Bagas
Aku hanya sanggup menatapnya dari
jauh. Seorang wanita cantik yang biasa kupanggil Diva, walaupun itu bukan nama
yang sebenarnya. Aku memanggilnya demikian karena begitulah adanya dia, diva di
hatiku. Renanda Datu Priambodo. Kalian bisa memanggilnya Nanda. Tapi jangan
Diva, karena hanya aku satu-satunya yang boleh memanggilnya demikian.
Aku telah memutuskan menjatuhkan
hati pada wanita itu, tepat saat pertama kali kami bertabrakan sebelum kuliah
Hukum Perdata. Ini cinta pada pandangan pertama. Aku yang pemalu, hanya sanggup
menanyakan namanya pada sahabatku. Sekalipun temanku berbaik hati dengan
memberikan nomor telepon selulernya, aku sungguh tak tahu harus memulai dari
mana. Apa mungkin seorang Nanda beritikad untuk setidaknya mengarahkan
pandangannya kepadaku, laki-laki kutu buku berkacamata minus empat dengan
perpustakaan sebagai tempat favorit? Aku bersaing dengan hampir sebagian
laki-laki angkatanku. Aku merasa tidak punya apa-apa untuk membahagiakan dia.
Nanda
“Non, ada kiriman mawar. Baru
dikirim kurir. Saya taruh di meja sini ya, non”
“Iya, taruh disitu aja. Makasih ya,
Bik Nah”
Aku bangkit dari meja rias dan
melangkah malas ke meja tempat Bik Nah menaruh sebuket mawar berwarna merah
darah, bunga favoritku. Aku melirik sekilas nama pengirimnya, Ryo. Ah, cowok
flamboyan itu. Masih belum bosan juga melakukan hal yang itu-itu lagi. Ryo
tidak jauh berbeda dengan Bimo, Didit, Bisma juga Angga! Mereka apa enggak ada
hal lain yang bisa dikerjakan kecuali kirim bunga atau cokelat, gonta-ganti
mobil ke kampus juga ajakan dinner setiap malam? Apa mereka tidak bisa, duduk
manis dan belajar demi nilai indeks prestasi yang tinggi? Huhh, gaya hidup
selangit tapi masalah ilmu, nol besar.
Tidak bisa kah mereka meniru sikap
Bagas? Ah, Bagas…mengingat namanya saja, sudah bisa membuatku tersenyum.
Laki-laki pemalu berkacamata tebal, yang selalu duduk di bangku perkuliahan
deretan paling depan, dan perpustakaan sebagai benteng persembunyiannya yang
paling aman. Indeks prestasi semesternya tidak pernah dibawah tiga koma lima,
itu yang aku dengar dari sahabatku, Dyga.
Kami bertemu saat sama-sama
mengambil Hukum Perdata. Aku ingat, waktu itu aku terburu-buru keluar kelas
karena harus segera mengambil buku catatan yang tertinggal di mobil. Kami
bertabrakan karena dia terburu-buru masuk kelas. Karena kulihat tidak terjadi
hal yang membuat dia luka, aku segera lari dan hanya sempat berucap maaf. Dia
tidak tahu, mulai saat itu aku sudah menasbihkan diri untuk jatuh cinta
padanya. Andai jika bukan adat Timur yang menganggap perempuan lebh dahulu
menyatakan perasaannya sebagai hal yang tidak pantas, mungkin tidak lama
setelah Dyga menceritakan segala sesuatu tentang Bagas, aku sudah dengan bulat
hati menyatakan apa yang aku rasa padanya
One day I’ll finally get the nerve
to say
How I feel, I hide away all the pain
I wish you’d stay
Bagas
Hari ini, aku mengumpulkan seluruh
nyali untuk menyatakan perasaanku. Apapun yang akan terjadi, terjadilah. Aku harap,
pernyataanku tidak menjadi sesuatu yang mengejutkannya. Tepat ketika aku sudah
siap untuk berangkat ke kampus, mendadak Adam Levine menyanyikan Payphone
dengan nyaring di ponselku. Kutengok sekilas, telepon dari Abi, sahabatku.
“Ya, Bi? Ini aku udah mau berangkat
ke kampus. Kita ketemu lima belas menit lagi ya”, sahutku.
“Lupain ke kampus. Mending sekarang
kamu ke ICU rumah sakit dr. Ramelan. Nanda kecelakaan, tabrakan beruntun.
Mobilnya ditabrak truk dari belakang dan dia nabrak mobil yang ada di
depannya”, teriak Abi dengan panik.
