Sunday, September 30, 2012

Ellen

Sabtu, 18 Januari 2009. Hari itu benar-benar hari yang sangat mendebarkan. Jalanan yang macet, panas terik matahari yang sangat menyengat, dan suara bising klakson kendaraan yang sedang terkena macet merupakan kombinasi bagus untuk hari yang sangat buruk. Dalam keadaan yang sangat gak banget seperti itu, disana ada seorang pria umur 22 tahun sedang berlari menuju bandara. Ya, itu aku, Mario. Seorang pemuda yang harus berlari ke bandara dan meninggalkan kendaraannya yang sedang terjebak macet demi untuk menemui seseorang. Jarak bandara masih cukup jauh. Aku berlari sangat kencang, biasanya aku tidak pernah berlari sekencang dan sejauh ini. Sebagai seorang pemalas yang hampir tidak pernah olah raga, ini merupakan sebuah prestasi.

Dengan bercucuran keringat sambil clingak-clinguk seperti orang yang bingung karena ketinggalan pesawat, aku pun sampai di bandara ini. Selesai.

Eh tidak-tidak, cerita ini belum berakhir sampai disitu saja. Aku masih punya misi untuk mengejar wanita pujaanku. Ellen, temanku sejak aku kecil. Kami tumbuh besar bersama, jarak rumah kami pun berdekatan. Sudah sejak lama aku memendam perasaan padanya. Mungkin karena kebiasaan kami yang sering bersama sejak kecil. Kalau kata pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino” yang artinya “cinta itu bisa datang karena kebiasaan.” Tapi, aku adalah aku, tidak pernah berani untuk mengungkapkan perasaan. Seringkali  aku sedih jika dia berpacaran dengan pria lain, namun terkadang ikut senang ketika melihat dia begitu bahagia. Saat ini dia sedang sendiri, inilah kesempatanku untuk mengungkapkannya, sebelum dia pindah ke luar negeri untuk menyusul orang tuanya.

Aku terus mencari, sampai mataku tertuju pada seseorang wanita berkulit putih alami, eksotis, dan juga sangat cantik. Itu Ellen, aku bergegas menghampirinya. Dia pun melihatku, dengan segera dia tersenyum padaku.

“Kenapa kau tidak berpamitan padaku? Ponselmu juga tidak aktif, apa kau sudah melupakanku?” tanyaku.

“Tidak, aku bukan orang yang akan melupakan teman baiku begitu saja. Aku hanya tidak ingin melihat kau menangis.” Jawabnya.

“Hei, aku ini pria kuat, bukan tipe pria yang akan menangis saat ditinggal teman baiknya.”

“hahaha, kau tampak gugup.” Dia tertawa dan mengeluarkan senyuman yang sangat manis. Senyuman paling manis kedua yang pernah aku lihat setelah senyuman ibuku.

“apa kau yakin benar-benar ingin pergi?” tanyaku.

“Ya, aku sudah sangat yakin, jangan mematahkan keyakinanku dengan muka cengengmu itu. Oh ya, kau kan sudah jauh-jauh menyusulku kesini, sambil menunggu penerbangan bagaimana kalau kita menikmati secangkir kopi?” pintanya.

“ Ide bagus, tapi aku berharap ini bukan minum kopi bersama untuk yang terakhir.” Kataku.

Dia hanya tersenyum, menggandengku, lalu memintaku untuk membawakan barang-barangnya.

“huh, dasar, kau masih saja suka merepotkan orang lain.” Gumamku.

“hei, ayolah, kau kan pria kuat. Anggap saja aku merepotkanmu untuk yang terakhir”

“Eh, aku tidak mau kalau yang terakhir. Lain kali kau boleh merepotkanku sesukamu.” Jawabku agak gugup.

Sambil membawakan satu kopernya yang agak berat di tangan kiriku, kami berjalan menuju salah satu coffe shop di bandara. Tangan kirinya menggandeng tangan kananku. Menggenggam erat seolah tidak ingin terlepas. Berat rasanya kalau harus meninggalkan kebiasaan kami yang sering bersama. Kami pun sampai di salah satu coffe shop di bandara. Masih dua jam sebelum keberangkatannya, akan aku manfaatkan sebaik-baiknya.

“Aku akan merindukanmu.” Kataku.

“Aku juga, aku akan sangat merindukan kegilaan-kegilaan yang hampir tiap hari kita lakukan. Aku akan merindukan suaramu yang jelek saat bernyanyi” sahutnya

“Enak saja jelek. Huh. Tapi pasti aku akan merindukan saat kau teriak-teriak tidak jelas di puncak gunung.”

“Hemm, itu meluapkan emosi, bukan teriak-teriak tidak jelas.” Katanya agak ngambek.

“Jangan lupakan aku, kabari kalau kau sudah disana. Ceritakan bagaimana tentang kehidupan di Irlandia.” Pintaku.

