Sunday, September 30, 2012

Sebuah Senja Pudar

Bagian Tertinggal: “Sebuah Senja Pudar”

Kepada langit senja hari ini, aku kini ingin sekedar berjalan mundur, aku ingin memeluk kenangan, aku ingin sekejap membiarkan senja ini abadi, aku ingin luruh bersama rindu, aku ingin tenggelam dalam waktu, aku ingin mengingatmu…

Langit, sungguh jutaan kata yang telah menetes, semua malam yang telah terlalui, segala rindu yang memanggil, semua kenangan, asa, dan mimpi yang pernah ada dalam do’a kita, semua perasaan, semua langit, semua bintang yang pernah ada menemani, dan seribu hari perjalanan panjang yang takkan pernah mampu kembali. Izinkan kini, aku memanggil semua itu kembali ke alam pikiranku.

Setelah reuni singkat kita, langit, tahukah seberapa sering namamu kusisipkan dalam bait do’a-do’a itu? Seberapa sering aku membenci malam ketika yang mampu hadir hanya semua rindu yang terus memanggil namamu. Seberapa sering tetes itu jatuh dan luruh ke pangkuan telapak tanganku, seberapa sering aku menyusun syair-syair tentangmu, hanya untuk sekedar membuatku sadar bahwa semua itu pernah ada?

Semenjak hari kepergianmu, yang tersisa hanyalah hari-hari sepi. Kau hanya pernah hadir, meminta satu kesempatan lagi, memintaku untuk menunggu. Tak tahukah kau bahwa aku hanya mampu menanti dengan sabar dan menunggu dengan patuh? Bersama bersemi dalam semu, sulit bagiku tuk tahu dimana aku menapak, sulit bagiku tuk bedakan yang nyata dan yang hanya mimpi. Tapi kau tahu? Aku hanya disini, bersabar.

Dan kujalani hari-hari semu itu, bersama penantian panjang, bersama sesuatu yang tak pernah pasti. Kau tetap menyuruhku untuk terus bersabar. Sampai kapan? Bukan, bukan kesabaran ini yang kutanya… Tapi sampai kapankah aku… Kau tawan aku dalam semu janjimu?

Aku berjalan dan mencari, aku berbincang dan mencoba mendengar, sulit untukku bertahan ketika dunia tidak mengiyakanku. Sulit untukku terus berlari mengejarmu ketika dunia menyuruhku untuk diam dan berhenti. Sulit untukku disini, hanya disini menunggumu, ketika dunia terus bergerak. Sulit untukku, ketika mereka berkata tidak.

Kau tahu? Di hari itu merupakan kesempatan terakhir yang mereka beri untukku. Untuk sekedar meluruhkan ucapan ulang tahun yang sudah sekian lama tertahan dan tak pernah pecah. Kutunggu lagi hadirmu di hari itu, namun kau bahkan tak pernah hadir, tak pernah tahu, tak pernah sedikit pun tahu bahwa aku menunggu. Hingga waktu itu tiba, dan kesempatan terakhirku berakhir, kau hanya tak pernah ada disana untuk sekedar membuat apa yang telah tertahan jatuh, tumpah dan luruh.

Hingga akhirnya dalam sebuah senja pudar, kutatap langit senja itu. Perlahan kulepas semua janji-janji itu, membiarkannya mengudara bersama waktu. Kulepas semua semu yang membayangiku, kulepas semua sakit yang hidup disini. Kulepas isak yang terus menyesakkan dada. Kulepas semua tetes-tetes itu dari pangkuan mata. Kulepas dan kuakhiri penantian panjangku.

Adakah selamanya benar hidup dalam langit senja yang sekejap?
Karena masih siluet yang kudapat
Karena matahari masih memberi bayang kepada apa yang menapak
Karena langkah masih tertahan
Dan mata tak lekas pergi menatap senja
Mungkin ini masalah gema
Yang masih berteriak dari kedalaman jurang
Dasarnya masih memanggil
Lalu apa?
Aku iri, iri kepada matahari
Yang selalu memiliki kesempatan untuk sekedar mengucap selamat tinggal
Sebelum terang tenggelam dalam gelap
Sebelum ia habis tertelan ufuk barat
Tapi, mengapa kita tak punya?
Barang sebentar, barang sedikit
Dan barang sedetik tuk mengucap kalimat itu
Untuk sekedar saling menatap dan melambai tangan
Dan mengucap ucapan perpisahan itu
Mengapa kita tak punya kesempatan untuk membuat sebuah akhir yang lebih indah?
Bukan menunduk dan saling berlalu
Meninggalkan punggung yang hanya berhadapan dengan punggung

Adakah benar senja yang sekejap itu selamanya?
Aku berdiri di ambang senja dan malam
Menunggu waktu yang memutar warna langit itu
Aku selalu merasa masih di dalam senja
Aku masih menanti kesempatan untuk mengubah akhir dari sebuah hari
Aku masih menanti dan terus menanti
Ketika pekat malam perlahan menghapus siluetmu
Biar malam suguhkanku kenyataan
Bahwa senja hanya bayang
Dan malam nyata merengkuhku dalam realita


Bersama senja yang kian memudar, kubiarkan aku luruh dan lebur. Kau yang beri aku sayap itu ketika ku terjatuh, kau yang membuatku berani tuk sekedar bermimpi kembali, kau yang berjalan bersamaku dalam seribu malam panjang itu, kau yang perlahan pergi meninggalkanku, kau yang beri aku manis pahit itu. Kini kaulah yang membuatku utuh, bersama keputusan yang kuambil, kubiarkan semua itu, bersama senja ini, perlahan memudar… Tentangmu, tentangku, tentang kita yang takkan mungkin pernah kembali.

Berbahagialah bersamanya, langit. Jadikan ia rumahmu. Pulanglah kepadanya. Jangan kau beri janji semu lagi. Melangkahlah, mendakilah, kuyakin semesta akan tetap mengiringi dan akan merengkuhmu. Di jalanku, kau kini hanya akan tinggal disini, di dalam do’a.

Dan kau kini mampu hadir
Menghabiskan hari, menamatkan semuanya
Membuat hari yang terisi utuh penuh
Dan kau mampu hadir
Tanpa harus kau lihat aku yang masih menatap siluet itu
Walau ia telah habis bersama senja yang juga telah pergi




“Selamat tinggal…”

Dan kuucap selamat tinggal itu dengan lirih. Ucapan perpisahan yang tak pernah luruh dari mulut kita. Dalam senja yang sudah utuh pudar, dan malam perlahan tiba. Kini sebuah perjalanan baru itu dimulai, perjalananku mencari rumah untukku pulang. Setapak demi setapak, kutinggalkan juga tempat itu. Tanpa menoleh kembali kesana.

    Pernah ku simpan jauh rasa ini
    Berdua jalani cerita
    Kau ciptakan mimpiku
    Jujurku hanya sesalkan diriku

    Kau tinggalkan mimpiku
    Namun ku hanya sesalkan diriku

    Ku harus melepaskanmu
    Melupakan senyummu
    Semua tentangmu tentangku
    Hanya harap
    Jauh ku jauh mimpiku, dengan inginku


ditulis @njriyani dalam http://raindropstales.wordpress.com | Jauh Mimpiku

No comments:

Post a Comment