Sunday, September 30, 2012

Langkah Ke-101

 Aku duduk termenung di depan laptop. Telepon darimu membuat hari Sabtu yang cerah ini kelam seketika. Aneh. Sejak kapan mendapat panggilan darimu menjadi sesuatu yang membuatku sedih? Sepanjang ingatanku, mendengar suaramu selalu merupakan hal yang menyenangkan. Jadi, mengapa perasaanku seperti ini?

Sakit. Sangat sakit, saat aku sepenuhnya sadar bahwa senyumanmu padaku sama saja dengan senyumanmu yang kaulontarkan pada orang lain. Sangat menyesakkan, saat aku tahu bahwa usahaku selama ini sia-sia. Aku tetap bukan orang yang istimewa.

Tidak. Untuk kali ini, aku tidak akan memenuhi ajakanmu lagi. Aku tidak akan memusingkan diriku dengan apa yang akan kaubicarakan atau apa yang pakaian apa yang harus kupakai.

Tanpa aba-aba, tanganku menghidupkan laptop dan membuka folder yang terkunci, yang berisi rahasiaku. Setiap huruf di dalamnya adalah cermin dari apa yang kurasakan karena dirimu, dan tidak ada yang boleh membacanya. Mengapa? Karena aku tidak ingin ada yang mengetahui isinya. Rahasiaku yang dengan susah payah kusembunyikan. Darimu.

Judul tulisan yang terakhir “Langkah ke-100”, memperingatiku bahwa aku harus berhenti perjalanan ini. Perjalanan menutupi jarak di antara kita, dari langkah pertama hingga langkah ke-100. Aku rela menapak setiap langkah itu sendirian, tanpa harus kau bergerak sedikitpun. Mungkin mereka yang tahu akan menertawakanku. Tetapi, aku tidak akan berkomentar apa-apa, sebab aku rela.

Tetapi, aku tidak bodoh. Jika hingga langkah ke-100 juga ternyata jarak kita belum tertutup, jika hingga langkah ke-100 juga aku masih belum dapat mencapaimu, aku akan berhenti. Dan 100 langkah yang telah kuambil itu akan merupakan kenangan indah, rahasia pahit yang akan kupendam selamanya.

Sekarang, saat itu sudah sampai. Ternyata 100 langkah benar-benar tidak cukup. Selesai sudah perjuangan yang sia-sia ini.

Jemariku dengan lincah menari-nari di atas keyboard. Melampiaskan perasaanku dengan cara ini merupakan kebiasaan yang telah terbentuk sejak hari pertama aku menyadari bahwa kehadiranmu bagiku bukan hanya teman semata. Dalam hitungan detik, selesailah tulisan hari ini.

Entri 29 September 2012:

            Judul: fin
            Kau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Kali ini, aku sudah memantapkan hatiku, mengeraskan perasaanku. Aku tidak akan terjerumus dalam senyumanmu padaku, yang tidak mempunyai makna istimewa itu.


Aku menghela napas lega. Selesai sudah. Mulai sekarang, aku akan menjadi seseorang yang baru, bukan lagi gadis bodoh yang selalu mengharapkan dirimu. Dan kuharap dengan begitu, kau akan sadar, bahwa kehadiranku ternyata demikian penting.

Setelah memantapkan pikiranku, aku mulai menjelajah beberapa dari daftar tulisan dalam folder. Entah apa yang mendorongku membuat hal yang tidak berarti ini. Dan ternyata sudah demikian lama aku menulis di sini, lebih dari setahun. Berarti, selama itu jugalah aku memendam perasaanku ini. Dan selama itu jugalah, kau yang hanya menganggapku teman, tidak menyadarinya.

    Langkah ke-1:
    Dan hari ini, kau lagi-lagi menjemputku saat akan ke kampus. Katamu, karena satu arah, jadi sekalian saja. Saat kau katakan mulai hari ini, kau bersedia menjadi supir pribadiku untuk seterusnya, kau tahu bagaimana perasaanku? Ya, langkah awal yang baik.

    Langkah ke-13:
    Kau menyetujui ajakanku untuk menghadiri reuni SMA. Kau bahkan sibuk bertanya-tanya apa yang harus kau kenakan. Dalam pandanganku, kau seperti seorang gadis yang gugup sebelum first date. Satu langkah lebih dekat lagi.

    Langkah ke-24:
    Hari ke-8 kita tidak berbicara. Padahal kita bertengkar hanya gara-gara hal kecil. Tetapi, tanpa sengaja, aku mendengarmu bercerita pada teman, bahwa kau merasa tidak terbiasa tanpa diriku yang meracau di sisimu. Meski kita sedang perang dingin, tetapi ini suatu proses yang bagus, kan?

