Monday, September 3, 2012

Peluk Tidak Berarti Memeluk

Teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja,
indahnya saat itu, buatku melambung di sisimu,
terngiang hangat nafas segar harum tubuhmu,
kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu.

#YangTerbaikBagimu

Di sini, di atas tanah yang berbeda, mataku akan membentuk bola-bola kaca di tiap-tiap sudutnya ketika mendengar lagu ini. Lagu ini menyeret pikiranku kembali ke beribu-ribu hari yang lalu, dimana nasihat ayah tidak sepenuhnya diindahkan, dimana apa yang diinginkan ayah dijalani tidak dengan sepenuh hati, bahkan saat dimana aku tidak menuruti apa yang diinginkannya.

Peluk tidak berarti memeluk, manja bukan berarti dimanja. Bagiku, pelukan ayah berbeda dengan pelukan ibu. Ibu memelukku dengan tangan-tangannya dengan penuh cinta, sedangkan ayah memelukku dengan perhatian yang tak kalah hebatnya dari pelukan ibu. Sayangnya, aku, dan mungkin juga kalian belum bisa memahami bagaimana cara ayah memeluk kita. Pelukan abstrak ayah seringkali disalahartikan. Terkadang sosok Ayah mengusik kenyamananku di kala waktu yang beliau anggap bermanfaat terbuang sia-sia di depan layar computer hanya untuk game yang tidak masuk akal menurutnya.

Terkadang pula sosok Ayah sangat tidak diharapkan ada di dekatku ketika pagi datang menyapa. Beliau akan selalu berteriak memanggil namaku, kakak, dan adik-adikku untuk menghabiskan beberapa gelas air putih yang katanya sangat baik untuk kesehatan. Sangat mulia, tapi tidak kami indahkan. Aku akan mulai menggeser kursi yang ku duduki saat menonton televisi beberapa langkah ke belakang di saat bunyi motor Ayah mulai terdengar dari tikungan di depan sana. Menonton televisi dengan jarak yang terlalu dekat sangat tidak baik untuk kesehatan mata. Itu katanya. Aku terlihat sangat patuh di hadapannya, tetapi sebenarnya aku begitu munafik.

Berkisah panjang lebar tentang masa-masa yang lalu membuat hati tersayat menahan beban rindu pada sang Ayah. Inilah hidup, sedetikpun waktu tak bisa diputar mundur. Ini penyesalan. Penyesalan yang menjadi cambuk bagiku agar selalu mengerti arti dari pelukan sang Ayah.

Sekarang, saat udara yang saya dan ayah hirup tidak berasal dari pepohonan yang sama, aku baru menyadari bahwa ayah selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Ayah mempunyai cara tersendiri menyayangi anak-anaknya dan Ayah juga mempunyai rencana mulia untuk masa depan anak-anaknya.

Ayah, kata maaf mungkin tak sebanding dengan impian dan harapanmu yang aku biarkan terkikis oleh kerasnya hidup. Aku tidak membencimu, hanya saja aku memiliki cara tersendiri untuk membahagiakanmu. Aku hanya ingin mandiri, menentukan arah hidup sendiri tanpa harus ada yang harus mengatur kemudinya.

Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu,
kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu

Ayah, kutitipkan salam sayangku untukmu di hembusan angin yang melintas, di butiran pasir yang berterbangan, di butiran-butiran air yang menguap ke angkasa, dan di buih laut di pinggir pantai, agar ketika waktunya tiba, mereka bisa mengabarkan kepadamu bahwa aku di sini bahagia dan senantiasa tersenyum mengingat ‘peluk’mu yang tidak memelukku.


Mataram, 2 September 2012


Anak Perempuan Tertuamu,

Tityn.


ditulis @ti_tyn dalam http://titynlunatic.wordpress.com

No comments:

Post a Comment