Sunday, September 30, 2012

Menunggu Cerahmu

Hari ini adalah pemakaman sahabat saya yang meninggal karena sakit yang sudah cukup lama, sekitar empat puluh enam hari dia menjalani perawatan di Rumah Sakit. Belakangan sebelum dia meninggal kami memang sudah pasrah dengan keadaannya yang tak kunjung membaik, segala macam tindakan sudah di upayakan untuk kesembuhannya tapi dokter sudah menyerah sampai akhirnya kemarin tepat dihari kelahirannya dia meninggal dunia. Suasana kehilangan begitu terasa, keluarga, sahabat, kerabat kerja, dan kekasih sahabat saya mengantarkannya hingga selesai pemakaman. Setelah pemakaman selesai adik dari sahabat saya memberikan secarik surat ke saya.

“Mas, ini titipan dari kakak. Aku ngga tau apa isinya.”

“Makasih, dek. Kamu jangan sedih terus, masih ada mas yang jadi kakak kamu.”

“iya, makasih mas.”


Diantara semua sahabatnya memang saya yang paling dekat dengan dia, mungkin karena saya yang paling lama mengenal dan sangat dekat dengan keluarganya. Setiba dirumah saya membuka isi amplop surat tersebut, ternyata surat dan dan sepasang cincin.

“Gue sadar kalo umur gue ngga akan lama, itu kenapa gue tulis surat ini buat lo. Gue mau minta tolong sama lo untuk jagain adik gue. Setelah bokap dan gue ngga ada, cuma lo yang gue percaya dan bisa jaga dia. Gue minta tolong. Maaf sebelumnya, gue cuma bisa ngebebanin lo. Dan gue juga titip cincin ini.”


Entah apa arti isi bagian terakhir surat itu, saya memberi tahu apa isi surat itu kepada Clara adiknya Linggar dan Kinan kekasihnya. Saya terus memikirkan maksudnya yang menitipkan cincin ini kepada saya. Setidaknya seminggu sekali saya dan Clara mengunjungi makamnya untuk sekedar berdoa dan membersihkan makamnya, kadang saya datang bertiga dengan clara dan Kinan, atau saya datang sendiri dan mendapati Kinan sendang menangis dihadapan gundukan tanah berisi jasad kekasihnya itu.

“Aku tahu kamu masih belum bisa terima keadaan ini, tapi jangan terus bersedih.” Ujarku.

“Aku menangis bukan karena belum bisa terima keadaan, tapi aku cemburu karena Linggar sedang ditemani bidadari surga yang pasti lebih cantik dari aku.” Jawabnya sambil tersenyum dan menghapus air matanya.

“Yang aku tahu Linggar sangat mencintaimu, kamulah kebahagiaannya”


Setelah selesai berdoa dan berbicang dihadapan Linggar, saya mengantar Kinan pulang.

Saya dan kinan semakin dekat karena sering ke makam bersama dan kadang pergi untuk sekedar makan sampai akhirnya entah mengapa saya merasa sayang, tapi apakah ini sayang karena memang saya menyukainya atau hanya iba karena melihat perempuan yang ditinggal oleh kekasih yang dicintainya? Entahlah, yang jelas kali ini saya merasa sayang dengannya dan menikmati kebersamaan kami meski saya tahu dia masih sangat mencintai Linggar karena dia masih suka menceritakan kenangan-kenangan bersamanya sambil menangis dan masih tidak terima dengan kepergian kekasihnya. Saya mencoba menghapus kesedihan di matanya tapi belum bisa meski sudah hampir delapan bulan setelah kepergian Linggar. Kedekatan kita sudah bukan hanya sekedar sahabat, setiap hari semakin dekat tapi apakah dia hanya merasa saya seorang sahabat atau kakak yang menjaganya dan saya semakin hari sepertinya semakin yakin bahwa ini bukan sekedar perasaan iba.

Suatu ketika saya mengajak Kinan untuk makan malam dimana tempat dia dan Linggar biasa makan.

“Kenapa kamu ajak aku kesini? Kamu tahu aku suka kesini sama Linggar?” Tanyanya.