    Langkah ke-51:
    Kau dengan bangga memamerkan hadiah dari dia, pacarmu itu yang baru pulang dari Australia untuk melewati liburan kuliahnya. Dia, yang juga teman baikku, orang yang memperkenalkan kita. Tetapi, kau juga mengucapkan terima kasih padaku yang berperan banyak dalam hidupmu, terutama di saat kau memerlukan dukungan. Hei, kau yang masih tidak tahu apa-apa, kalau saya yang duluan mengenalmu, apakah statusku masih sekadar teman?

    Langkah ke-72:
    Kau menanyakan pendapatku tentang gadis yang kau kenalkan padaku kemarin. Setelah beberapa bulan memutuskan hubungan LDR-mu, kau menemukan ‘dia’ yang baru. Apa yang harus kukatakan? Alhasil, aku hanya membisu. “Kau tidak menyukainya?” tanyamu. Kau tahu apa yang membuatku tercengang? Saat aku mengangguk, kata-kata yang kau ucapkan tanpa memikir lebih jauh. “Kalau begitu, dia out.” Bagimu, pendapatku penting, kan?

    Langkah ke-89:
    Setelah bermalam-malam kekurangan tidur karena mengejar laporan, aku jatuh sakit juga. Dan kau, membatalkan janji temu dengan adik kelas yang manis itu, hanya karena ingin menemaniku. Kau begitu mengkhawatirkanku.

    Langkah ke-100:
    Aku membawa kue buatanku sendiri, bertandang ke rumahmu, hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan dengan harapan dapat merayakan hari istimewa ini berdua. Kau dengan senang menyambutku, mengacak-acak rambutku, dan mulai mengatakan betapa beruntungnya dirimu mempunyai seorang teman yang pandai membuat kue. Ternyata, aku masih teman. Ternyata, langkahku yang ke-100, belum cukup untuk menutupi jarak di antara kita. Sebenarnya, masih berapa langkah lagi yang dibutuhkan?


Aku menghembuskan napas pelan. Pasrah. Kepalaku pusing. Kau mendekat lalu menjauh, tetapi kau tidak pernah menolak kebaikanku, kau  bahkan membalasnya dengan hal yang membuat hatiku berdebar lebih kencang. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku dapat melepas begitu saja?

Bagaimana kalau ternyata jika aku terus menunggu dan terus melangkah, kau akan menyadari kelalaianmu selama ini? Dari langkah pertama hingga langkah ke-100, itulah kemajuan dari hubungan kita. Kemajuan yang hanya ada karena diriku yang tidak putus asa.

What if, it seems like you’re going to love me
Because it seems like you’re going to come to me if I just wait a little
With these anticipations, I can’t leave you


Ponselku berdering di saat yang tepat. Aku memerlukan sesuatu untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi, begitu aku melihat namamu yang tertera di layar, napasku tercekat untuk sesaat. Apakah ini sebuah pertanda?

“Sudah siap? Aku berangkat sekarang.”

Pesan singkat itu membuatku tertegun. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, SMS seperti ini sudah pernah kaukirim untuk banyak gadis yang lainnya bukan? Tidak hanya aku, meskipun aku dikenal sebagai gadis yang paling dekat denganmu. Namun, juga dikenal sebagai gadis yang berlabel teman bagimu.

Even though I wanted to believe that that smile was just for me
It probably isn’t, right?
But still, just maybe


Hei, kalau sebenarnya jarak di antara kita ada 1000 langkah. Apakah mungkin bagiku untuk menapak kesemua langkah itu? Apakah aku dapat berharap kau akan mulai melangkah ke arahku juga?

Dua buah suara dalam diriku berdebat. Otakku melontarkan berbagai logika, hatiku menolak dengan alasan yang mungkin saja hanya berupa harapan palsu. Tetapi, aku ingin berpegangan pada harapan itu. Sebab itulah yang memotivasiku selama ini. Dan aku yakin, harapan itu juga akan terus mendorongku untuk seterusnya, berapapun panjangnya jarak yang harus kulalui.

These thoughts are useless
For I’m already living in the deeply set times of you

Aku membuka kembali draf terbaru itu dan mulai mengetik. Salah. Mengedit.
Entri 29 September 2012:

            Judul: Langkah ke-101
            Kau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Dan kali ini sudah kuputuskan, berapapun langkah yang harus kutapak, aku akan terus maju. Sebab, siapa tahu, kalau aku terus menunggu, kau akan datang padaku. Ya, benar. Aku memang bodoh.


Even though pain is heavy
Still, I feel like you’ll love me


ditulis @Lidya_yang dalam http://lidyayang.blogspot.com | What If

No comments:

Post a Comment