Saturday, September 29, 2012

Malaikat Penolong

Waktu itu aku benar-benar mendapat hari buruk. Siapa yang tidak kesal kalau di siang hari bolong harus keringatan karena motor ngadat? Tanpa sebab  yang jelas tahu-tahu motorku ngadat. Aku hanya bisa memeriksa tangki bensin dan mendapatkan bahwa motorku ngadat bukan lantaran kehabisan bahan  bakar. Entahlah, mana tahu aku soal mesin. Membuka busipun aku tak pernah. Selama ini Mas Pandu yang suka memeriksa busi, aki, atau pernak-pernik lain di motorku. Bisaku cuma mengendarainya.

Semakin putus asa aku manakala tak segera kulihat salah satu saja teman kuliah yang melintas. Satu-satunya harapanku adalah menemukan bengkel terdekat untuk membuat motorku normal kembali. Sialnya, saat ini motorku justru mogok di lokasi yang cukup sepi. Di depan dan di belakang hanya terdapat deretan rumah-rumah tinggal. Di mana bengkel terdekat?

Sebelum kuputuskan untuk mendorong motorku, entah sampai di mana, kucoba beberapa kali lagi men-stater. Tapi hasilnya sama saja, kecuali jumlah keringatku yang makin banyak mengucur.

“Mogok?”

Sebuah suara membuatku menoleh. Ada sedikit kelegaan di hatiku manakala kulihat seorang cowok menghampiriku. Ia satu-satunya manusia tempatku menumpahkan harapan saat ini.

“Boleh aku bantu?”

Oooh, alangkah sejuknya kalimat itu di saat seperti ini.

“Aku sudah putus asa…” kataku asal-asalan.

Cowok itu mendekat dan memutar kunci kontak kemudian mencoba menghidupkan motorku. Tak ada keajaiban.

“Kamu ngerti mesin?”

Gelengan kepalanya memupuskan harapanku.

“Sepertinya masalah pengapian, atau… entahlah. Sebaiknya kita mencari bengkel.”

“Ya, bengkel!” kataku agak ketus. Kalau cuma begitu, semua orang juga ngerti. “Tapi di mana?”

“Di depan sana ada bengkel. Cuma setengah kilometer dari sini.”

“Cuma setengah kilometer?! Tapi…”

Cowok itu tersenyum. “Jangan khawatir. Aku akan mendorong motormu. Keberatan?”

Tentu tidak!

Sesaat kemudian cowok itu sudah mendorong motor mogokku masih dengan senyum terkembang di bibirnya. Sedangkan aku berjalan di sisi kiri dan kini mulai bisa meneliti seperti apa cowok yang hari ini jadi dewa penolongku.

Ia masih muda, berumur sekitar dua atau tiga tahun di atasku. Sepantasnya ia anak kuliahan. Tapi yang lebih penting adalah, ia tampan. Ya, baru sekarang aku bisa menilainya, setelah perasaanku tak lagi panik. Tubuhnya jangkung dengan rambut sedikit ikal. Wajahnya mulus dan terkesan cukup terawat. Setidaknya  ia pasti rajin memakai pembersih muka. Tulang pipinya menonjol bagus, serasi dengan  bentuk hidungnya yang tinggi. Ehm, Malaikat Penolongku yang tampan!

“Kamu kuliah di kedokteran ya?” Ia melirik stiker yang menempel di helmku.

“Iya. Kamu?”

“Baru tahun kedua di hukum.”

“Maunya dihukum berapa tahun?”

Ia nampak tertegun sedetik, tapi kemudian ia tertawa lebar seolah memamerkan deretan giginya yang pantas dipamerkan di iklan pasta gigi, “Kamu lucu.”

Hmm… Ini kenapa dadaku berdebar kencang ya.

“Kamu nggak bawa tisu ya?” Tanyanya.

“Nggak, kenapa?”

“Tuh, keringat kamu! Ini sapu tanganku, pake aja.” Cowok itu menyodorkan sapu tangan biru.

“Nggak usah. Makasih, biarin aja.”

“Ini bersih kok, dijamin.” katanya. Akhirnya aku menerimanya.

Wah, ini namanya bukan hari tersial, melainkan hari penuh berkah. Siapa yang tak suka berbincang dengan cowok tampan dan ramah? Andai Judith, Anya, atau Dian tahu, mereka pasti berebut ingin mengalami kesialan seperti yang kualami.

“Namaku Ardi. Kamu siapa?”

“Shakira. Panggil saja Kia,” jawabku tanpa basa-basi. Dia mengangguk. ”Kamu tinggal di sekitar sini?”

