Friday, September 28, 2012

Terlambat

Bagas

Aku hanya sanggup menatapnya dari jauh. Seorang wanita cantik yang biasa kupanggil Diva, walaupun itu bukan nama yang sebenarnya. Aku memanggilnya demikian karena begitulah adanya dia, diva di hatiku. Renanda Datu Priambodo. Kalian bisa memanggilnya Nanda. Tapi jangan Diva, karena hanya aku satu-satunya yang boleh memanggilnya demikian.

Aku telah memutuskan menjatuhkan hati pada wanita itu, tepat saat pertama kali kami bertabrakan sebelum kuliah Hukum Perdata. Ini cinta pada pandangan pertama. Aku yang pemalu, hanya sanggup menanyakan namanya pada sahabatku. Sekalipun temanku berbaik hati dengan memberikan nomor telepon selulernya, aku sungguh tak tahu harus memulai dari mana. Apa mungkin seorang Nanda beritikad untuk setidaknya mengarahkan pandangannya kepadaku, laki-laki kutu buku berkacamata minus empat dengan perpustakaan sebagai tempat favorit? Aku bersaing dengan hampir sebagian laki-laki angkatanku. Aku merasa tidak punya apa-apa untuk membahagiakan dia.


Nanda

“Non, ada kiriman mawar. Baru dikirim kurir. Saya taruh di meja sini ya, non”

“Iya, taruh disitu aja. Makasih ya, Bik Nah”

Aku bangkit dari meja rias dan melangkah malas ke meja tempat Bik Nah menaruh sebuket mawar berwarna merah darah, bunga favoritku. Aku melirik sekilas nama pengirimnya, Ryo. Ah, cowok flamboyan itu. Masih belum bosan juga melakukan hal yang itu-itu lagi. Ryo tidak jauh berbeda dengan Bimo, Didit, Bisma juga Angga! Mereka apa enggak ada hal lain yang bisa dikerjakan kecuali kirim bunga atau cokelat, gonta-ganti mobil ke kampus juga ajakan dinner setiap malam? Apa mereka tidak bisa, duduk manis dan belajar demi nilai indeks prestasi yang tinggi? Huhh, gaya hidup selangit tapi masalah ilmu, nol besar.

Tidak bisa kah mereka meniru sikap Bagas? Ah, Bagas…mengingat namanya saja, sudah bisa membuatku tersenyum. Laki-laki pemalu berkacamata tebal, yang selalu duduk di bangku perkuliahan deretan paling depan, dan perpustakaan sebagai benteng persembunyiannya yang paling aman. Indeks prestasi semesternya tidak pernah dibawah tiga koma lima, itu yang aku dengar dari sahabatku, Dyga.

Kami bertemu saat sama-sama mengambil Hukum Perdata. Aku ingat, waktu itu aku terburu-buru keluar kelas karena harus segera mengambil buku catatan yang tertinggal di mobil. Kami bertabrakan karena dia terburu-buru masuk kelas. Karena kulihat tidak terjadi hal yang membuat dia luka, aku segera lari dan hanya sempat berucap maaf. Dia tidak tahu, mulai saat itu aku sudah menasbihkan diri untuk jatuh cinta padanya. Andai jika bukan adat Timur yang menganggap perempuan lebh dahulu menyatakan perasaannya sebagai hal yang tidak pantas, mungkin tidak lama setelah Dyga menceritakan segala sesuatu tentang Bagas, aku sudah dengan bulat hati menyatakan apa yang aku rasa padanya


One day I’ll finally get the nerve to say
How I feel, I hide away all the pain
I wish you’d stay


Bagas

Hari ini, aku mengumpulkan seluruh nyali untuk menyatakan perasaanku. Apapun yang akan terjadi, terjadilah. Aku harap, pernyataanku tidak menjadi sesuatu yang mengejutkannya. Tepat ketika aku sudah siap untuk berangkat ke kampus, mendadak Adam Levine menyanyikan Payphone dengan nyaring di ponselku. Kutengok sekilas, telepon dari Abi, sahabatku.

“Ya, Bi? Ini aku udah mau berangkat ke kampus. Kita ketemu lima belas menit lagi ya”, sahutku.

“Lupain ke kampus. Mending sekarang kamu ke ICU rumah sakit dr. Ramelan. Nanda kecelakaan, tabrakan beruntun. Mobilnya ditabrak truk dari belakang dan dia nabrak mobil yang ada di depannya”, teriak Abi dengan panik.

