis, dengan bagasi dan ransel yang telah menemaniku selama perjalanan yang melelahkan ini. Perjalanan selama dua tahun yang membuat perasaanku sekarang bercampur aduk. Senang, bangga, tetapi juga khawatir dan takut.

Hei, bukan setiap hari seorang lulusan S2 jurusan arsitektur yang mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di Korea Selatan pulang ke negara asalnya. Mendapat beasiswa seperti itu saja sudah suatu anugerah besar yang tidak terjadi pada sembarang  orang.

Tetapi, dua tahun. Itu yang menjadi masalah. Aku tidak tahu apa yang telah berubah, dan apa yang tidak. Selama ini, aku hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman melalui dunia maya. Demikian juga keadaannya dengan dia. Dia yang selama ini terus menempati di posisi istimewa dalam hatiku. Tetapi, setelah dua tahun, apakah posisiku baginya masih sama seperti dulu?

Langkahku memelan, dan kemudian terhenti, saat aku menyadari tidak ada yang menjemputku di bandara. Bahkan keluargaku pun tidak datang. Aku mendecak lidah kesal. Tetapi, ada atau tidak yang menjemputku, aku juga harus pulang ke rumah. Bisa kemana lagi?

Aku mendesah sebelum bergerak lagi. Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan tiba-tiba menutup mataku dari belakang dan menahan ayunan langkahku. Tangan yang lembut. Sentuhannya seakan takut kacamataku akan retak begitu mengenai tangannya. Jangan-jangan…

Aku segera menurunkan tangan itu dan membalikkan badan.

Dia berdiri di sana, dengan senyumannya yang khas, yang selama ini hanya dapat kubayangkan, yang selama ini begitu kurindukan. Dia… datang.

Terdengar sorakan dari belakang. Sorakan kacau yang menarik perhatian orang-orang sekitar. Sama seperti mereka yang terkejut, aku menoleh pada asal suara, dan mendapati keluarga dan teman-teman dekatku berdiri dalam satu deretan, sambil mengangkat spanduk dan papan-papan kecil bertuliskan namaku dan tulisan “welcome home”. Apaan ini?

“Kalian terlalu berlebihan,” kataku sambil berjalan ke arah mereka. Tanganku menggenggam erat tangan yang baru saja memberiku kejutan manis tadi. Genggaman yang ditunda selama dua tahun. Genggaman yang kunantikan selama dua tahun.

“Berlebihan apanya? Ini kami lagi jemput artis dari Korea!” sahut adikku dengan senyuman nakal.

Aku ikut tersenyum. Untuk kali ini, aku tidak akan memberikan komentar apa-apa. Suasana seperti ini sudah terlalu kurindukan. Yang dapat kulakukan hanya menatap mereka satu per satu dan tersenyum, lalu kutatap lagi, dan tersenyum lagi. Inikah yang dinamakan bahagia?

“Sudah kutepati janjiku,” katanya tiba-tiba saat rombongan yang keributannya hampir menarik perhatian sekuriti ini meninggalkan bandara. Tangannya masih dalam genggamanku. Langkah kami santai. Dalam hati, aku memohon agar waktu berjalan lebih lambat lagi. Adegan seperti ini hanya akan muncul dalam mimpi dan lamunanku selama dua tahun yang baru kulewati.

Aku mengerutkan dahi tidak mengerti. Melihat reaksiku, dia berjinjit untuk mencapai telingaku, dan aku secara otomatis menunduk sedikit untuk memudahkannya. Ah, chemistry di antara kami yang begitu kurindukan tidak hilang sedikitpun. Senangnya.

“Gidarilge,”[1] bisiknya.

Aku hanya tertegun menatap gadis yang tersenyum manis itu, yang kemudian dengan lincah berlari mengejar rombongan yang sedang berjalan menuju tempat parkir. Sesekali dia membalikkan badan untuk melambai padaku, mengisyaratkan agar aku mempercepat langkahku.

“Aku pulang,” gumamku sambil membetulkan letak kacamata. “Maaf telah membuatmu menunggu,” lanjutku lagi dengan pandangan yang masih terpaku padanya.

Saat aku akan melangkah, pundakku tiba-tiba diguncang. Rasa kaget ini hampir saja membuatku meloncat di tempat.

“Sudah sampai,” kata seorang laki-laki di sampingku.

Perlahan, aku membuka mata, lalu mengangguk pelan sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Ternyata hanya mimpi. Pesawat yang kutumpangi baru saja mendarat di Korea Selatan, tempat yang akan menjadi tempat tinggalku untuk dua tahun ke depan. Mimpi yang indah. Aku hanya bisa berharap, semoga mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Tetapi, salah satu sudut pikiranku sangat meragukan hal ini. Menunggu selama dua tahun. Siapa yang rela?

