Monday, September 10, 2012

Syair Kepulangan


“Jarak dan waktu diciptakan Tuhan, untuk tahu siapa yang lebih hebat dalam kesetiaan,” ujarmu sedikit puitis.

Ah, itulah yang kusuka darimu. Seperti namamu, Padika, yang dalam bahasa sanskerta berarti syair, bahkan ketika detik-detik yang tersisa satu persatu meninggalkan kita, kamu masih saja sempat menghujani telingaku dengan pilihan kata yang luar biasa.

Kamu lalu tersenyum dan memelukku erat-erat. “Jaga diri baik-baik, Rana! Dua tahun tidaklah lama jika kita melewatinya dengan hati dan rasa yang cengkrama,” bisikmu, diikuti kecup hangat bibirmu di keningku. Aku bisu, kalimat terbaik yang mampu kubahasakan saat ini hanyalah rintik dari mataku yang mendung sejak tadi.

Layar besar yang tergantung di dinding Bandara memberi tanda bahwa kebersamaan kita harus diakhiri segera. Kamu mememelukku sekali lagi, melambaikan tangan, sebelum berbalik dan berlari menuju gerbang keberangkatan. “I’ll be missing you so bad, Dika!” Kali ini hatiku yang bicara.

***

Hari-hari penantianku akan kepulanganmu sebagian besar kulalui tanpa melibatkan pelik. Terimakasihku yang begitu besar bagi teknologi, terutama kepada siapapun yang mengembangkan fitur video chat seperti pada aplikasi semacam skype maupun Yahoo! Messenger. Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa pada hatiku, tak pernah sedikitpun terbersit ragu, bahwa merenggangnya raga akan juga merenggangkan rasa. Ya, benar katamu, jarak dan waktu hanya dimensi, yang seberapapun besarnya akan menjadi nihil, oleh jembatan hati.

Tak hanya oleh hati, jarak dan waktu yang ada di antara, juga termampatkan oleh kisah dan cerita. Aku yang mendongengkan cerita keseharianku. Juga kamu, yang menuturkan kisah seru tentang petualanganmu di seberang sana. Seperti malam ini, kita bertukar kata hingga lama. Aku bercerita soal keberhasilanku pertama kalinya membuat brownies kukus yang mengembang sempurna, yang pada percobaan-percobaan sebelumnya selalu sukses membuatmu tertawa dan mengejekku dengan bercanda bahwa brownies buatanku adalah brownies bantet terenak di dunia. Sedang kamu, mengisahkan proposal penelitianmu tentang pemanfaatan beberapa spesies diatom dalam riset bioteknologi molekular yang diapresiasi dengan begitu baik oleh profesor pembimbingmu.

Tetapi rindu tetaplah rindu. Ada ketika, peluk hangat dan aroma tubuhmu menjadi kebutuhan nomor satu, tak cukup hanya mata dan telinga yang dimanja hadirmu. Pada saat-saat demikian, yang bisa kulakukan untuk meredakan, adalah hanya dengan membaca syair-syairmu tentang jarak, waktu, dan rindu. Salah satu yang paling sering kubaca yaitu syair sederhana tentang rindu, yang katamu kautuliskan pada malam pertamamu di Amerika sana. Syair yang kauberi tajuk “Rindu Ini Tak Berjudul”.

Rindu ini tak berjudul.
Ia tenang seperti simpul,
pada gelimang kenang yang kaurangkul.

Rindu ini tak bertanda.
Yang desirnya pekak tak nada,
dan syairnya sebungkam-bungkam sabda.

 Rindu ini tak bernama.
Hanya cerita pada gema,
tentang semesta kita yang cengkrama

Rindu ini hanya rindu.
Tari jemari paling sendu,
bagi mentari paling candu,
kamu.


***

Hari ini kepulanganmu, lebih cepat dua minggu dari seharusnya. Ah, ini karena kamu yang terlampau rindu, kan, Dika? Sebelum meninggalkan rumah untuk menjemputmu, kusempatkan membaca lagi syair terakhir yang kau kirimkan kepadaku minggu lalu, “Syair Kepulangan”

Angin,
sampaikan padanya perihal kepulangan,
juga tentangku yang membawakan bintang.

Rindu,
bersiaplah hempas dan terenyahkan,
oleh peluk cium paling bandang.

Jarak, Waktu,
telah kubuktikan kehebatan perasaan,
mengusir renggang dengan lantang.

Kamu,
tak perlu riuh siapkan sambutan,
cukup sediakan seulas senyuman,
aku pulang.


Gaun putih yang kukenakan hari ini begitu kontras dengan busana hitam-hitam yang dikenakan semua yang hadir. Ah, mereka tidak mengenalmu, Dika. Kamu benci hitam, kan? Katamu, kelamnya menguarkan aroma kesedihan teramat dalam. Namun,entah hitam, atau kepergianmu, yang mengalirkan begitu banyak air mata hari ini. Tapi bagiku, kedukaan paling dalam di hari ini adalah kenyataan, bahwa penghujung dari segala penantianku menunggumu kembali adalah melihatmu pergi lagi.

Kujatuhkan kepalaku di atas kemudi setelah kututup pintu mobilku dengan sedikit bantingan. Kumuntahkan semua isakku yang tak sempat kukeluarkan di pemakamanmu tadi. Ah, Dika, kalau saja aku tak memintamu membawakanku replika Brownies Amerika, kamu tak perlu berada di lokasi penembakan itu. Selanjutnya kuputar lagi lagu yang sejak kemarin kunikmati berulang-ulang dalam kesendirian.

“And all the tears I cry,
no matter how I try,
they’ll never bring you home to me.
Won’t you wait for me …
in heaven?”


Sekarang giliranmu menungguku, Dika. Hingga tiba saatnya kudengar lagi syair-syairmu, di Surga. []


*) Diinspirasi dari lagu Will You Wait For Me - Kavana

Ditulis oleh @__adityan dalam http://deetzy.tumblr.com

No comments:

Post a Comment