Saturday, September 29, 2012

Elegi Pecundang Kepalsuan

Diri ini memang perlu menghukummu. Dari segala jerat asa yang kau hujam di raga. Dari segala belenggu lara yang kamu terpa lewat nyawa. Aku sama sekali tidak suka bermain kata. Mereka memberi banyak makna di dalamnya. Termasuk yang berkaitan dengan masa. Tapi kamu? Entah karena kamu memang piawai bermain di tengah kemaknaan, tidak terjun langsung ke tumpukan kata itu sendiri. Sehingga sekali aku meredam lara, selamanya aku akan menganggap diriku terlunta-lunta. 

***

                “Ada apa?” tanyaku sambil tetap membaca buku saat Sherin masuk ke kamar.

                “Nothing,” jawabnya sambil nyengir.

                “Kamu tahu? Setiap orang itu peka sama namanya sendiri. Dan tadi kamu menyebut Anir, namaku, saat sedang berbincang di telepon.”

                Sherin yang sadar tidak bisa mengelak lagi, langsung duduk di sebelahku. Ia mengambil buku yang aku baca karena aku sama sekali tidak beralih dari sana.

                “Kecelakaan waktu itu tidak seharusnya menjadi musuhmu, Nir. Jangan bilang aku tidak mengerti. Aku pun tahu bagaimana sakitnya. Tapi kamu masih muda. Segala peluang terbuka lebar untukmu.”

                Aku tersenyum miris. “Kalau kecelakaan tempo lalu merenggut ginjalku, menyebabkan kerusakan pada kaki atau tanganku, aku  pasti akan sangat bersyukur. Sekarang pun aku sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan melihat dunia, tapi jangan salahkan aku jika aku hidup bagai mayat karena kecelakaan kemarin merenggut rahimku.”

                Tangan Sherin terangkat untuk membelai halus kepalaku, adik perempuan satu-satunya beliau.

                “Masih banyak yang bisa kamu lakukan di usiamu yang masih dua puluh ini, Anir. Keadaan kamu yang seperti ini pun jauh lebih terhormat dari pemuda yang terjerat seks bebas.”

                Aku menarik napas, menahan air mata yang sekali waktu bisa saja keluar dari pesembunyian.

                “Aku ingin jadi wanita seutuhnya, Kak. Dan rahim adalah satu-satunya organ yang bisa mewujudkan itu. Aku ingin memberikan keturunan untuk keluarga. Dan sekarang rahimku diangkat, tidak berfungsi sama sekali akibat kecelakaan itu.”

                “You are glowing, Anir. Banyak hal yang dapat kamu lakukan dan itu bisa membuatmu menjadi wanita seutuhnya. Buktikan pada dunia kalau kamu tidak aka bisa dipandang sebelah mata.”

                Awalnya aku merasa perkataan Sherin hanya pantas dibalas dengan kata nonsense. Namun seiring berjalannya waktu, otakku membentuk pola pikir yang tidak statis, aku merasa harus bergerak dan melakukan sesuatu. Sehingga aku selalu menerima segala ajakan dan tawaran Sherin yang frekuensinya bahkan jauh lebih banyak dari frekuensi makan dalam sehari.

                Suatu sore, Sherin mengajakku ke sebuah restoran yang menyajikan berbagai macam steak dengan pasta sebagai pelengkap. Aku tercenung ketika pintu restoran berderik dan memunculkan sosok adam yang langsung melempar senyum ke arah kami, menghampiri meja kami.

                “Hei, good evening, Ladies!” serunya menyapa kami.

                Sherin langsung membalas senyumnya dengan hangat. “Good evening, Mr. Ardian. Don’t you realize how rude you are because made us have to wait for twenty minutes?”
                “Aku akan menjawabnya setelah kamu memperkenalkanku dengan gadis mungil di sebelahmu,” katanya sambil tersenyum lebar padaku yang seperti anak kecil mengumpat pada induknya karena aku benar-benar berhimpit dengan Sherin.

                “Dear sissy, please introduce a friend of mine in college, Ardian,” ucap Sherin yang terlihat begitu antusias.

