Sunday, September 23, 2012

Aku Ingin Menjadi Hujan

Suatu hari di sebuah negeri tanpa nama, hidup seorang perempuan yang begitu menyenangi hujan. Dia akan tersenyum dengan senyuman yang paling indah saat hujan turun. Bola matanya akan membulat dan seolah membinarkan cahaya yang menyenangkan saat memandang hujan turun ke bumi.

“Mengapa kamu sangat menyenangi hujan, Kirana?” tanya seorang lelaki paruh baya yang lewat di depan rumah Kirana. Dia bertanya pada perempuan yang begitu menyukai hujan itu suatu kali.

Kirana yang sedang duduk termangu di beranda rumahnya agak terkejut dengan pertanyaan yang ditujukan padanya. Matanya yang tadi menerawang ke langit kini mengarah pada lelaki paruh baya di hadapannya. "Aku tidak tahu persis kenapa aku sangat menyukai hujan, Aji. Tapi yang aku tahu, ketika hujan turun, aku merasa sangat bahagia.”

“Apakah tida ada hal lain yang membahagiakan hatimu, selain ketika turunnya hujan? Aku melihat, kamu selalu tampak murung saat melihat langit menggelap tapi tak turun hujan.”

“Entahlah, Aji. Memang masih banyak hal lain yang bisa membuat hatiku bahagia. Tapi, semua terasa hanya sekelebat saja. Tidak sekekal rasa bahagia yang diciptakan oleh hujan.

Ketika aku mendengar suara rintik hujan yang beradu dengan dahan, hatiku merasa tenang. Bau tanah yang muncul saat hujan membasuh bumi pun membuatku senang, membuatku lupa akan segala duka.”

***

Suatu hari wajah Kirana terlihat muram. Rona wajah sedih tercetak jelas di wajahnya. Dia duduk seperti biasa di beranda rumahnya, tatapannya kosong menatap langit.

Siang ini tidak terik. Gumpalan awan tebal menggelayut di langit. Melindungi orang-orang dari terpaan panas matahari. Hampir semua orang di negeri tanpa nama senang karena hawa udara tidak terlalu panas, namun tidak dengan Kirana. Wajahnya terlihat sendu. Bukan hanya hari ini saja, sudah sejak beberapa hari yang lalu, tidak ada senyum yang dilahirkan bibirnya. Sorot matanya terlihat layu, seolah tidak bertenaga.

“Kirana, kenapa kamu terlihat sedih? Apakah gerangan yang membuatmu muram?” tanya Aji ketika sedang melewati lagi rumah Kirana.

Kirana menolehkan kepalanya dengan enggan. Tatapannya benar-benar terlihat sedih. Aji menelan ludahnya, dalam hatinya merasakan iba saat melihat Kirana seperti ini.

“Apakah yang membuatmu sedih? Bukankah beberapa hari yang lalu baru saja turun hujan? Mengapa kamu tidak gembira? Aku melihat, ketika hujan turun kemarin, kamu malah menangis,” ucap Aji kepada Kirana. Dia mendekati Kirana yang duduk dengan wajah sedih.

“Aku ingin menjadi hujan.”

“Apa?” tanya Aji yang kini sudah duduk di samping Kirana.

“Aku ingin menjadi awan, menjadi hujan, agar semuanya luruh dalam derai airmata langit.”

Aji terdiam mencerna kata-kata Kirana. Lelaki paruh baya itu masih belum dapat menangkap arti ucapan perempuan muda di sampingnya. "Apa yang terjadi padamu? Sehingga kamu menjadi sesedih ini."

“Aku ingin menjadi hujan, agar tersamarkan air mata. Aku ingin menjadi awan, agar tak lagi merasakan kesedihan. Aku ingin menjadi hujan.” Kirana terus mengucapkan kata-kata itu, seperti rekaman suara kaset yang rusak. Serupa itu pula keadaan Kirana. Dia seperti rusak, mungkin hatinya.

Aji akhirnya menyadari hal yang membuat Kirana sedih. Gosip yang berkembang di negeri ini rupanya terbukti benar. Kirana ditinggalkan oleh kekasihnya demi perempuan lain.

Di negeri ini, sebuah perselingkuhan adalah sebuah dosa besar dan menjadi aib terburuk bagi yang mengalaminya. Masyarakat di negerin ini menganggap, perempuan yang ditinggalkan demi perempuan lain adalah perempuan yang tidak dapat menjaga pasangannya, dan mendapat cap buruk.

“Sudahlah, tenangkan dirimu. Semoga hujan benar-benar datang. Aku ingin melihat lagi senyummu yang ceria itu,” ucap Aji yang kemudian meninggalkan Kirana yang masih duduk termenung dengan tatapan kosong.

***

Hujan turun dengan deras di negeri tanpa nama. Deru suara hujan yang bercampur dengan angin menepuk daun pepohonan dan loteng rumah terdengar bersahutan.

Hampir semua orang di negeri ini senang dengan turunnya hujan, begitu pun dengan Aji. Lelaki paruh baya itu senang, sebab dengan turunnya hujan, dia akan melihat kembali senyum indah Kirana. Dari rumahnya di melongok keluar jendela rumahnya, dari sana dia dapat melihat beranda rumah Kirana.

Biasanya, ketika hujan, Kirana akan duduk di beranda sambil bersenandung. Tapi tidak hari ini. Aji tidak melihat perempuan muda itu di beranda. Rumahnya pun terlihat sunyi, seolah tiada penghuninya.

Aji keluar dari rumahnya menuju rumah Kirana. Dia bertanya-tanta kemana perginya Kirana. Sebab seingatnya, Kirana tidak keluar rumah sejak pagi tadi, ketika dia terakhir melihat perempuan muda itu.

Petir menggelegar saat Aji baru akan masuk ke dalam rumah Kirana. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana, sebab Kirana memang tinggal seorang diri tanpa memiliki orang tua lagi. Hujan terasa semakin deras, seperti langit yang sedang menangis dan meraung-raung.

Aji melihat secarik kertas berisi tulisan tangan Kirana.

Aku menemukan cara yang membuat diriku menjadi hujan.
Aku akan menyobanya. Aku ingin menjadi hujan.


Aji merasakan sesuatu yang tidak enak di hatinya. Segera dia menuju kamar Kirana dan memanggil Kirana. Merasa tak ada jawaban, lelaki paruh baya itu membuka paksa pintu kamar. Di sana, terlihat Kirana yang sudah menggantungkan dirinya.

Kirana mengenakan pakaian yang serupa boneka hujan, menggantungkan dirinya di langit-langit kamar. Dia menjadi boneka hujan, agar hujan turun dan menjadi hujan itu sendiri. Aji tertunduk sedih melihat perempuan muda yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Menyayangi kejadian menjadi seperti ini.

Kau sakiti aku, kau gerami aku
Kau sakiti, gerami, kau benci aku
Tetapi esok nanti kau akan tersadar
Kau temukan seorang lain yang lebih baik
Dan aku kan hilang, ku kan  jadi hujan
Tapi takkan lama, ku kan jadi awan


ditulis @danissyamra dalam http://syamra-danis.blogspot.com | Mesin Penenun Hujan

No comments:

Post a Comment