Sunday, September 2, 2012

Senja Bersamamu



When you try your best, but you don’t succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can’t sleep
Stuck in reverse

Hujan di luar sana masih deras, sesekali aku pandangi jendela yang kacanya mengembun, menatap air yang terlihat jelas turun tidak beraturan, aku dapat melihatnya karena terkena bias cahaya lampu jalan.

Aku tergerak menulis di kaca berembun itu. “Rindu kamu, Karang.”. Lalu tanpa sadar air mataku pun meleleh membasahi pipiku.

***

Aku menguap lebar, menunggu layar netbookku padam. Udara sepoi-sepoi di taman membuatku mengantuk. Sekarang sudah pukul lima sore dan aku memutuskan istirahat saja setelah sebungkus kripik kentang dan segelas cappuccino ternyata tidak berhasil membantu memecahkan kebuntuan otakku menyelesaikan tulisan yang aku buat. Tidak ada gunanya memaksakan diri.

Ups! Dimana tadi kunci motorku kutaruh ya… kok di dalam tas tidak ada. Aku mengeluarkan isi tasku. Tidak ada. Kurogoh sakuku. Nihil. Tidak ada juga. Atau mungkin tadi terjatuh ya… Gawat nih!

“Cari ini ya…” Seorang laki-laki berkaos biru mengulurkan kunci motorku.

Dan saat itulah aku cuma bisa diam melihat… lelaki itu bicara. Sensasi ini… mengapa aku merasakannya? Sensasi debaran jantung kencang yang membuat darahku mengalir keras dan membuat perutku mulas begitu mendadak.

“Boleh aku duduk?” Tanyanya setelah melihat aku menguasai keadaan. “Maaf kalau tadi mengejutkan.”

“Silahkan… terima kasih kuncinya.” Jawabku mencoba tersenyum padanya.

“Menunggu seseorang?” tanyanya. Sepertinya dia mencoba menyelidik. Hmm… kalau diperhatikan lebih lama, orang ini ada miripnya dengan… mmm… siapa ya? Ah, lupa. Pokoknya manis. Ada garis wajah yang cukup kuat terpasang di sana.

“Menunggu senja.” Jawabku. “Karena itulah, aku sering kemari.”

“Pecinta senja?” tanyanya.

Aku tersenyum. “Kamu? Lagi nunggu juga?” aku balik bertanya.

Dia terdiam, alis matanya naik sebelah. “Hmm, nggak juga. Iseng aja main ke sini.”
Lama menilik garis-garis wajahnya, aku mencoba mengingat-ingat. Tunggu… aku sepertinya pernah akrab dengan suaranya. Tapi… tidak mungkin. Apakah dia…? Sepertinya bukan.

Tiba-tiba ada panggilan masuk di BBnya. Ringtone yang terdengar lagu Fix You dari Coldplay.

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

Lagu itu mengingatkanku pada… Ah, sudahlah… tidak mungkin…

“Hey, kenapa?” tanya dia tiba-tiba. Aku gelagapan, merasa bingung karena tadi terlalu terhanyut.

“Ga apa-apa” Jawabku.

“Suka lagu ini ya? Aku juga suka” Dia tersenyum. “Lagu ini mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang sangat berarti untukku.”

“Siapa? Pacar?”

Dia kembali tersenyum. “Dia senjaku. Dia bidadariku. Penyemangat hidupku.”

Deg! Benarkah dia…?

“Dia suka warna biru dan jingga. Seperti warna senja. Suka menulis puisi.”

Hah!!! Karang… kaukah itu??!!!

***

Lima tahun yang lalu…

Kantor sudah mulai sepi, hanya aku dan beberapa orang yang masih terlihat berkutat menggeluti pekerjaan. Aku memutuskan keluar dari ruangan, meluruskan kakiku yang kaku sambil menyegarkan mataku yang sudah nyaris tak bisa diajak kompromi.

Aku melongok ke luar jendela kantor dan melihat langit berwarna merah keemasan, senja mulai menjelang. Aku teringat Karang.

Pecinta senja. Ya, itulah kami berdua. Tiba-tiba aku kangen sekali pada Karang. Kata-katanya yang selalu penuh humor, bisa membuatku terpingkal-pingkal. Berbagi khayalan tentang masa depan yang tak mungkin menjadi nyata. Menikmati menit-menit saat waktu begitu bersahabat dengan kami.

Aku jatuh cinta hanya dalam tempo sebulan sejak mengenalnya! Semakin hari, aku semakin merindukannya, jika dia tidak hadir aku sering bertanya sedang kemanakah dia?

Padahal biasanya aku tidak pernah perduli, apakah seseorang akan jatuh cinta padaku atau tidak. Karena aku begitu transparan dan apa adanya. Tapi tidak untuk Karang.

Teringat kata-kata Lila, sahabatku, tempo hari ” Bagaimana engkau bisa mencintainya? Sementara engkau tidak tahu siapa dia? Seminggu lagi kamu menikah Nad.”

Huuff… entahlah. Aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Buntu. Aku mengambil HP dan memencet nomor yang sangat aku hafal.

“Karang…”

“Hey Nad…”

Hening.

“Apa kabar Karang?”

“Baik Sayang. Kamu gimana?”

Hmm… Tahukah kamu, panggilan Sayang itu selalu mampu membuat hatiku bergetar, meleleh dan meneteskan air mata. Mengapa aku tak pernah mampu melupakanmu?

