Sunday, September 30, 2012

Bayang Harapan

Di malam terakhir pertemuan kita—sebelum kau pergi ke pulau seberang, tak ku alihkan sedikit pun pandang dari pupil matamu. Ini kali terakhir aku bisa sepuasnya melihat ke dalam sana—sedalam-dalamnya—sebelum akhirnya kau kembali setengah tahun lagi. Kau pasti tahu, matamu adalah objek favoritku dari dirimu. Aku begitu mengagumi tatap sendu itu, bahkan sejak pertama bertemu. “Teduh,” jawabku tiap kali kau tanyakan kenapa.

“Kita selamanya kan?” tembakku di sela kesibukanku memperhatikan gerak matamu. Saat itu kau sedang melahap suapan terakhir dari makanan pesananku yang tak sanggup kuhabiskan.

“Pasti, sayang. Pasti” Jawabmu mantap, lalu meneguk minum hingga tandas. “Jangan ditanya lagi, percaya sama aku ya.” Lanjutmu sembari mengelus kepalaku. Senyuman di bibirmu itu turut menambah lengkungan matamu. Ah beruntungnya Tuhan kasih kamu ke aku. Ntahlah, dengan memandang dalam ke sana saja aku tenang dan yakin untuk memilih percaya. Lalu ku raih tubuhmu, ku tenggelamkan kepalaku di bahu bidangmu. Seraya menghirup aroma tubuhmu yang juga sangat ku sukai. Selama kamu tak ada, hal-hal inilah yang nanti pasti teramat ku rindukan.

***

Malam ini aku kembali menangis, merindukan sosokmu yang biasanya selalu menanyakan kabar tentangku. “Lagi di mana?”, “Sama siapa?”, “Udah makan? Makanlah sayang, nanti sakit loh.” Dan sebagainya. Tiada lagi lelaki cerewet yang selalu mengingatkan ini itu padaku. Rasanya kosong. Tiada lagi, semenjak seminggu lalu. Sejak sudah ada dia yang mengisimu di sana—menggantikan aku.

Ada yang hilang. Ada yang kurang.

Aku kecewa. Melempar tubuh ke bantal yang berserakan di atas kasur. Terhentak keras sampai terasa sakit. Lalu teman sekamarku, Blaissa, menatapku. Dengan pandangan iba ia mendatangiku, lalu bertanya “Kenapa?” Ku adukan padanya torehan luka panjang—dan dalam—yang sedang mendiami lubuk hati. Kuutarakan perih yang menggelayut manja pada luka-luka di sana. Sambil memukuli bantal, menendang apa saja di dekatku. Depresi. Ia dengan tenang duduk dan mendengarkan. Melihatku menangis tanpa menyuruhku untuk berhenti. Tiap patah kata yang keluar dari bibirku disimak dalam. Ketika tangisku kian mengeras, diulurnya tangannya, mengelus kepalaku, tepat di ubun-ubunnya—tempat yang paling aku suka ketika kau mendaratkan cium. Ah, semua selalu membawa jalan pikirku kepadamu.

“Aku rindu, Ca. Sama Tiel”

“Iya aku tahu..”

“Ca, aku sayang dia. Sangat sayang dia.. Kenapa dia tega sama aku, Ca?” Lanjutku sesenggukan.

“Iya aku tahu. Aku tahu.” Dielusnya punggung dan kepalaku, sampai aku tenang. Sampai tangisku mereda. “Semoga Tuhan mengetuk hatinya ya, Bel”

“AMIN!” Aku menyerukan AMIN sekuatnya. Agar jelas ditangkap Tuhan tepat di telinga-Nya.

Namun tetap saja sakit dan sepinya hati tak mampu ditandinginya. Kekosongan ini menagih sosokmu menggenapinya. Setega ini pembalasan kamu atas rasa dan percayaku, sejauh ini perubahan yang ditimbulkan waktu pada sosokmu. Apa artinya kita bagimu?

Aku menangis, kencang. Harapan yang kau tumbuhkan hanya bayangan, bukan nyata.

Mungkin langkah terlalu ceroboh. Dengan gampangnya menitip hati—yang telah patah berkali-kali—padamu—orang yang salah. Seharusnya dari awal ku dengarkan saja kata mereka untuk tidak percaya.

Seharusnya..

I should have seen it coming
I should have read the signs

Anyway, I guess it’s over

Can’t believe that I’m a fool again

I thought this love would never end

How was I to know, you never told me



ditulis @renimelynda dalam http://renimelynda.tumblr.com | Fool Again

No comments:

Post a Comment