Aku membetulkan letak headphone, yang sejak tadi tidak kuperhatikan lagu apa yang diputar darinya, kemudian aku mengambil barang-barangku, dan melangkah mengikuti barisan keluar dari pesawat. Benakku masih memikirkan mimpi tadi.

Udara dingin yang sama sekali tidak ramah menyambut kedatanganku. Dengan refleks, aku merapatkan jaket yang kukenakan. Jaket yang dia berikan saat mengantarku ke bandara tadi. Hadiah untuk dua tahun ini, katanya. Aku menyengir saat mengingat kembali adegan tadi. Jadi maksudnya, selama dua tahun ini tidak akan ada hadiah lain lagi?

Aku memasukkan tangan kanan ke dalam saku jaket. Ternyata udara musim dingin itu seperti ini. Begitu menusuk tulang. Dan yang lebih menyakitkan lagi, aku sendirian di negara asing. Tiba-tiba rasa khawatirku tentang apa yang akan terjadi setelah dua tahun kembali menghantui pikiranku. Bagaimana kalau mimpi benar-benar hanya mimpi belaka? Di saat aku pulang setelah menyelesaikan studiku, apakah kami masih bisa seperti dulu? Apakah dia akan menunggu?

Aku hanya bisa menyesali keraguanku untuk bertanya padanya. Hingga saat aku menghilang dari pandangannya tadi, masih belum kukatakan bahwa aku berharap dia menungguku. Tetapi, permintaan seperti ini, sangat egois, bukan?

Pikiranku kembali tenggelam dalam perdebatan yang terjadi setiap hari selama beberapa hari ini. Perdebatan yang tiada akhir. Hingga tanganku merasakan ada sesuatu di dalam saku yang seharusnya kosong itu. Kwitansi pembelian jaket ini, kah? Sebuah ide aneh muncul dalam benakku. Tetapi, sesuai sekali dengan sifatnya yang suka memberi kejutan. Otaknya merupakan sarang dari ribuan ide yang tidak dapat dipikirkan orang lain.

Dengan tangan yang mulai menggigil, aku keluarkan selembar kertas putih yang dilipat empat. Ini pasti tulisannya, pikirku sambil membuka lipatannya, saat aku menyadari coretan kaku itu adalah tulisan dalam bahasa Korea. Dia tidak pernah mau belajar bahasa Korea. Nggak minat, katanya.

Hatiku berdetak lebih kuat sejenak ketika deretan tulisan itu ditangkap indera penglihatanku.
기다릴게[2]
Darah dalam tubuhku seakan mengalir lebih cepat. Badan yang tadinya hampir menggigil kini terasa begitu hangat, dari lapisan kulit paling luar hingga ke organ-organ dalam tubuh. Pernahkah kau merasakan seperti ini? Seperti akan demam tinggi dan harus segera berobat ke dokter.

Tiba-tiba, mataku terasa basah. Ah, tidak boleh. Jangan sampai menangis di depan orang seramai ini. Aku terus mengerjapkan dan membesarkan mataku, berusaha menghilangkan air mata yang bisa terjatuh setiap saat.

Oh baby say goodbye, for a short while goodbye.
The talk about goodbye, I’ll put it aside for a short while.
I’ll go back to the place
When I once was

When I open that door and take one step
so that I can stand in front of you who i missed

My heart that loved you
my eyes that looked at you
I’ll wait.

Langkahku terhenti saat lirik dari lagu yang sedang diputar, yang tadinya hanya terdengar samar, tiba-tiba menjadi begitu jelas. Butiran bening dalam mataku bergulir begitu saja, membasahi kedua pipiku yang masih terasa hangat.

Sebuah senyuman terbentuk dengan sendirinya di wajahku. Benar-benar hadiah terbaik untuk dua tahun ini. Hadiah yang dapat menghangatkan badanku, sedingin apapun udara di luar. Hadiah yang dapat menghangatkan pikiranku, sedingin apapun dunia luar.

Aku menengadahkan kepala dan menatap langit.

Hei, apakah kau juga sedang melihat langit ini? Terima kasih. Meskipun kesediaanmu untuk menungguku hanya dapat kubalas dengan mengizinkanmu untuk menunggu, kumohon, tunggulah. Nantikanlah kepulanganku. Penantianmu adalah dorongan terkuat bagiku untuk terus maju. Tetapi, tenanglah. Aku akan segera pulang. Tenanglah, sebab kau tidak perlu menunggu lama. Dua tahun, tidak berarti apa-apa bagi kita yang akan bersama selamanya.

after time passed by when I meet you
I will tell you that I missed you

[1] I’ll wait
[2] Dibaca: Gidarilge

=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: A Short Journey By Super Junior
Post #9 of #30HariLagukuBercerita


ditulis @Lidya_yang dalam http://lidyayang.blogspot.com

No comments:

Post a Comment