“Hati-hati, Dek..” ujarmu sambil mengacak-acak rambutku yang sudah kutata rapi.
Kereta sudah datang. Selama delapan jam ke depan aku akan mengarungi perjalanan menuju kota asalku, Yogyakarta. Ah, bukan hanya kota ini yang akan kutinggalkan, melainkan juga kamu, Kak.
Di dalam kereta, memoriku kembali ke masa itu, masa ketika Tuhan mempertemukan kita, setahun yang lalu.
Saat itu aku sedang menjadi MC di acara pembukaan sebuah hotel, dan kamu hadir sebagai salah satu tamu undangan. Setelah acara berakhir, salah satu teman menghampiri dengan maksud ingin mengenalkanmu padaku. Lewat perkenalan singkat, aku mengetahui bahwa kamu merupakan perwakilan dari hotel yang sama yang sudah terlebih dahulu berdiri di kotamu, Bandung.
Akhirnya kamu memutuskan untuk tinggal selama tiga hari di Yogyakarta. Dan selama itu pula, tidak sulit bagi kita untuk saling membaca pertanda. Resmilah kita berdua menjalin sebuah cinta.
“Kamu siap untuk LDR?” katamu sambil menatap lekat kedua mataku.
Aku tersenyum, balas menatap. Kuraih kedua tanganmu, dan mendekapnya dengan kedua tanganku. Hangat.
Menjalani sebuah hubungan jarak jauh tidak semudah seperti yang kubayangkan. Sering kali jarak menjadi penghalang di saat aku butuh dekapan. Dan telapak tangan menjadi satu-satunya harapan yang bisa kugunakan untuk mencapai kepuasan.
Masalah bergantian berdatangan. Pernah suatu waktu aku memutuskan untuk menghentikan komunikasi denganmu. Biasanya, kamu selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke Yogyakarta setidaknya sebulan sekali. Entah karena alasan apa, saat itu kamu membatalkan janji untuk bertemu, dan acara kejutan peringatan tiga bulan hubungan kita pun terpaksa aku batalkan.
Walau begitu, kemarahan tidak pernah berlangsung lama. Atas nama rindu, selang beberapa hari, kita berdua akan saling memaafkan dan keadaan akan kembali seperti semula-seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Perjalanan cinta kita lewati dengan penuh suka dan duka. Tidak jarang terlintas dalam benakku untuk mencari cinta yang lain yang ada di kota yang sama. Namun semua niat buruk tidak pernah terlaksana, aku selalu kembali kepada satu cinta dan mengikrarkan diri untuk setia. Aku bahkan sempat memiliki harapan-harapan besar terhadapmu. Melihat sikapmu yang begitu manis, meyakinkanku bahwa hubungan cinta kita akan selamanya, setidaknya bertahan lama. Semua berjalan apa adanya. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang tak kuduga.
Dua hari yang lalu, secara mendadak kamu menyuruhku untuk menemuimu di Bandung. Setelah kuselesaikan semua pekerjaan, aku bergegas membeli tiket pesawat dan malamnya langsung berangkat.
Di sebuah kamar hotel kita saling melepas rasa rindu. Sekilas kulihat ada sesuatu yang berbeda dari matamu.
“Sebenarnya ada apa?” aku memulai pembicaraan.
“Aku gak tau harus mulai dari mana…”
Setelah melewati basa-basi yang lumayan berbelit-belit, akhirnya kamu memberitahuku bahwa kamu akan menikah. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa selama ini, aku tidak menjadi satu-satunya kekasihmu. Ada dia, perempuan yang sudah hampir lima tahun menjalin hubungan serius denganmu.
Kamu tak henti mengucap kata maaf dan berulang kali menjelaskan bahwa kamu lebih mencintaiku daripada dia. Aku sempat berkeinginan untuk pulang ke Yogyakarta saat itu juga, namun pelukanmu berhasil mengurungkan niatku, aku luluh di hadapanmu.
Malam itu kita kita terjaga sampai pagi. Membicarakan akan dibawa kemana hubungan kita selanjutnya.
“Aku gak mau kehilangan kamu,” katamu sambil mengecup tanganku.
“Egois!” Aku tersenyum pahit
“Kamu bisa anggap aku sebagai kakak kamu, gimana? Yang penting kita jangan sampai putus komunikasi…”
Aku mengutuk diriku sendiri yang sudah terlalu naif menyimpan harapan-harapan terhadapmu. Dan sekarang aku menyadari bahwa harapan-harapanku hanyalah mimpi belaka.
Jujur, aku pun tidak siap jika harus sepenuhnya lepas darimu. Dengan segala pertimbangan, aku menyetujui usulmu untuk melabeli hubungan kita berdua sebagai ‘saudara’.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi aku sampai di Yogyakarta.
*****
Hari ini tepat dua tahun peringatan hari jadian kita, seharusnya. Kesepakatan untuk menjadi ‘saudara’ rupanya hanya bualan belaka. Semenjak kamu menjadi seorang suami, secara perlahan dan teratur, kamu semakin jarang menghubungiku. Dan selama itu pula, hari demi hari aku berusah untuk mengubur perasaanku sendiri: perasaan disertai harapan bahwa kamu akan kembali, setidaknya berbagi kabar lewat pesan atau telepon. Bagaimana pun juga, kamu sempat menjadi seseorang yang berarti bagiku, di anatar rasa sakit yang telah kauberi, ada beberapa hal manis yang pantas kuucapi terima kasih. Selebihnya, aku hanya perlu waktu untuk mengeringkan luka-luka yang ada di hati. Hanya salam perpisahan yang bisa kuucapkan, bukan kepadamu, tetapi pada kenangan kita.
Kau terindah…
Kan s’lalu terindah…
Aku bisa apa tuk memilikimu…
ditulis @siapapun_ dalam http://siapapun.tumblr.com | Pemilik Hati
No comments:
Post a Comment