“Tentu saja, aku akan memamerkan apa yang tidak pernah kau temui di Negara ini.” Jawabnya.

Kami mengobrol sampai tidak terasa sudah satu jam dan dia harus segera chek in tiket penerbangan. Aku harus segera mengungkapkan perasaanku. Perasaan yang sudah sangat-sangat lama aku pendam.

“Ellen, ada yang ingin aku bicarakan sejak lama, sudah bertahun-tahun aku ingin membicarakannya.” Kataku sambil menggenggam erat tangannya.

“Apa? Tidak biasanya kau memendam apa yang ingin kau bicarakan padaku.” Tanyanya agak bingung.

“Aku mencintaimu. Sudah hampir tiga tahun ini. Entahlah, apa karena kebiasaan kita yang sering bersama, atau memang ada sesuatu pada dirimu. Tapi aku benar-benar mencintaimu.” Kataku dengan serius.

 “Apa kau bercanda? Kalau tidak, kenapa kau baru bilang sekarang, bodoh!” jawabnya sambil meneteskan air mata.

“Maaf, aku hanya tidak ingin melukai pertemanan kita.”

“Iya tapi kenapa baru sekarang? Kenapa malah disaat aku sudah mau pergi?” kali ini dia benar-benar menangis. “aku jadi semakin berat untuk meninggalkanmu, kau mengerti!”

“Maaf. Maafkan aku yang pengecut ini.”

“Sudahlah, aku harus pergi sekarang.” Dia berdiri dengan kondisi masih meneteskan air mata.

“Baiklah, aku tidak mau kau ketinggalan pesawat.”

Kami pun membayar kopi yang kami minum, segera meninggalkan coffe shop dan pergi menuju pintu perpisahan. Aku sangat sedih, ini benar-benar hal yang sangat menyedihkan dalam hidupku. Di pintu perpisahan, dia memeluku. Erat sekali, aku pun membalas pelukannya.

“Aku benar-benar sangat berat untuk perpisahan ini.” Katanya.

“Aku tidak akan menangis. Kau lihat aku kan, aku senang, bukan karena kau akan pergi. Aku senang karena telah mengungkapkan perasaanku.” Kataku sambil agak mewek.

“Aku harus pergi sekarang, kalau semakin lama disini, aku akan semakin menangis.”

“Ya, pergilah. Irlandia memang jauh, tapi pertemanan akan selalu mendekatkan kita.” Kataku.

“Aku pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik. Kelak kita akan bertemu lagi. kau harus berubah, paling tidak harus jadi lebih tampan dari yang sekarang.” Dia tersenyum.

“Kau menganggapku tampan? Hahaha, baru kali ini kau bilang begitu.” Kataku.

“Aku akan merindukanmu. Aku akan selalu menunggu sampai kita bertemu kembali.”

Aku pun tersenyum mendengar perkataannya itu. Seolah itu adalah harapan. Aku harus bekerja lebih giat, agar bisa menyusulnya ke Irlandia. Hari itu adalah hari yang sangat berat, kesedihan karena berpisah dengannya, pun ada senang karena aku telah mengungkapkan perasaanku. Di pintu keberangkatan kami berpisah. Disaksikan oleh mereka yang akan berpisah juga. Aku pun pergi, masih sedikit mewek, di jalan aku berpikir. Apa dia juga mencintaiku?

After all this time
Would you ever want to leave it
Maybe you could not believe it
That my love for you was blind
But I couldn’t make you see it
Couldn’t make you see it
That I loved you more than you will ever know
A part of me died when I let you go

(Lifehouse-Blind)


Beberapa  tahun telah berlalu, selama itu pula aku masih sering menghubunginya. Dia juga sering menghubungiku. Perpisahan jaman sekarang tidak seberat perpisahan jaman dulu. Teknologi komunikasi sudah canggih. Tapi berpisah tetap saja satu paket dengan kesedihan. Senin pagi, 18 Januari 2012. Aku sangat terkejut bercampur senang ketika menerima sepucuk surat dari Irlandia. Penasaran dengan isinya, aku buka surat itu dan ternyata bukan surat. Itu adalah undangan pernikahan Ellen. Sedih? Tidak, aku tidak sedih. Aku malah senang, dia bahagia disana, apalagi saat melihat foto prewed-nya, senyumnya benar-benar senyum dari seseorang yang sangat bahagia. Banyak teman-temanku bertanya, “kenapa tidak sedih di-PHP-in?” aku hanya menjawab; “bagi pria yang hatinya tegar sepertiku, PHP itu tidak lebih buruk dari pada ditolak oleh wanita J” lagi pula, itu bukan PHP.

ditulis @marioprakasa dalam http://marioprakasa.tumblr.com | Blind

No comments:

Post a Comment