                Kesan pertamaku? Jelas dia adalah sosok yang tidak peduli dengan siapa dia berhadapan asalkan dia bisa menjadi diri sendiri, asalkan dia leluasa untuk membuat orang sekitarnya benar-benar memasang mata yang hanya tertuju padanya.

                “Jadi, psikologi itu mimpi atau cita-cita?” tanya dia di sela perbincangan.

                “The differences?” tanyaku keheranan.

                “Kalau mimpi, murni dari keinginan diri kita sendiri. Kalau cita-cita, mungkin munculnya  dipengaruhi oleh orang lain,” jelasnya dengan yakin.

                Aku tersenyum kikuk. Teringat jelas alasanku mengapa kuliah mengambil jurusan Psikologi.

                “Dari dulu, aku suka anak-anak. Aku suka melihat mereka tumbuh berkembang, dan lama kelamaan tidak puas dengan melihat saja. Aku ingin meneliti, menganalisis, dan wadah yang paling mendekati dengan itu adalah jurusan Psikologi. Jadi, mungkin Kakak bisa simpulkan sendiri,” jelasku yang masih berusaha bersikap wajar walau sesungguhnya aku benar-benar ingin menghilang ke sudut mana pun.

                Sejak itu, Ardian menjadi partner dari segala ketidakmungkinan bagiku. Aku berani melangkah sejauh ini karena ia selalu menuntunku untuk bersahabat dengan gelap, untuk berjabat tangan dengan takdir, untuk bertahan ketika menyesap segala kepahitan.

                Dan aku tak berpikir dua kali untuk berkata ‘Ya’ ketika Ardian melakukan hal romantis yang klasik, memberiku sebuah lingkaran untuk dipakai di jari manisku dan memintaku menjadi teman hidupnya untuk selamanya. Aku jelas tidak mungkin membiarkan Ardian menikahiku dengan keadaanku yang menyedihkan ini. Aku hanya tergugu ketika ia memberikan sebuah pernyataan yang membuka segala pikiranku ke segala arah peluang dan kesempatan.

                “Aku janji akan membuatmu menjadi wanita seutuhnya dengan caraku. Aku menikahimu, bukan untuk mendapatkan anak, bukan untuk memenuhi keinginan orang-orang terdekat kita yang menuntut ini itu, tapi untukku sendiri, karena aku ingin kamu.”

                Tak perlu dibayangkan betapa bahagianya keluargaku melihat perkembangan hubunganku dengan Ardian, termasuk Sherin. Ia bersikukuh untuk memenuhi segala kebutuhan pernikahan kami. Aku dibuatnya lelah karena terus dilibatkan ke berbagai hal, mulai dari fitting baju, design pelaminan dan konsep pernikahan, juga katering. Hingga dua hari sebelum pernikahan, sehabis mengambil baju yang sudah selesai dirancang, kami memutuskan untuk melepas penat di sebuah restoran yang menyajikan chinese food. Ketika Sherin masih berkutat dengan pramusaji untuk memesan makanan, perhatianku teralihkan ke ponselnya yang bergetar dan memunculkan nama kekasihku di layarnya. Refleks, aku mengambil ponselnya sebelum ia menyadari ada pesan masuk. Aku termanggu membaca barisan kata yang membuatku langsung berhenti berpikir.

                Bisa ketemu di tempat biasa? Aku memang tidak boleh bertemu Arin, tapi aku tidak dilarang untuk bertemu kakaknya. Come at six, please?

                Aku buru-buru meletakkan ponsel itu kembali, mengenyahkan segala spekulasi yang mulai bertebaran di pikiranku. Sherin tidak menunjukkan gelagat apa-apa ketika menekuri ponselnya. Aku yang tadinya ingin beristirahat ketika sampai rumah, langsung buru-buru menyambar tas selempang kecil dan mengikuti Sherin saat ia pergi lagi. Benar saja, Ardian sudah menunggu di tempat yang baru pertama kali aku kunjungi, sebuah taman kecil di suatu perumahan yang sepi dan sunyi. Raut wajah Ardian yang biasanya meneduhkan dan menenangkan kali ini terlihat sayu, bahkan sarat kepedihan.

                “Ada apa, Ar?” tanya Sherin dengan nada dingin.

                Aku lupa bagaimana caranya bernapas ketika Ardian menarik Sherin ke dalam pelukannya. Mungkin Sherin merasa remuk akibat dari kuatnya dekapan itu.