Mendadak, duniaku serasa runtuh…
Nanda
Pagi ini cerah. Hujan semalam seakan
memberi kesegaran juga semangat baru bagi alam. Pun bagiku. Hari ini, aku sudah
tidak peduli lagi dengan adat Timur. Aku sudah tidak sanggup menahan rasa lebih
lama. Nanti, di kelas Agraria, aku akan duduk di deretan depan, tepat di
sebelah Bagas dan memulai percakapan tepat saat Pak Urip selesai memberi
materi.
Aku menyetir mobil kesayanganku
sambil terus membulatkan hati atas keputusan yang sudah aku buat. Terlalu
serius aku memikirkan Bagas, sampai tidak memperhatikan kalau laju truk di
belakangku mulai tidak beres sejak tiga ratus meter sebelumnya. Aku baru sadar
ketika semuanya tiba-tiba gelap. Kaca depan mobilku pecah dan kepalaku terantuk
setir. Aku terjepit. Hal terakhir yang aku ingat hanya teriakan orang-orang
yang membantuku keluar dari dalam mobil.
Words come a little too late
Now you’re gone but I’m still here
and
I sing this song all alone
Something’s wrong
Bagas
Katakanlah, ini hanya mimpi dari
tidurku yang teramat pulas. Katakanlah, aku sedang berkelana ke dunia dongeng,
dimana segala sesuatu yang terjadi di dalamnya itu tidak nyata. Katakanlah, aku
hanya sedang berhalusinasi tentang keadaan yang terjadi saat ini. Tolong, siapa
pun di sana…katakan bahwa ini semua tidak nyata. Di hadapanku, Nanda tergolek
lemah dengan beberapa jarum infus di lengannya dan sebuah tabung oksigen untuk
membantu pernafasannya. Yang aku bisa hanya berbisik lemah, “Nanda, bangun.
Kamu pasti bisa, divaku…”
Nanda
Tolong beritahu aku kalau ini hanya
imajinasiku. Aku melihat Bagas dari dekat dan bahkan, ah…dia menyentuh pipiku!
Dia juga menggenggam lembut jemariku dan berbisik “Nanda, bangun. Kamu pasti
bisa, divaku…”. Diva? Siapa itu? Panggilan sayang dari Bagas untukku kah?
Panggilan yang manis...
I believe there’s a way to show you
Even when we are apart
Though the times we’re not together
You’re always in my heart
Bagas
Akhirnya, datang hari dimana aku siap
menyatakan segala rasa yang sudi aku pendam selama satu setengah tahun. Apapun
yang terjadi, kini aku merasa sudah lebih siap. Aku akan menemui Nanda. Aku
sudah menyiapkan sebuket mawar dengan warna merah darah, bunga favoritnya.
Nanda
Hari ini aku yakin akan bertemu
Bagas. Aku sudah tampil cantik dengan gaun lengan pendek berwarna krem dengan
detail renda berbentuk bunga di ujung gaun. Mami berbaik hati mendandaniku
sedemikian cantik. Dengan blush on warna peach dan lipstick warna fuschia, favoritku.
Aku sempat melihat Mami tersenyum sambil menitikkan air mata. Mungkin Mami
terharu, putri kesayangannya hari ini akhirnya berani mengambil keputusan untuk
menyatakan perasannya.
Cause I can’t stop my world from
crying
I’ll hold on and I’ll keep on trying
Nanda
Bagas akhirnya datang, setelah aku
menunggu selama satu jam. Dia terlihat tampan dalam balutan kemeja warna putih
dengan garis abu-abu secara horizontal dan celana jeans warna hitam. Dia
membawakanku sebuket mawar merah darah dan segera menaruh di vas bunga yang ada
di dekatku. Pasti Abi sahabatnya, yang memberitahunya apa bunga favoritku.
Bagas
Di depanku, Nanda terlihat sangat
cantik dengan gaun berwarna krem. Wangi bunga bertebaran dimana-mana. Aku sudah
meletakkan bunga mawar persis di vas bunga yang ada di samping peti matinya.
Aku datang tepat saat acara tutup peti akan dimulai. Persis saat terakhir kali
aku melihat wajahnya yang ayu, aku mendekat padanya dan berbisik lembut.
“Diva, aku mencintaimu tak peduli saat
pagi datang atau ketika senja menjelang. Aku mencintaimu setiap waktu. Aku
tidak bernyali lebih untuk melagukan rasa ini buatmu. Maaf, aku terlambat. You
always in my heart….”
Off all the things that I regret
Sometimes I forget to say
I love you
- THE END
-
*Diinspirasi dari lagu Always In My Heart - The Moffats
Ditulis oleh @vandakemala dalam http://myredstrawberry.blogspot.com
No comments:
Post a Comment