Friday, September 21, 2012

18.000 Detik Terakhir


“Kamu tidak boleh menemui dia.” Seorang perempuan tua berkata tegas pada gadis di hadapannya. Sementara si gadis dengan isak tangisnya terus memohon agar ia diperbolehkan pergi menemui seseorang yang sedang mereka bicarakan.

“Ini hari ulang tahunnya..” gadis itu kehabisan kata-kata.

Perempuan tua itu pintar menyembunyikan sedihnya di balik wajah tegas, meski sedari tadi ia terus berkata ‘tidak’, tapi toh hatinya tetap tidak tega pada anak bungsunya, “terakhir kali, kamu bisa habiskan waktu sampai pagi ini bersamanya.”

Si gadis belia terdiam tidak percaya, lalu mengangguk cepat dan mengucapkan terima kasih pada ibunya. Ia lalu melangkah ke arah dapur, mengambil seloyang kue tart cokelat yang dibuatnya semalam suntuk.

Hanya ada beberapa jam menjelang pagi, waktu yang akan berjalan singkat. Dan sepertinya akan lebih singkat sejak hari ini.

*


                Gadis muda tadi bernama Raya, selang beberapa waktu kemudian ia sudah berada di depan lift yang akan membawanya ke lantai dua puluh. Pujaan hatinya berada di kamar paling pojok di lantai itu. Selama ini mereka tidak pernah kesulitan jika ingin bertemu, karena menetap di apartemen yang sama. Tapi hari ini berbeda..

Kerumunan lima orang laki-laki dan dua orang perempuan berkemeja rapi berdiri di depan lift hingga menutup jalan. Tapi ketika pintu lift terbuka, tiga diantara mereka tidak langsung masuk dan sibuk sendiri.

“Lo semua nggak percaya sih, mending nggak usah nemuin dia. Langsung ke kantor aja besok! Ini tengah malem!” si cewek berambut sebahu buka suara.

“Ah, kalo ntar dimarahin bos besar, lo mau tanggung jawab? Klien, nih! Di mana-mana klien selalu bener,” teman wanitanya yang satu lagi tak mau kalah.

“Permisi..” Raya mencoba menegur mereka karena menghalangi jalan masuk, terlebih karena beberapa temannya yang sudah masuk ke lift malah ragu dan kembali keluar.

“Mbak, Mas, Permisiii..” Raya mendengus kesal karena tak diacuhkan dan langsung saja melewati mereka walau celahnya kecil. Hingga akhirnya pintu lift tertutup perlahan dan mulai naik menuju lantai atas.

Raya melangkah keluar lift dan menuju kamar Bayu, kekasihnya. Setelah empat kali ketukan pintu, akhirnya ia berhasil mendapati wajah Bayu di sana.

“Ray, ini udah malem, lho. Kamu ngapain di sini?” Bayu menguap, matanya juga kelihatan mengantuk.

Happy birthday!” Raya berseru dengan senyum mengembang sambil memamerkan kotak kue yang dibawanya.

Bayu tertawa, “aku sampe lupa. Ayo masuk.” Lelaki itu membukakan pintu lebih lebar dan menyingkir agar Raya bisa masuk, tapi kemudian ia berujar agak heran, “kamu masih pake baju tidur?”

“Eh, iya. Aku sendiri lupa masih pake baju ini.” Raya tidak tahu bahwa belakangan dirinya sudah mulai pelupa. Ia pun tidak sempat melihat bayangan dirinya di cermin terlebih dahulu, sebelum keluar dari apartemen tadi. Terlalu takut jika ibunya berubah pikiran.

“Hmm, no problem.” Bayu terkikik. “Lagian udah malem juga.”

“Aku siapin kuenya dulu, ya!” Raya mendahului langkah Bayu, menyiapkan korek api untuk lilin, pisau, piring kecil dan beberapa kaleng bir.

“Sebelum tiup lilin harus make a wish,” ucap Raya sembari membakar lilin berbentuk angka 25 itu. Bayu hanya tertawa, selama ini ia tidak pernah merayakan ulang tahun, tidak sebelum bertemu Raya. Tapi sejak gadis ini hadir dalam hidupnya, ia selalu mendapat perayaan tak terduga. Juga ketika Natal tahun lalu Raya mendadak muncul dengan sekotak kado.

Bayu menutup matanya dan berdoa, tak lama kemudian ia meniup lilin yang ada di atas tart, lalu mencolek krim kue dan melumuri wajah Raya. Gadis itu tertawa dan membalas perlakuan Bayu.