                “Aku menyerah, Sher. Aku tidak sanggup menjalankan pernikahan ini. Aku tidak menyangka kamu akan sejauh ini melangkah. Tolong, jangan hukum aku lagi, Sher. Tolong.”

                Dalam diam jiwaku, telah terluka memilikimu.

                Karena ku takkan bisa, tuk selamanya menjadi cintamu.


                Sherin dengan tegas langsung melepaskan pelukannya. “Jangan lemah, Ar!”

                “Siapa yang lemah? Aku atau kamu? Memang aku tak mengerti kalau kamu masih memancarkan luka setiap kali melihatku dengan adikmu? Lagipula, orang tua mana, Sher, yang ingin mempunyai menantu yang tidak bisa memberikan keturunan?”

                Aku menutup mulutku yang menganga, juga untuk mencegah terdengarnya isakan yang mulai menyesakkan dadaku.

                “Luka itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan luka yang menempa adikku.”

                “Berarti kamu sama sekali tidak mengindahkan kehadiranku, iya? You think I’m what, Sher? A baby rag doll, hah?”

                “Kamu bertahan sejauh ini karena kamu akhirnya jatuh cinta pada adikku, kan? Kalau tidak, seharusnya kamu menyerah dari dulu.”

                Ardian tertawa pilu. “Adikmu memang menyenangkan, Sher, tapi dia bukan kamu. Aku bertahan karena aku tahu kamu juga pasti bertahan untuk aku. Aku selalu ingin memenuhi segala janjiku padamu, untuk mengeluarkan adikmu dari belenggu keputusasaan.”

                “Yang aku inginkan hanya sebatas itu, tidak sampai sejauh ini, ketika adikku benar-benar menyandarkan hidupnya padamu, mempercayakan hatinya untukmu. Seharusnya kamu menolak habis-habisan saat aku menyuruhmu menikahi adikku.”

                “Terus saja lihat dari sisi pandangmu, Sher! Terus saja kamu tenggelam dalam egomu!”

                Terdengar isakan lain yang bersumber dari Sherin. Entah itu air mata sungguhan atau palsu.

                “Aku pun tersiksa, Ar. Aku tidak tahu harus lari ke mana lagi. Andai Anir bukan adikku, aku akan benar-benar menyuruhmu berhenti, aku akan benar-benar mengakhiri ini semua. Tapi tidak karena pada nyatanya ia adikku satu-satunya, binar mata bahagianya karenamu memberiku kekuatan tersendiri, Ar. Aku in—“

                “Akhiri saja, Kak!” seruku pada akhirnya karena terlalu muak jika harus mendengar kelanjutan dari percakapan mereka.

                Jelas, ekspresi mereka seperti orang terkena serangan jantung ketika melihatku. Ardian langsung menghampiriku. Aku langsung memberikan isyarat pada mereka untuk diam ketika mereka sama-sama membuka mulut untuk beralibi.

                “Kalau pada akhirnya kamu ingin menunjukkan padaku kalau kamu ini pecundang, kenapa repot-repot merangkai berbagai janji yang memabukkan, Ar? Dan Kak Sherin, kalau pada akhirnya Kakak ingin menunjukkan segala kepalsuan Kakak, kenapa repot-repot mengkhawatirkan keterpurukanku?”

                Janganlah kau tanyakan, tentang janjiku yang pernah terucap.

                Karena semua telah nyata, kini diriku mengingkari.


                “Kalian tahu rasanya ketika aku mendengar percakapan kalian tadi? Rasanya seperti mengiris pelan-pelan tapi pasti lengan kalian sendiri dengan pisau yang habis diasah, seperti menghisap ribuan obat tanpa memiliki air putih sebagai penawar. Perih, pahit, mematikan!”

                Ku telah menyerah selamanya, dan mengakhiri kisah kita.

                Meski air mata membunuhku.

                Ku memang pecundang sejati, yang tak sanggup perjuangkan cinta.

                Maafkan semua cintaku, ku meninggalkanmu, meninggalkanmu.


ditulis @dinapsetyowati dalam http://dinasetyowati.tumblr.com | Pecundang Sejati

No comments:

Post a Comment