Sunday, September 2, 2012
Lupa Melupakan
Aku sudah melupakanmu. Hanya saja, aku tidak pernah lupa pertemuan pertama kita. Dua tahun lalu di penghujung bulan Mei, saat kamu bertandang ke kampusku dengan niat menjemput Desty, sepupumu yang kebetulan satu kelas denganku. Desty mengenalkanku kepadamu. Saat itu aku sedang duduk di teras kampus, sibuk menyusun diktat kuliah yang tercecer di pangkuanku. Kamu, dengan jumper biru mudamu dan tas selempang beigemu, mengulurkan tanganmu yang dilingkari jam tangan hitam dan tiga buah gelang karet hitam untuk menyalamiku. Aku terpaku memandangmu hingga lupa menyambut uluran tanganmu. Aku tidak pernah lupa senyummu waktu itu. Aku yang lupa caranya tersenyum.
Aku sudah melupakanmu. Hanya saja aku tidak pernah lupa saat kita bertemu untuk kedua kalinya. Tanpa sengaja, di sebuah seminar kampus. Kamu, anak kampus sebelah yang setingkat di atasku, jadi salah satu panitianya. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi sebelum pembicara terakhir menuntaskan materinya, tapi aku sudah mulai merasa bosan. Jam swatch merah di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 14.58 kala itu, saat tiba tiba kamu berbisik tepat di belakang telinga kananku. “Bosen kan pasti? Ikut aku aja yuk, nongkrong di taman depan”. Aku menoleh kaget dan melihat cengiran menghiasi wajahmu. Kuikuti ajakanmu tanpa ragu. Kamu mengajakku duduk di bangku taman bercat hijau depan gedung seminar, di bawah pohon beringin rindang. Kamu mengeluarkan dua buah kue sus berisi fla berbungkus plastik bening dari saku kanan jas almamatermu dan memberikannya satu untukku. “Aku ngambil dari jatah panitia, dimakan ya”. Kita menikmati kue sus itu bersama, saling bertukar cerita hingga akhirnya aku menyadari suasana mulai ramai. Mahasiswa mulai berhamburan pulang. Ternyata seminar telah usai. Kamu buru-buru beranjak, tugasmu sebagai panitia hampir saja kamu lupakan. “Sampai ketemu lagi, ya,” bisikmu seraya mengacak rambutku dengan tangan kirimu dan melambai kepadaku. Aku tidak pernah lupa nafas hangatmu yang masih terasa di tengkukku. Aku yang lupa caranya bernafas.
Aku sudah melupakanmu. Hanya saja aku tidak pernah lupa betapa bahagianya aku saat kamu menyatakan cinta padaku. Di teras rumahku, di kunjunganmu yang keempat di rumahku, tepat satu tahun delapan bulan yang lalu. Adzan isya baru saja selesai berkumandang saat tiba-tiba kamu meraih tanganku. Tubuhku kaku bersandar pada kursi kayu mendengar pernyataan cintamu. Lima menit aku kehilangan kata hingga akhirnya aku menggenggam tanganmu dan menganggukkan kepalaku. Aku tidak pernah lupa betapa katamu sangat mencintaiku. Aku yang lupa bagaimana aku sangat mencintaimu dulu.
Aku sudah melupakanmu. Hanya saja aku tidah pernah lupa betapa nyamannya berada dalam pelukanmu. Kamu tidak pernah lupa memelukku setiap kali kita bertemu, cukup dua detik tapi begitu hangat. Kamu yang duapuluh delapan centi lebih tinggi dariku, selalu menenggelamkan kepalaku di antara lengan dan dadamu. Biarpun kamu hanya menggunakan parfum seharga lima belas ribu delapan ratus rupiah yang rutin kamu beli tiga minggu sekali di minimarket dekat rumahmu, namun wangi yang melekat di tubuhmu itu selalu mampu membiusku. Aku tidak pernah lupa wangi tubuhmu. Aku yang lupa bagaimana caranya menghilangkan wangi itu dari indera penciumanku walaupun sudah tidak ada kamu di dekatku.
Aku sudah melupakanmu. Hanya saja aku tidak pernah lupa bagaimana hidung mancungmu itu ikut beradu dengan hidungku saat bibir kita bertemu. Aku tidak pernah lupa bagaimana bibirmu selalu sanggup menguasai bibirku. Aku yang lupa bagaimana menguasai diri saat sadar aku semakin jatuh kepadamu.
