Monday, September 3, 2012

Pertama Jatuh Cinta

Father-and-son


“Kamu masih ingat pertama kali jatuh cinta?” tanya Wanda sambil tersenyum dan menatap lembut mataku. Agak kaget aku mendengarnya. Untuk apa dia menanyakan ini? Bukankah kepada siapa saja aku pernah jatuh cinta, dengan siapa saja aku pernah berpacaran, karena siapa saja aku pernah patah hati bukanlah hal yang penting baginya? Apakah aku sudah berbuat salah hingga dia bertanya seperti ini?
“Aku tak pandai bercerita,” ucapku pelan. “Tapi kalau kamu memberiku sedikit waktu, aku akan menuliskan semua yang kuingat tentang pertama kali jatuh cinta.”
“Di hati?”
“Di laptop lah,” tukasku seraya meraih netbook biru kesayanganku yang sedari tadi cuma menampilkan halaman akun twitter. “Beri waktu beberapa menit, aku akan menuliskannya.”
“Selama itu aku ngapain?”
“Download satu lagu dari handphone kamu..”
“Lagu apa?”
“Iwan Fals-Buku Ini Aku Pinjam.” Jawabku. “Nanti setelah selesai menulis, kamu akan tahu kenapa aku minta lagu ini.”

Wanda mengangguk. Jariku mengklik logo MS Word di desktop kemudian mulai menulis.

*

Saat itu aku masih kelas 3 SD.
Ayah dan Ibu menyekolahkan aku di SD Islam. Agar ilmu yang kudapat tak hanya ilmu yang berguna di dunia, tapi juga bisa bermanfaat untuk bekal di akhirat nanti. Agar aku jadi orang yang taat dalam beragama, mengerti mana yang berpahala dan mana yang berdosa, dan agar aku jadi anak yang patuh pada orang tua, guru serta agama, begitu kata mereka. Jadi di sekolah selain mendapat mata pelajaran umum aku juga belajar tentang Al Quran, hadist nabi, ilmu fiqih, ilmu tajwid, bahasa arab, bahkan tentang sejarah perjalanan hidup para nabi juga rutin menjadi pelajaranku setiap minggu.

Gadis itu bernama Anita. Dia teman sekelasku.
Aku sudah lupa nama lengkapnya. Yang kuingat adalah nama Anita berarti ‘perempuan cantik’. Dia sangat bangga dengan nama itu. Tak bosan-bosannya Anita menceritakan makna nama itu pada semua teman sekelasnya termasuk aku. Jika benar nama adalah doa, sudah pasti Anita adalah sebuah bukti yang sempurna.

Anita punya Ayah seorang polisi. Aku masih ingat senyumya yang lucu. Sebentar.. Tentu saja maksudku si Anita, bukan Ayahnya. Dia, si Anita ini punya senyum yang lucu, sepasang mata yang bulat indah dan pipi chubby yang membuatku selalu ingin mencubitnya. Satu lagi yang membuatku tertarik dengan Anita adalah karena dia pintar. Dia juara kelas, nilai-nilainya terutama di pelajaran Matematika selalu mendekati sempurna. Gadis cantik dan pintar. Bagaimana aku tak tertarik padanya?

Aku tak tahu tepatnya sejak kapan aku jatuh cint.. Ah bukan.. Akan kuulang sekali lagi. Aku tak tahu tepatnya sejak kapan aku mulai memperhatikan Anita. Yang jelas sejak itu aku berubah menjadi lebih genit dari biasanya. Bukan genit dalam hal gaya bicara, cara berjalan, maupun gerak tubuh lainnya. Untuk hal-hal seperti itu aku bisa dikatakan masih ‘sangat laki-laki’ dan sama sekali tak terlihat ngondek, gemulai, atau seperti banci. Yang kumaksud ‘lebih genit’ adalah aku mulai suka lebih lama mematut diri di depan cermin. Merengek pada Ibu agar menyeterika seragam merah putihku lebih licin dan lebih rapi lagi. Aku mulai sering diam-diam mencuri pakai haircream dan parfum milik Ayah agar bisa ke sekolah dengan rambut lebih rapi, klimis, dan tentu saja wangi. Kalau sudah begitu tinggal menunggu saatnya menjelang akhir bulan, Ayah mendadak kaget karena hair cream dan parfumnya habis lebih cepat dari biasanya. Aku pura-pura tidak tahu, dan kalau Ayah bertanya, aku hanya menjawab dengan nada takut-takut, ‘Aku hanya memakainya sedikit, Yah!’ dan urusan pun selesai. Ayahku yang baik, sabar, dan tak pernah sekalipun memarahiku itu tak akan bertanya lagi.

Sejak itu, hampir tiap hari aku selalu berusaha untuk menarik perhatian Anita. Aku sering mencari-cari waktu agar bisa ngobrol lebih lama dengannya, terutama saat jam sebelum masuk kelas, kadang juga saat jam istirahat di kantin sekolah. Biasanya aku akan pura-pura bertanya tentang bagaimana tentang film kartun yang ditontonnya kemarin sore, tentang pelajaran Matematika yang tak kumengerti, bahkan kadang juga tentang telenovela Meksiko yang jelas-jelas tak kumengerti ceritanya. Bagiku itu tidak penting, semua hanya alasanku untuk lebih lama ngobrol berdua bersama Anita.

“Anita,” kataku pada suatu siang saat jam istirahat. “Nanti malam ikut nonton layar tancap yuk.”
“Di mana? Film apa?”
“Di lapangan dekat gedung kabupaten. Judulnya Misteri Dari Gunung Merapi.”
“Nggak mau ah. Itu kan film setan.” Jawabnya cuek.
“Bukan. Itu film silat. Tapi ada Mak Lampirnya sih.”
“Mak Lampir kan film setan. Dia nenek sihir tauk!”
“Iya. Tapi kan bukan setan. Nenek sihir berbeda dengan setan, Anita.”
“Tapi kan sama-sama seram.”
“Ayahmu kan polisi. Masa anak polisi takut dengan nenek sihir?”
“Polisi hanya punya pistol. Nenek sihir tidak akan takut dengan pistol.”
“Tapi kita kan sekolah di SD Islam, Anita.”
“Terus kenapa?”
“Kita pernah diajari ayat kursi. Nanti kalau ada setan, kita tinggal membaca ayat itu. Setannya pasti kabur.”
“Tapi aku tidak hafal.”
“Aku hafal. Aku yang akan membacanya kalau setan datang. Percaya deh.”

Tanpa kuduga, Anita langsung mengangguk, lalu tersenyum menatapku.

“Yuk,” ujarnya riang. “Nanti kita langsung bertemu di sana ya.”
“Jam setengah delapan ya. Aku naik sepeda dari rumah.”
“Tapi kalau nanti setannya benar-benar datang..” kata Anita dengan nada manja. “Kamu harus janji akan mengusirnya dengan ayat Kursi.”
“Siap!” ucapku mantap.

**

“Nice! Jatuh cinta kemudian memanfaatkan Mak Lampir dan ayat Kursi. Dasar!”
“Bukan jatuh cinta,” bantahku sambil tertawa. “Mungkin hanya.. Yah, mulai merasakan ketertarikan pada lawan jenis.”
“Menurutku sih hampir sama.” Tukas Wanda sambil mencomot french fries dari piring di atas meja. “Lagunya sudah selesai kudownload. Ini lagu kenangan kamu sama Anita?”
 “Bukan lah..” Jawabku. “Saat sekecil itu mana paham aku lagu cinta?”
“Lalu?”
 “Itu lagu yang sering terdengar dari tape deck di ruang tamu rumahku tiap pagi. Yang mengiringi saat aku dan keluargaku sarapan di meja makan, atau saat aku berdiri di depan cermin dan diam-diam memakai haircream atau parfum milik ayahku agar bisa ke sekolah dengan lebih rapi dan wangi untuk menarik perhatian Anita.” Jelasku panjang lebar.
“Ayahmu suka Iwan Fals?”
“Ayah dan Ibuku adalah penggemar beratnya.” Jawabku bangga. “Bahkan saat aku sudah usia kuliah, mereka masih menyempatkan diri menonton konser Iwan Fals...” Aku menghela nafas sebentar, ada sedikit haru yang terlintas saat mengucapkan kalimat itu. “Mereka masih menyempatkan diri menonton konser Iwan Fals.. hanya berdua,” pungkasku.
“Kamu punya orang tua yang keren dan romantis.”
“Iya dong! Makanya anaknya juga keren dan romantis kan?” ucapku bersemangat. “Iwan Fals juga keren. Dia bisa menyanyikan lagu cinta seperti apapun tanpa terdengar cengeng.”
“Untuk yang satu ini, aku setuju.”
“Bahwa aku juga keren dan romantis?”
“Bukan kamu. Tapi Iwan Fals!” bantah Wanda. “Yang bisa menyanyikan lagu cinta tanpa terdengar cengeng.”
“Hahaha!”

Wanda mengklik tombol PLAY di pemutar musik handphonenya. Alunan lagu lama dari seorang legend yang kini menjadi model iklan kopi sachetan itu mulai terdengar. Mengiringi kenanganku pada saat masa kecilku saat jatuh cinta pertama kali, dan tentu saja pada sosok yang paling kubanggakan sepanjang hidupku, almarhum Ayahku.

Di kantin depan kelasku..
Di sana kenal dirimu..
Yang kini tersimpan di hati..
Jalani kisah sembunyi..

***

Harmoni, 2 September
Ditulis ulang dari bab kedua short-series 'Atas Nama Lagu Cinta' yang ditulis setahun lalu.


ditulis @monstreza dalam http://faisalreza.posterous.com

No comments:

Post a Comment