Monday, September 3, 2012

Lebih Indah

Sebuah percakapan di Blackberry Messenger.
“Ping!!!”
“Hei.. Ada apa?”
“Nanti malam kamu sibuk?”
“Iya sibuk. Sibuk nyusun roster untuk kuliah besok. Hahaha.. Kenapa?”
“Temenin aku makan yuk?”
“Hah? Males ah!”
” :’( “
“Idih. Sejak kapan jadi manja gini?”
“Sejak kenal sama kamuuuuuu..”
“Huwek!!”
“Yaudah deh. Serius nih. Mau ya? Entar malam aku jemput pokoknya.”
“Iya deh iya. Tapi aku ditraktir nonton juga yaaa..”
“Hahaha.. Ujung-ujungnya yaaaa..”
“Ga boleh nih? Yaudah kamu pergi sendiri aja sana..”
“Iya deh, bawel. Tapi aku yang pilihin filmnya ya.”
“Sip!”
“See you, cantik.”
“Hhmm.. :)))”
Sejak obrolan di Blackberry Messenger itu berakhir, detik jarum jam berlomba dengan detak jantungku.
Sudah lama memang aku menantikan ini.
Kamu menghubungiku. Kamu membutuhkanku.
Yah, walau hanya sekadar menemanimu makan malam, tapi setidaknya itu telah memberi catatan indah dalam sejarah perasaanku yang memang sudah bertumpu padamu.
Kamu adalah orang yang membuatku merasa bahwa mengagumi dalam diam itu indah.
Kamu dengan semua canda yang aku tawarkan, dan membuatmu tertawa, adalah hal terbaik dalam hidupku.
Aku menyukaimu.
Setahun ini, aku mencoba menjadi teman yang baik buatmu.
Teman yang sekaligus menyematkan kalimat “i’m your secret admirer” untuk diriku sendiri.
Aku menyukaimu.
Kuulangi, aku menyukaimu, dan itu sukar untuk disangkal.
Tapi aku enggan untuk mengatakannya.
Karena aku tahu, saat ini sudah ada orang lain yang mengisi hatimu.
5 menit sebelum bertemu denganmu malam itu, kamu menjahiliku.
Bukan. Kamu bukan membatalkan acara kita.
Kamu malah membuatku tertawa geli saat mengingat ini.
“Kaaa..”
“Ya? Duh, kenapa bbm sih. Aku masih pake bedak ini.”
“Aku udah di depan pintu kamar kamu.”
“Hah?”
Aku tersontak kaget. Kemudian bergegas membuka pintu kamarku, untuk memastikan bahwa kamu sedang menjahiliku.
Aku lupa bedak yang akan kupakai seketika itu juga.
Dan.. taraaaaaaaaaaa..
Aku membuka pintu kamar.
Benar, kamu sedang berdiri di depannya.
Membawakanku boneka dolphin cantik berwarna biru, dan setoples coklat cha-cha warna-warni lengkap dengan pita cantik.
“Nih, buat wanita yang dandannya lama.” kamu menyodorkan pemberianmu itu .
“Ikhlas nggak sih?” cemberutku.
“Yaudah ih ambil aja. Bahagia bener berantem sama aku.” katamu sambil setengah tertawa.
Aku tidak mengucapkan apa-apa saat mengambil 2 benda yang membuatku kegirangan itu.
“Aku pake bedak di mobil aja ya?” aku setengah bertanya padamu.
“Terserah.” celetukmu membuatku manyun kembali.
“Ya udah iyaaaaaaaaa.. Iyaaaaaaaaaaa, nona manis.” kembali kamu membuatku tersenyum, sambil menarik tanganku, pertanda agar kita bergegas pergi.
Setelah di dalam mobil, dan aku sudah selesai dengan bedakku, kita berteman dengan hening.
Kamu tidak berbicara apa pun, dan aku pun begitu.
Dalam hati aku mulai menghitung detik-detik yang menjadi saksi pertemanan kita dengan sang hening.
Satu.. Dua.. Tiga.. … Sepuluh… Sembilan belas…. Dua puluh tiga…
“Ka..” ah, aku bersyukur dalam hati. Demi semua keriangan burung gereja, terima kasih kamu sudah memecah keheningan ini.
“Hmm?”
“Ga jadi deh.”
“Apa siihh? Bete tauk dibuat penasaran.”
“Jaahh.. Siapa juga yang mau buat penasaran?”
“Yaudah.” ketusku.
Kita kembali saling berdiam diri.
Hanya lagu The Script - Nothing, yang mengiringi perjalanan kita malam itu.
Lagu yang dulu kau katakan sebagai pengiring hari-harimu melewati kesakitan karena ditinggalkan oleh perempuan yang sungguh kau sayangi.