“Sayang, kamu tuh kebiasaan nggak rapi, deh. Cucian kotornya kumpulin deket mesin cuci.” Sepasang mata Raya menangkap baju kotor menumpuk di samping sofa, ia lalu memungutnya.

Bayu diam saja, terus  menikmati tart cokelat buatan Raya. Ia sendiri sudah hafal betul kebiasaan wanitanya yang selalu memantau kebersihan apartemen.

Setelah meletakkan pakaian kotor disamping mesin cuci, Raya melangkah kembali ke ruang tengah dan duduk di samping Bayu, “sayang..”

“Hmm?”

“Nggak apa-apa. Cuma mau bilang kalo aku sayang kamu.”

“Aku juga, Raya.. Kok tumben melow gitu?” Bayu mengecup kening Raya lembut.

“Kamu harus baik-baik aja walaupun aku sedang nggak ada. Nggak boleh jorok, harus rapi..”

“Sayang, udah ah. Jangan ngelantur terus.” Bayu menarik Raya ke dalam pelukannya, mendekap hangat hingga akhirnya mereka berdua tertidur lelap.

*

Matahari belum lagi muncul ketika Raya terbangun dari tidurnya yang hanya beberapa jam. Jam dinding baru menunjukkan pukul lima subuh. Gadis itu bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar mandi, tapi ia lalu berhenti di depan sebuah cermin besar tak jauh dari kamar mandi, ketika menangkap sesuatu dari sudut matanya.

“Raya, sudah pagi.” Suara ibunya terngiang dalam kepala.

Tiba-tiba saja kepala Raya terasa begitu penat, dari kejauhan muncul sinar yang begitu terang dan menuju ke arahnya. Jelas bukan sinar matahari, matahari belum terbit ketika subuh dan cahayanya tidak akan seterang itu.

Raya menyipitkan matanya dan menangkap sosok Ibu mendekat.

“Raya, sudah waktunya..”

Gadis itu tertunduk sedih, ternyata lima jam bersama masih belum cukup baginya untuk menumpahkan rindu terakhir pada Bayu. Pertemuan yang akan benar-benar menjadi terakhir, jarak yang akan benar-benar menjauh dan tawa yang benar-benar akan lenyap.

Raya berbalik, mengangguk pada Ibunya dan mengikuti langkah sang Ibu dari belakang. Meninggalkan cermin yang sedari tadi tak memantulkan bayangan dirinya.

It so dark in here

No I can’t see alight

Take all the fires on me

It’s all my desire

But you just surrender

Take all the pain in your dreams

*

                Bayu menguap dan meregangkan otot-otot tubuhnya, ketika telfon berbunyi beberapa kali. Dengan malas ia menyandarkan tubuh di sofa, tapi tidak mendapati Raya. Sisa potongan kue, kaleng bekas minuman dan piring kotor pun sudah tidak ada. Semuanya sudah rapi. Telfon terus berdering hingga mesin penjawab otomatis menyala, “hai, gue lagi nggak ada di tempat. Silahkan tinggalkan pesan, ya. Ntar gue hubungi, thanks!

Terdengar suara serak yang tidak terlalu jelas dari ujung sana, sebelum akhirnya menjelma menjadi tangis seorang wanita, “Bay? Bayu! Ini Reyna, adiknya Raya. Lo di mana? Raya meninggal tadi malam. Serangan Jantung. Jenazahnya ditemuin pagi ini sama temen sebelah kamarnya! Bay?!

Bayu tercekat, seketika ia bangkit berdiri dan mencari Raya ke setiap sudut apartemennya. Tapi hasilnya nihil.

“Rayaaaa!!” Ia terus berteriak di tengah kepanikannya. Tapi tetap hening, tak ada jawaban.

Hingga sepasang matanya menangkap benda bulat kecil di atas meja. Cincin silver milik raya, benda yang sama dengan cincin yang saat ini terlingkar di jari manis Bayu. Cincin pertunangan mereka.

Yang tersisa hanya jerit tangis Reyna di ujung telepon, terus terngiang dalam ingatan Bayu..

Bay? Bayu! Ini Reyna, adiknya Raya. Lo di mana? Raya meninggal tadi malam. Serangan Jantung. Jenazahnya ditemuin pagi ini sama temen sebelah kamarnya! Bay?!

Jiwa boleh saja pergi jauh dari raga, tapi kenangan tak akan pernah mati. Kekal abadi.

*

Langkahku terpejam

Titik ku berada

Perlahan arahku memudar

Semu bayangku

Cermin tak berujar

Kemana arahku berjalan

*

NOTE:

Homogenic – Kekal


ditulis @PPutriNL dalam http://petronelaputri.wordpress.com

No comments:

Post a Comment