“Aku tahu semua tentang kalian. Suka pergi kemana, makanan kesukaanmu, lagu. semuanya. Linggar yang menceritakan semua hal itu.”

“Lalu apa maksudnya kamu ngajak aku kesini?”

“Di meja ini dulu Linggar pernah menyatakan cintanya denganmu, bukan?

“Ya, dan aku heran kenapa kamu memilih meja ini. Aku semakin bingung.”


Aku mengeluarkan cincin titipan Linggar yang memang sudah aku persiapkan untuk aku berikan kepada Kinan.

“Awalnya aku tidak tahu apa maksud Linggar menitipkan cincin ini, tapi mungkin ini maksudnya, agar kita bersama dan belakangan ini aku mulai mencintaimu. Aku tahu kamu masih mencintai Linggar dan belum bisa terima semuanya.”

“Memang, aku belum bisa terima semua ini meski sudah cukup lama. Dan memang Linggar juga sempat memintaku untuk bersamamu sebelum kepergiannya, tapi..”


Dia tidak meneruskan pembicaraannya, entah apa yang tak mau atau tak mampu ia ucapkan.

“Selama ini aku sudah coba buat kamu supaya nggak larut dalam kesedihan, tapi aku ngga mampu.”

“Aku tahu semua usahamu buat aku bahagia lagi, tapi lagi-lagi aku selalu gagal buat ngerasa bahagia tanpa Linggar.”

“Kinan, aku ngga minta kamu buat ngelupain Linggar, tapi tolong jalanin hidup kamu seperti biasa dengan kebahagiaan, bukan terus-menerus kaya gini.”

“Maaf, aku belum bisa terima maksud kamu. Sekarang antar aku pulang.”


Saya mengantar Kinan pulang, diperjalanan kita hanya diam tanpa sepatah katapun, hanya lagu dari tape berisi CD di mobil saya yang mengisi keheningan. Tiba-tiba sebuah lagu berputar yang dan di pertengahan liriknya membuat Kinan menangis.

Dawai hatimu tak lagi merdu tuk suarakan yang telah terjadi

Dan langit pun sama saja mendukung perih yang ada,

Hingga mungkin aku tak berarti meski temanimu setiap hari.

Bagaimana mungin kamu tak akan segera menangis

Sepertimu lah langit kini tertunduk pilu dalam mendung.

                                    ~ The Vuje – Mendung ~

Sekitar lima ratus meter sebelum tiba dirumahnya, Kinan mengatakan hal yang cukup mengejutkan saya.

“Aku minta maaf, kamu sudah terlalu baik selama ini. Sejujurnya akupun mulai mencintaimu, tapi apa mungkin aku mencintai dua orang yang saling bersahabat?”

“Aku ngga pernah memaksa kamu untuk mencintai aku atau Linggar, cintailah kami.”

“Aku masih butuh waktu, tapi entah sampai kapan.”

“Aku juga minta maaf karena buat kamu semakin tertekan. Jangan terlalu dipikirin, setidaknya kita sudah sama-sama jujur. Hanya masalah waktu yang sama sekali tidak tepat.”

“Terima kasih untuk semua perlakuan baik kamu ke aku.”

“Sama-sama, Kinan. Aku pun berterima kasih sama kamu.”


Setiba dirumahnya saya tidak turun dari mobil, dan langsung pamit pulang.

Hari ini tepat setahun kepergian Linggar. Saya menghubungi Kinan untuk mengajaknya ke makam tapi tidak satupun nomor ponselnya yang dapat dihubungi, sampai akhirnya saya hanya pergi bersama Clara dan ibunya. Sepertinya Kinan sudah lebih dulu kesini, karena ada taburan bunga yang masih segar di makam, dan setelah malam itu saya dan Kinan mulai jarang bertemu, hanya sesekali saja berpapasan di makam Linggar. Mengenai cincin pemberian Linggar, saya masih menyimpannya sampai Kinan siap memakainya meski bukan dengan saya.

ditulis @penjahitHuruf dalam http://penjahithuruf.wordpress.com | Mendung

No comments:

Post a Comment