Lihatkan, aku begitu paham dan hafal terhadap setiap hal kecil yang ada padamu.
Kamu, keluargamu, semua perempuan yang pernah mengisi hatimu, pekerjaanmu, makanan kesukaanmu, dan hobi kita yang selalu saja senang berdebat.
Sebenernya aku juga tak begitu paham kenapa kita senang sekali memperdebatkan hal-hal yang sebenernya tidak penting untuk diperdebatkan.
Yah, tapi itulah kita.
Masih bisa terus bersama, dengan perdebatan-perdebatan kecil yang mengesalkan sekaligus ngangenin.
“Kamu ga makan?” tanyamu, sesaat pelayan sudah beranjak dari meja kita dan mencatat pesanan.
“Aku minum kopi aja.” kataku sambil mulai menyalakan rokok dan mengambil sebuah buku yang belum selesai kubaca dari dalam tasku.
“Kamu jaga kesehatan ya. Gimana juga kamu perempuan. Boleh merokok, tapi sebaiknya berpikirlah untuk menentukan tanggal yang tepat untuk berhenti.” kau menasihatiku. Membuatku merasa seperti memilikimu utuh sebagai kekasihku. Tapi nyatanyaaaaaaa..
“Iya, nanti aku pikirkan.” kataku sambil tersenyum manis ke arahmu.
Setelah itu, 15 menit berlalu dan pesanan kita belum juga datang.
Aku sibuk dengan rokok dan bukuku, sementara kamu sesekali memperhatikan blackberrymu, sesekali memperhatikan aku, sesekali menebar pandang ke semua sudut restoran ini.
“Kamu dua tahun lagi udah selesai kuliahnya?” tanyamu tiba-tiba.
“Mungkin sudah. Kalau aku tak berencana untuk mengulurnya.” aku tertawa.
“Aku mau menikah.” nada dan raut wajahmu mendadak serius.
“Yaudah nikah aja.”
“Sama kamu.”
DEG! Beberapa detik, jantungku terasa tak berdetak.
“Kaaa..” suaramu penuh penekanan.
Seketika aku lupa keberadaan rokok dan bukuku.
“Ya?” aku gugup saat menjawabmu.
“Bisa?”
“Apanya?”
“Mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk jadi istriku dan ibu dari anak-anakku?”
“Terus Alice gimana? Kamu sama dia kan……”
“Dia bukan yang tepat.” cepat kamu memotong kalimatku.
“Aku mau jadi wartawan.”
“Iya, kamu akan jadi wartawan sekaligus istri dari bapak hutauruk, dan ibu dari hutauruk junior kita.”
Aku gatau harus bagaimana saat itu.
Yang pasti aku menangis haru di hadapanmu.
Dan kurasa itu adalah hal bodoh yang kulakukan, karena aku tidak langsung menjawabmu dengan kata “ya”.
Aku menyukaimu dalam diam.
Setahun aku membenamkan perasaanku yang bergejolak padamu.
Aku teman baikmu, teman curhatmu.
Juga, pengagum rahasiamu.
Itu semua bukan masalah buatku.
“Yang jadi masalah dan pertanyaan adalah, sejak kapan kamu menyimpan rasa untukku di hatimu, yang tadinya sempat terpikirkan tak dapat tersentuh olehku?”
Tapi itu menjadi pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban,
saat kamu menarikku dekat ke arahmu. Mencium keningku di restoran favoritmu itu.
Saat semua orang menyaksikan kita, kamu cuma berbisik,
“Mereka saksi bahwa kamu akan jadi nyonya hutauruk.”
Kamu tersenyum. Aku tersenyum. Mereka tersenyum.
Mendadak atmosfer ruangan restoran yang besar ini jadi penuh keriangan.
Mendadak kurasakan ada satu kejanggalan yang sempat membuatku tak menyadarinya.
Bahwa sedari tadi, lagu yang diputar di restoran ini adalah lagu yang itu-itu saja.
“Dan kau hadir merubah segalanya, Menjadi lebih indah.
Kau bawa cintaku setinggi angkasa, Membuatku merasa sempurna.
Dan membuatku utuh tuk menjalani hidup, Berdua denganmu selama-lamanya.
Kaulah yang terbaik untukku.”


ditulis @siitiikaa dalam http://tikazefanya.tumblr.com

No comments:

Post a Comment