“Vodka, please,” pintaku pada seorang bartender. Dia mengangguk sejenak dan segera menuangkan vodka yang aku pinta. Disodorkannya satu shot vodka itu. Ya, di sinilah aku sekarang, terdampar di sebuah bar yang sudah cukup lama aku lupakan. Duduk dengan one shot of vodka di hadapanku. Mungkin kau terheran-heran, mengapa aku bisa kembali terdampar di sini. Namun, sebenarnya wajar saja kan jika aku ingin merasakan hangatnya alcohol di dalam kerongkonganku yang kering karena ada masalah yang menghampiriku.
Sebenarnya aku malu pada diriku sendiri, orang yang dulunya tegar dan angkuh sepertiku bisa merasakan sakit hati yang amat sangat hanya karena seorang wanita. Haha, baru kali ini aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Lizzie, nama wanita itu. Seorang wanita yang entah datang dari mana dan entah bagaiman mampu mengubah hidupku.
---
“Permisi, bisa saya bertemu dengan bapak Reza?” tanya seorang perempuan kepada seorang sekretaris di depan sebuah ruangan kantor.
“Sudah ada janji sebelumnya?”
“Sudah.”
“Dengan ibu siapa ini? Biar saya sampaikan kepada pak Reza.”
“Lizzie, dari pihak advertising yang akan membicarakan proyek real estate,” ucap wanita itu kalem.
“Baik, tunggu sebentar ya Bu.”
---
Terdengar ketukan di pintu kantorku, dan di sinilah pertemuanku dengannya terjadi pertama kali. Seorang wanita yang anggun dan jelita. Penampilannya tidak begitu ‘wah’, tapi tetap enak dipandang mata. Kulitnya putih, dan terlihat sehalus sutera. Mungkin begitu rasanya jika aku menyentuhnya. Ah, jadi ingin menyentuh tangannya. Pipinya berseri dan bibirnya merah merekah. Bak seorang bidadari yang turun dari peraduannya.
“Selamat pagi, pak. Saya Lizzie dari pihak advertising yang akan menangani proyek real estate Anda.”
Suaranya mengalun begitu lembut, bagaikan nyanyian surgawi. Aku begitu terpesona padanya. Kulihat matanya yang bening menatapku, perlahan mengernyitkan keningnya. Ah, ya, aku lupa menimpali kata-katanya.
“Ehem, iya. Bagaimana dari pihak Anda? Apa sudah ada konsep tentang advertising yang bisa saya lihat?” aku berusaha seprofesional mungkin menutupi rasa gugup ku. Entahlah, baru kali ini aku merasa gugup di depan seorang wanita.
Dia mulai menjelaskan konsep yang telah dia buat dan dia semakin membuatku terpesona. Kata orang, wajah berbanding terbalik dengan kepandaian seseorang. Namun, tidak pada wanita di depanku ini. Dia begitu sempurna.
“Bagus. Saya menyukai konsep yang telah Anda buat. Mungkin, bisa Anda kembangkan dan kita lihat perkembangannya.”
“Baik, pak.”
---
“Maaf, pak saya sedikit terlambat sehingga membuat bapak menunggu. Tadi jalanan macet tidak karuan,” Lizzie meminta maaf dengan wajahnya yang terlihat begitu menyesal.
“Iya, tidak apa-apa. Tapi, tidak susah kan menemukan rumah makan ini? Oh iya, sekali lagi, sudah aku bilang berkali-kali jangan memanggilku ‘pak’, panggil saja Reza dan jangan terlalu formal dengan menggunakan kata saya,” kataku panjang lebar.
“Ehm, harus mana dulu yang aku timpali?” Dia diam sejenak dan kemudian melanjutkan, “tidak sulit menemukan rumah makan ini. Dan baik, aku tidak akan terlalu formal, Reza.” Senyumnya mengembang. Senyum yang paling aku sukai.
Ini pertemuan kami yang kesekian kali dan sudah beberapa kali ini bertemu di luar kantor. Dia wanita yang menyenangkan dan berwawasan luas. Tak kurang, dia juga begitu baik kepada semua orang. Dia selalu bisa membuatku terperangah kagum.