“Oh nggak. Kebetulan aja ada temanku yang tinggal di ujung sana.” Ia menunjuk ke arah belakang. “Habis ngembaliin diktat.”

“Ah, kenapa kita nggak ke rumah temanmu aja?”

“Dia? Ha ha ha… dia sama begonya dengan kita!”

Aku ikut tertawa. Aih, alangkah cepatnya keakraban ini. Dan, dadaku tak henti berdebar kencang. Aku rasa, aku suka dia. Atau mungkin ini jatuh cinta pada pandangan pertama?

“Tuh bengkelnya. Bener ada kan, Kia?”

Setengah kilometer ternyata terlalu singkat untuk sebuah keakraban.

Ardi, cowok itu, segera berbincang sebentar dengan salah satu montir di bengkel kecil itu. Sementara aku memilih berdiri di bawah pohon waru di samping bengkel. Sebentar saja ia lantas sudah berdiri di depanku.

“Mau menunggu di sini aja?” tanya Ardi.

“Lama?”

“Katanya perlu waktu sekitar setengah jam. Mungkin nggak sampai. Mungkin kerusakannya sederhana. Busi kotor, saluran bensin tersumbat, atau apa… ah, kita aja yang bego.”

“Itu namanya rejekinya bengkel.”

“Itu pikiran sederhana namun bijaksana.” Ardi tersenyum manis. “Sekarang gimana kalau kita tunggu sambil menikmati es teler? Temanku suka minum es di Warung Bersih di depan sana. Mau?”

“Mau,” jawabku spontan. “Tapi jangan menolak kalau aku yang traktir. Supaya aku nggak merasa berhutang dua kali.”

“Okelah. Itu memang adil.”

Aku kembali berjalan kaki, namun kali ini dengan Ardi yang tampan berada di sampingku. Warung es itu berjarak empat ratus meter dari bengkel.

***

Ardi memang cowok yang baik dan menyenangkan. Sembari menikmati gado-gado dan es teler, kamipun ngobrol kesana-kemari. Ia dengan serunya berbicara tentang sosok Dahlan Iskan hingga Miroslav Klose. Sepertinya, ia mengerti banyak tentang semua yang aktual di dunia ini.

“Kamu pasti cowok favorit di kampusmu.”

“Dan kamu?”

“Kamu pasti pernah dengar, fakultas kedokteran gudangnya cewek-cewek cantik.”

“Kamu salah satu buktinya.”

Hatiku girang bukan kepalang.

“Mungkin motorku udah beres…”

Ardi menengok arlojinya. “Anak baik, pasti takut terlambat pulang ya? Tunggu sebentar aku ingin beli rokok ke toko sebelah. Sebentar saja.”

Tanpa menunggu kesediaanku, Ardi berteriak meminta dua gelas es teh manis kepada pelayan.

Sepeninggal Ardi aku terpaksa meminum es teh manisku walau sebenarnya perutku sudah terasa penuh. Pikirku, sayang kalau minuman yang harus dibayar cuma dijadikan tontonan.

Aku berdiri dan berjalan keluar. Kutengok warung rokok di samping warung es itu, dan ternyata Ardi tak ada di situ. Akhirnya kuputuskan menunggunya di dalam warung sambil menghabiskan es teh manisku.

Setengah jam!

“Berapa semuanya?” aku bertanya pada pelayan. Aku membayar empat puluh ribu untuk semua makanan dan minuman kami.

Entah kenapa kini aku mulai cemas.

***

“Mana motorku?” tanyaku sesampainya di bengkel.

Motorku tak nampak. Dan Ardi entah di mana. ”Motor merah yang mogok tadi.”

“Oh, Mbak ini temannya Mas ganteng tadi ya?”

“Motorku mana?” aku makin cemas.

“Sudah diambil Mas yang ganteng tadi, kan?”

“Cowok itu mengambil motorku?” aku melotot. Aku makin bengong. Seorang montir lagi, datang mendekatiku.

“Mo… motorku… di mana?”

“Yang merah tadi? Kan sudah diambil pemiliknya.”

“Itu milikkuuu!” aku meradang, berteriak histeris.

Kedua montir itu saling pandang dan melongo.

“Sebaiknya adik lapor polisi…”

Aku terduduk lemas di lantai yang kotor.

Aku tertipu aku terjebak
Aku terperangkap muslihatmu
Aku tertipu aku terjebak
Aku terperangkap muslihatmu

Bisa bisanya aku tekena
Bisa bisanya aku terlena
Rupa rupanya kau berbahaya
Rupa rupanya kau…


ditulis @hauranazhifa dalam http://hauranazhifa.tumblr.com | Ular Berbisa

No comments:

Post a Comment