Mendadak, duniaku serasa runtuh…


Nanda

Pagi ini cerah. Hujan semalam seakan memberi kesegaran juga semangat baru bagi alam. Pun bagiku. Hari ini, aku sudah tidak peduli lagi dengan adat Timur. Aku sudah tidak sanggup menahan rasa lebih lama. Nanti, di kelas Agraria, aku akan duduk di deretan depan, tepat di sebelah Bagas dan memulai percakapan tepat saat Pak Urip selesai memberi materi.

Aku menyetir mobil kesayanganku sambil terus membulatkan hati atas keputusan yang sudah aku buat. Terlalu serius aku memikirkan Bagas, sampai tidak memperhatikan kalau laju truk di belakangku mulai tidak beres sejak tiga ratus meter sebelumnya. Aku baru sadar ketika semuanya tiba-tiba gelap. Kaca depan mobilku pecah dan kepalaku terantuk setir. Aku terjepit. Hal terakhir yang aku ingat hanya teriakan orang-orang yang membantuku keluar dari dalam mobil.


Words come a little too late
Now you’re gone but I’m still here and
I sing this song all alone
Something’s wrong


Bagas

Katakanlah, ini hanya mimpi dari tidurku yang teramat pulas. Katakanlah, aku sedang berkelana ke dunia dongeng, dimana segala sesuatu yang terjadi di dalamnya itu tidak nyata. Katakanlah, aku hanya sedang berhalusinasi tentang keadaan yang terjadi saat ini. Tolong, siapa pun di sana…katakan bahwa ini semua tidak nyata. Di hadapanku, Nanda tergolek lemah dengan beberapa jarum infus di lengannya dan sebuah tabung oksigen untuk membantu pernafasannya. Yang aku bisa hanya berbisik lemah, “Nanda, bangun. Kamu pasti bisa, divaku…”


Nanda

Tolong beritahu aku kalau ini hanya imajinasiku. Aku melihat Bagas dari dekat dan bahkan, ah…dia menyentuh pipiku! Dia juga menggenggam lembut jemariku dan berbisik “Nanda, bangun. Kamu pasti bisa, divaku…”. Diva? Siapa itu? Panggilan sayang dari Bagas untukku kah? Panggilan yang manis...


I believe there’s a way to show you
Even when we are apart
Though the times we’re not together
You’re always in my heart


Bagas

Akhirnya, datang hari dimana aku siap menyatakan segala rasa yang sudi aku pendam selama satu setengah tahun. Apapun yang terjadi, kini aku merasa sudah lebih siap. Aku akan menemui Nanda. Aku sudah menyiapkan sebuket mawar dengan warna merah darah, bunga favoritnya.


Nanda

Hari ini aku yakin akan bertemu Bagas. Aku sudah tampil cantik dengan gaun lengan pendek berwarna krem dengan detail renda berbentuk bunga di ujung gaun. Mami berbaik hati mendandaniku sedemikian cantik. Dengan blush on warna peach dan lipstick warna fuschia, favoritku. Aku sempat melihat Mami tersenyum sambil menitikkan air mata. Mungkin Mami terharu, putri kesayangannya hari ini akhirnya berani mengambil keputusan untuk menyatakan perasannya.


Cause I can’t stop my world from crying
I’ll hold on and I’ll keep on trying


Nanda

Bagas akhirnya datang, setelah aku menunggu selama satu jam. Dia terlihat tampan dalam balutan kemeja warna putih dengan garis abu-abu secara horizontal dan celana jeans warna hitam. Dia membawakanku sebuket mawar merah darah dan segera menaruh di vas bunga yang ada di dekatku. Pasti Abi sahabatnya, yang memberitahunya apa bunga favoritku.


Bagas

Di depanku, Nanda terlihat sangat cantik dengan gaun berwarna krem. Wangi bunga bertebaran dimana-mana. Aku sudah meletakkan bunga mawar persis di vas bunga yang ada di samping peti matinya. Aku datang tepat saat acara tutup peti akan dimulai. Persis saat terakhir kali aku melihat wajahnya yang ayu, aku mendekat padanya dan berbisik lembut.

“Diva, aku mencintaimu tak peduli saat pagi datang atau ketika senja menjelang. Aku mencintaimu setiap waktu. Aku tidak bernyali lebih untuk melagukan rasa ini buatmu. Maaf, aku terlambat. You always in my heart….”

  
Off all the things that I regret
Sometimes I forget to say
I love you


 
- THE END -


*Diinspirasi dari lagu Always In My Heart - The Moffats
Ditulis oleh @vandakemala dalam http://myredstrawberry.blogspot.com

No comments:

Post a Comment