Bukan sekali ini aku berusaha mengajaknya makam siang ataupun malam dengan dalih pekerjaan. Nampaknya, dia sudah tahu intensiku, tapi dia diam saja dan menikmati semuanya. Ini yang membuatku semakin jatuh terhadapnya. Mungkin memang aku memiliki harapan. Aku menginginkannya, dan aku akan mendapatkannya. Aku merasa penuh dengan harapan. Dan semuanya, ia yang berikan.
---
Semuanya berjalan dengan lancar, dan aku pun semakin dekat dengan Lizzie. Sudah banyak hal yang aku bagi dengannya, termasuk kisah kehidupan pribadiku. Tapi tak lama lagi kerja sama kami akan segera usai. Hal ini membuatku tak nyaman. Entah ada dorongan dari mana, aku memutuskan untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan pada Lizzie, wanita yang membuatku gila setengah mati.
“Hai Reza. Sudah lama menunggu?” tanya Lizzie padaku.
“Aku baru tiba lima menit yang lalu,” ujarku sedikit berbohong. Sebenarnya aku sudah tiba hampir setengah jam lalu. Apa yang mendorongku untuk datang seawal itu juga aku tidak tahu. Konyol.
Musik mengalun merdu melatar-belakangi malam di restoran Jepang ini. Sebuah lagu yang terdengar sendu mengalir lembut menemani kebersamaan kami.
“Liz, boleh aku mengatakan sesuatu? Sudah lama aku ingin mengatakan ini padamu,” aku sedikit gugup ketika mengatakan ini.
“Silahkan saja.” “Kau tahu, aku belum pernah merasa seperti ini. Tapi semenjak kau hadir dan menemani hariku aku merasa ada yang berubah. Aku seolah gila dan tak sanggup menjalani hari tanpa kehadiranmu. Dan mulai esok perjanjian bisnis kita telah usai. Jika mungkin, aku masih ingin bersama denganmu. Maukah kau menjadi kekasihku?”
Dia terperangah, antara takjub dan terkejut. Dipalingkan wajahnya sejenak, seolah berusaha menyembunyikan keterkejutan yang mampir di parasnya yang rupawan. Sedetik kemudian, dia menatapku dalam. Terlihat olehku segurat kecewa, pun kesedihan. Apa, ini? Bukankah selama ini dia terlihat nyaman denganku? Mengapa dia menampakkan ekspresi seperti itu?
“Reza, terima kasih atas rasa yang kau berikan kepadaku. Namun maaf, sungguh minta maaf aku tidak bisa memenuhi permintaanmu,” ucapnya sedikit ragu.
“Kenapa? Apa ada yang salah denganku? Bukankah selama ini kita baik-baik saja? Lalu, apa arti kebersamaan kita selama ini? Apa kamu sudah menyukai pria lain? Tambatan hati, iya?”
“No, no. There is nothing wrong with you. And I did enjoy my time with you. Dengarkan dulu, aku tidak bisa menerimamu bukan karena aku menyukai pria lain. Terlebih lagi, it is because I cannot love another guy.”
“Apa maksudmu?”
“Aku lesbi,” dia menghela napas panjang sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. “Maaf.”
Perlahan, dia beranjak dari kursinya dan melangkah pergi.
Doushite kimi wo suki ni natte shimattan darou?
Donna ni toki ga nagaretemo kimi wa zutto
Koko ni iru to, omotteta no ni
Demo kimi ga eranda no wa chigau michi
Why did I end up falling for you?
No matter how much time has passed,
I thought that you would always be here
But you have chosen a different road
---
Di sinilah aku sekarang. Menatap vodka yang disuguhkan kesekian kalinya. Ya, aku telah jatuh hati pada wanita yang bahkan tidak bisa mencintaiku. Semua harapan yang sempat ia berikan padaku dulu, sekarang telah mati.
ditulis @tich_11 dalam http://tiche2.blogspot.com | Doushite Kimi wo
Suki Ni Natte Shimattan darou?
No comments:
Post a Comment