“Aku baik juga…”

“Syukurlah…”

Aku bingung. Aku selalu kehilangan kata-kata ketika bicara denganmu.

“Halo Sayang. Kenapa?”

“Ga pa-pa Karang.”

“Kamu kangen ya?”

Ya, itulah yang selalu aku rasakan untukmu. Itulah yang ingin aku katakan untukmu. Dan aku tercekat. Tapi kau pasti sudah merasakannya.

“Hmm… Itu udah pasti… Gak usah ditanya lagi.”

Kamu tersenyum lirih.

“Aku juga kangen kamu Sayang.”

“Kau tahu aku bukanlah bidadari. Dan aku tahu kau bukanlah malaikat. Tapi mengapa saat kita berdua bersama, aku selalu merasa kita bagaikan sedang berada di surga. Tenang, nyaman indah dan damai ketika bersamamu.”

“Siapa bilang kau bukan bidadari? Buatku kau lebih baik dari bidadari-bidadari itu…”

Kau selalu bisa membuat aku tersanjung.

“Mengapa cinta tak pernah mudah untuk bersatu. Aku mencintaimu. Kau pun mencintaiku. Tak cukupkah itu membuat aku bisa selalu bersamamu. Aku sayang kamu Karang. Aku ingin memeluk ragamu. Bukan hanya bayangmu. Aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin membuatmu bahagia dengan diriku. Bukan hanya melihatmu bahagia. Tapi apa kuasaku atas semua ini? Aku ingin marah. Tapi pada siapa? Untuk apa? Karena bila ada yang salah dari cerita cinta kita, akulah yang salah. Mengapa harus ada rasa sayang ini bila aku tak bisa bersamamu. Apa arti semua ini? Kadang aku iri pada mereka yang bisa mengekspresikan rasa sayang mereka di mana saja, kapan saja. Sedangkan kita? Huuufff… Menatap matamu saja, aku tak bisa.”

“Nggak Sayang.. Kamu sama sekali gak salah. Gak ada yang salah. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Jangan pernah bertanya mengapa bisa ada rasa sayang ini… Kita tidak pernah tahu… Nad, aku sayang kamu!” ucapnya.

“Aku sayang kamu juga. Karang, aku bisa nekat melakukan apa pun. Kamu tahu itu kan?”

“Jangan ngaco! Janji sama aku kalau kamu nggak akan ngelakuin sesuatu yang bodoh!” ucapnya tegas.

“Jangan berakhir, Ka!” isakku.

“Nggak bisa, Sayang… nggak bisa. Arrgghh… aku sayang kamu, Nad… tapi nggak bisa,” ratapnya.

“I love you! I love you Karang! Semoga kamu mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku, Ka! Maukah kau berjanji, suatu waktu menemaniku menikmati senja sekali saja bersamaku”

“Iya Sayang. Suatu hari nanti…”

Aku bingung bagaimana aku harus mengatakannya? Aku mencintai Karang. Tapi beberapa hari lagi aku akan menikah dengan Rangga, lelaki yang sebelumnya juga aku cintai.

Aku kembali sendiri dengan duniaku dan kekecewaanku.

***

Karang.

Aku merasakan itu. Detik ini juga.

Tanpa benar-benar berpikir, aku meraih tangan Karang dan mengecupnya pelan. Dia terkejut tapi kemudian tersenyum.

“Ke mana aja, Ka?”

“Nada, kamu bahagia kan?” tanya Karang sambil memegang bahuku lembut. Aku mengangkat kepala dan menatap mata Karang, mata yang selama ini kurindu. Aku tidak bisa menahannya lagi. Seperti bendungan yang akhirnya pecah karena dindingnya yang sudah dipenuhi retak menahun, air mataku pun mengalir kencang dan tak bisa dihentikan. Karang yang panik melihatku tiba-tiba menangis, dengan lembut mengusap air mataku.

Kutolehkan wajahku menatapnya. Ada riak kecil di wajahnya.

“Jangan nangis ya… Tuh, matahari udah mau tenggelam!”

Aku segera menatap langit yang semburat jingga di barat.

Dengan antusias dia berdiri dan menikmati sepuas-puasnya. Tangannya ia lebarkan. Matanya ia pejamkan. Ia menarik napas sangat dalam, dan mengembuskannya tanpa beban, kemudian ia berbalik ke arahku.

“Terima kasih Nad atas semuanya. Tuhan mengabulkan doamu. Dia mengirim bidadari lain untukku. Seminggu lagi aku akan menikah.”

Mataku berkaca-kaca. Tapi aku tahu, aku bahagia. Karena aku merasakan kebahagiaan itu pada Karang.

“Terima kasih Karang. Mau menemani aku menikmati senja. Semoga kamu bahagia.”

Suara adzan dari sebuah masjid berkumandang. Senja telah berlalu. Kami akhirnya menikmatinya berdua.

“Semoga kamu dan keluargamu selalu bahagia. Aku akan selalu berdoa untuk itu.”

Karang pergi. Mataku masih tak henti mengantar sosoknya hingga lenyap. Terima kasih Karang.

Tears stream down your face
When you lose something you cannot replace
Tears stream down on your face
And I..





ditulis @hauranazhifa dalam http://hauranazhifa.tumblr.com

No comments:

Post a Comment