“Jadi, negara apa?”
Sebenarnya nyaris saja mulutku menjawab, ‘Semuanya,’ tapi khawatir rahangmu kram, atau belum apa-apa kau sudah mengajakku pulang. Maka dengan mata memejam, telunjukku menelusuri permukaan licin kertas yang masih beraroma baru itu. Bergerak ke kiri, ke kanan, menimbang-nimbang sebentar, sebelum kemudian berhenti di … “Inggris?” Suaramu membuat kelopakku membuka. Ujung jariku tepat berada di atas London rupanya.
Segera kau genggam tanganku, lalu memulai perjalanan.
Dari Beckingham Palace, kau mengajakku melintasi trotoar dengan pemandangan tata kota yang teratur menuju Coridor of Power—tiga serangkai tempat wisata; House of Parliamant, Katedral Saint Paul, dan Dawning Street 10. Kemudian menyusuri Sungai Thames dengan kapal berderek terbuka, ke Shakespeare’s Globe Theatre, tak lupa singgah di Tower Bridge—ikon kota London.
Kau meraih cangkirmu dan meminum teh di dalamnya—salah satu kebiasaan warga London. Akupun meraih kopiku yang sedari tadi sengaja ku pinggirkan ke tepi meja agar kertas di hadapan bisa membentang. Lalu kita mulai memperdebatkan Bacon Butty—sarapan khas orang Inggris—yang kau puja dan aku yang bersikeras kalau dendeng jauh lebih enak dari Bacon. Tapi aku tak bisa memungkir rasa penasaran akan bebek dan ayam panggang kesukaanmu untuk menu Sunday Roast di The Swan & Edgar.
Kemudian aku ingin ke pub, kataku, juga memakai tattoo, dan mencoba merokok. Itu adalah keinginan random. Bentuk kebebasan terpendam yang tak cukup berani ku lakukan di negara sendiri. Kau terbahak. Beruntunglah orang Inggris yang biasa pergi ke pub di siang hari. Pub bagi mereka adalah tempat nongkrong, makan siang, juga bermain bilyard, jelasmu. Soal tattoo dan rokok, kau tak mengizinkan dengan alasan klise, “Tidak baik.” Aku merengut.
Berpura merengut, tepatnya. Namun membuatmu menggulung peta yang membentang di hadapan kita, memasukkannya kembali ke dalam plastik, lalu menarik sebelah lagi tanganku dalam genggamanmu. Aku jadi tak mampu lebih lama menahan tawa. Kau menimpalinya dengan yang lebih kencang, mengalahkan Ed Sheeran yang melantunkan Lego House dari speaker tempat ini. Begitu lepas, rasanya seperti jiwa yang pulang setelah menempuh perjalanan sesungguhnya.
Disinilah kita, bermil-mil jauhnya dari Inggris, mampir ke kedai kopi di sebelah toko buku, setelah membeli sebuah peta dunia untuk dipajang di dinding kamarmu, dan buku-buku bertemakan perjalanan—seluruhnya adalah obsesimu untuk mengunjunginya satu persatu. Menceritakan tentang London hanyalah permintaanku tadi, dibumbui dengan khayalan kita yang mengikuti dengan bebasnya. Masih dalam angan saja, aku sudah tahu, bersamamu ke tempat-tempat itu akan berkali lipat menyenangkannya.
Dan aku ingin ada dalam cerita di tiap perjalanan hidupmu selanjutnya.
ditulis @beatricearuan dalam http://beatrice-aruan.tumblr.com | Lego House
No comments:
Post a Comment