Aku sudah melupakanmu. Hanya saja aku tidak lupa tanggal ulang tahunmu, 1 Juni. Bersamaan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Tanggal ulang tahunmu sama dengan tanggal ulang tahun Alanis Nadine Morisette, penyanyi wanita yang diidolai Nanda, kakakku. Tanggal ulang tahunmu juga sama dengan tanggal ulang tahun Marilyn Monroe. Aku pernah membaca beritanya di internet saat orang masih memperingati hari kematiannya. Hari ulang tahunmu pun ternyata sama dengan hari ulang tahun almarhumah nenekku. Aku ingat kejutan yang aku berikan kepadamu subuh itu. Sebuah cake cokelat dengan lilin sesuai umurmu. Kamu membuka pintu kosmu dengan mata mengantuk, masih mengenakan kaus coklat bergaris vertikal yang sudah pudar warnanya sebagai kaos kebangsaanmu saat tidur. Rambut ikalmu acak-acakan. Aku bernyanyi lagu ‘Happy Birthday’ untukmu dan membiarkanmu meniup lilin. Kamu cengar cengir melihat kedatanganku dan meraihku dalam pelukanmu. Kali ini lebih dari dua detik. Dan pagi itu, kamu kenyang aku suapi cake coklat favoritmu yang kubeli di toko roti langganan Ibumu. Aku tidak pernah lupa makanan favoritmu. Aku yang lupa begaimana menghapus senyummu yang selalu menjadi senyum favoritku.
Aku sudah melupakannmu. Hanya saja aku masih ingat posisi motormu yang selalu kamu parkir di bawah pohon cemara di depan rumahku. Kamu gantungkan helm hitam berkaca beningmu di spion kananmu. Aku melupakanmu tapi aku masih ingat bentuk motormu. Motor yang kamu gunakan untuk mengantarku ke kampus. Aku masih ingat betul warnanya, jumlah stiker yang menempel pada body depannya dan seberapa sering motor itu dicuci. Seminggu sekali, setiap hari Sabtu sore sebelum kamu bertandang ke rumahku.
Aku sungguh sudah melupakanmu. Potongan tiket bioskop berwarna kuning gading seat B2-B3 untuk jam tayang pukul 18.45 di Studio 1 saat kencan pertama kita dulu sudah entah kusimpan di mana. Itu bukti aku sudah melupakanmu.
Aku sudah melupakanmu. Hanya saja aku tidak lupa dengan lagu yang kamu nyanyikan untukmu di malam minggu ke empat bulan Oktober. Kamu meminjam gitar Nanda dan mulai menyayikan lagu Sheila On 7 - Tunjukkan Padaku. Suaramu yang pas-pasan malam itu mebuatku haru. Aku tertawa melihatmu yang sesekali salah menyanyikan liriknya dan nekat mengulanginya dari awal. Kamu dan aku selalu sontak berteriak di bagian reff, “Wuooohoooo….hoooo… Tunjukkan padaku!”. Malam minggu itu kita bernyayi bersama, berharap semua ini akan berlangsung lama. Aku sudah melupakanmu, buktinya aku sekarang sudah tidak pernah lagi menyanyikan lagu itu.
Aku sudah melupakanmu. Setidaknya sekarang aku sudah tidak pernah sekalipun berpikir untuk meneleponmu atau mengirimkan pesan sekedar menanyakan kabarmu. Sungguh. Tidak sama sekali. Hanya saja aku masih hapal dua nomor handphonemu. Masih kuingat di luar kepala. Aku ingat terakhir kita berhubungan dua bulan lalu, satu hari sebelum kita putus karena pertengkaran yang aku lupa sebabnya. Yang aku ingat, di minggu itu hampir delapan kali kita bertengkar hanya karena meributkan hal-hal sepele. Hubungan ini tidak sesepele hal-hal sepele yang kulupakan.
…
Kuambil gitar dan mulai memainkan.
Lagu yang biasa kita nyanyikan
Tapi tak sepatah kata yang terucap
Hanya ingatan yang ada di kepala
Hari berganti angin tetap berhembus
Cuaca berubah daun-daun tetap tumbuh
Kata hatiku pun tak pernah berubah
Berjalan dengan apa adanya
Di malam yang dingin dan gelap sepi
Benakku melayang pada kisah kita
Terlalu manis untuk dilupakan
Kenangan yang indah bersamamu
Tinggalah mimpi
Terlalu manis untuk dilupakan
Walau kita memang tak saling cinta
Tak kan terjadi di antara kita
(Slank – Terlalu Manis)
…
Aku ingin melupakanmu. Aku berusaha melupakanmu.
Aku sudah melupakanmu.
Anggap saja begitu.
ditulis @andhkctra dalam http://chaznologic.tumblr.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment