Tuesday, September 11, 2012

Seharusnya Jujur Saja

“Kamu cinta aku nggak sih, Nat?”

Pertanyaan itu tiba-tiba diucapkan oleh kekasihku, Mas Rama, saat kami sedang makan malam berdua, merayakan ulang tahunnya.

“Cinta.” jawabku singkat.

Mas Rama terdiam. Keheningan melanda. Aku dan dia sama-sama sibuk dengan makanan kami masing-masing. Ini sudah ketiga kalinya dia bertanya seperti itu hari ini. Kujawab dengan jawaban yang sama.

“Kenapa sih? Seharian ini kamu tanya itu terus. Ada yang mengganggu pikiranmu?” aku balik bertanya. Memecah keheningan di antara kami berdua. Mencoba mencairkan suasana.

“Maaf, aku cuma masih belum bisa percaya aja aku bener-bener bisa jadian sama kamu.” dia menjawab.

“Hei, kita udah pacaran lebih dari setahun, dan kamu masih mikirin itu, Mas?” tanyaku lagi.

“Ya. Seringkali aku merasa kamu nggak sungguh-sungguh padaku. Dan kamu nerima aku cuma karena kasian sama aku. Aku merasa aku terlalu beruntung karena bisa memilikimu.” katanya sambil menyendok nasi di piringnya.

“Aku kan udah bilang dari dulu, jangan terlau tinggi menilaiku. Kamu ini aneh, justru aku ini yang minder bisa jadian sama kamu, Mas.” sahutku.

Lalu keheningan melanda lagi. Dia terdiam lagi. Lalu menghela nafasnya perlahan. Kemudian menatap kedua mataku sambil tersenyum.

“Kamu sendiri, cinta aku nggak?” aku bertanya lagi.

“Kalo aku nggak cinta ngapain aku bertahun-tahun nungguin kamu?” katanya.

“Ya udah, kalo gitu kita sama-sama cinta kan. Beres.” jawabku singkat.

“Tapi, Nat, kamu beneran udah lupa sama mantanmu itu?” tanyanya lagi.

“Siapa?” tanyaku.

“Gerald.” jawabnya.

“Ya ampun, Mas, kamu masih mikir aku belum bisa move on dari dia? Kalo belum bisa move on ngapain aku jadian sama kamu? Udah sih, Mas. Nggak usah nanya-nanya itu lagi ya. Ngapain sih bahas-bahas masa lalu, yang penting kan sekarang aku sama kamu. Iya kan?” aku mencoba meyakinkannya.

“Iya sih. Ya udah diselesaiin makannya biar bisa cepet pulang.” sahutnya.

Mas Rama pulang setelah mengecup keningku. Kubiarkan mobilnya berlalu sebelum aku masuk ke dalam rumahku. Ada ragu yang melanda hatiku. Ada rasa bersalah yang mengusik nuraniku. Ya. Karena sesungguhnya, aku telah berdusta padanya.

Kutatap sebuah foto berpigura di atas meja belajarku. Sosok seorang pria yang sedang asyik dengan kameranya terpampang di sana. Pria itu, Gerald. Mantan kekasihku. Kami putus 3 tahun yang lalu. Dan jujur, aku masih belum melupakannya sampai saat ini. Kami putus bukan karena kami sudah tak saling cinta lagi. Tapi karena dia harus pergi jauh melanjutkan studinya ke luar negeri. Dia tak ingin mengikatku karena keberadaannya di sana entah sampai kapan. Dan dia tak ingin aku menunggu, meski sesungguhnya, aku pasti akan menunggu walau dia tak meminta. Tapi, setelah dia pergi, dia sama sekali tak pernah menghubungiku. Komunikasi di antara kami berdua pun terputus sejak saat itu.

Lalu, Mas Rama datang. Sebenarnya kami berdua sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan sebelum aku mengenal Gerald. Dia calon idaman kedua orangtuaku. Sosok pria yang mapan, sopan, dewasa, mandiri, bertanggung jawab dan bisa menjagaku. Dia mulai benar-benar ‘hadir’ setahun setelah Gerald pergi. Dia mulai mendekatiku, selalu ada setiap waktu. Tak lama kemudian akhirnya dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Dia bilang dia cinta aku. Dia bilang dia sudah menaruh hati padaku sejak beberapa tahun yang lalu. Dia bilang dia akan menjagaku. Dan saat itu, aku langsung menerimanya.

Jujur saja, sejak awal aku tak pernah jatuh hati padanya. Namun aku butuh sosok baru yang bisa membantuku melupakan Gerald. Dan Mas Rama hadir di saat yang tepat.

Selama ini aku tak pernah menganggap Mas Rama kekasihku. Dia seperti sosok kakak bagiku. Aku tak bisa mencintainya seperti dia mencintaiku. Aku hanya mencoba mencintainya. Aku tak bisa menjadi seperti apa yang dia inginkan. Aku sayang padanya, aku tak ingin menyakitinya. Tapi, perasaan sayangku ini bukanlah seperti yang dia harapkan.

Sampai saat ini, masih Gerald yang ada di hatiku. Aku belum bisa lupa. Aku masih merindukannya, aku masih mengharapkannya, dan aku masih menunggunya. Aku tahu Mas Rama pasti merasa. Pasti karena itu juga seharian tadi dia terus saja bertanya. Sungguh, ini juga menyiksaku. Aku tahu seharusnya aku tak berdusta, bahkan setelah sekian lama kami bersama. Tapi aku belum bisa mengatakan semua ini padanya.

Kuambil fotoku bersama Mas Rama yang kusimpan di dalam notes kecil yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Kutatap wajah Mas Rama yang ada di foto itu.

“Maaf, Mas. Aku egois. Aku pasti akan mengatakan yang sesungguhnya suatu hari nanti. Tapi nggak sekarang, karena aku masih butuh kamu.”

ditulis @gandess dalam http://gandessitoresmi.tumblr.com

No comments:

Post a Comment