Tuesday, September 25, 2012

Akaśa dan Gehenna


Langit dataran tinggi Cael siang itu memerah. Naga-naga Máv̱ros yang ditunggangi ksatria-ksatria negeri Gehenna menyemburkan api-api sepanas neraka. Sementara kuda-kuda sembrani sayap emas dari Akaśa, yang salah satunya kunaiki, dengan gesit menghindari serangan-serangan mematikan yang mereka lancarkan.

Serombongan peri-peri Canção dari Gehenna menyenandungkan lagu-lagu peperangan yang menyayat telinga siapa saja dari Akaśa yang mendengarkannya. Untuk serangan ini pun, Akaśa memilih opsi bertahan. Sepasang Carmena, serangga yang dipercaya memiliki kemampuan menulikan, diperintahkan oleh Raja melindungi ksatria-ksatrianya.

Sementara di atas tanah, pemanah-pemanah api (Arquieros), ksatria-ksatria berpedang (Ensibius), dan prajurit-prajurit Akaśa lainnya beradu kekuatan dengan serdadu-serdadu Gehenna. Suara besi-besi beradu, derap-derap langkah kuda dan ksatria ke tanah, serta erangan-erangan yang menguar dari luka seolah memainkan orkestranya.

Ya. Hari itu lah yang diingat sejarah sebagai awal dari Perang Suci Cael, yang tidak juga selesai sampai sembilan ratus sembilan puluh sembilan hari setelahnya.

***

Hari kesembilan ratus tiga belas. Hari itu penugasanku yang ketiga ratus lima kali sebagai panglima perang Akaśa pada Perang Suci Cael. Zirah besi yang melekat di tubuhku sedikit hangus di salah satu sisi, pun disesaki goresan dan guratan dalam dari pedang-pedang Agma prajurit Gehenna. Sebelum tinggal landas, kucium dan kubisikkan nyanyian doa-doa ke telinga Aspralga, sembrani sayap emasku. Kugenggam kuat-kuat Hastea, tombak perangku yang dibuatkan khusus dari altoneite, logam terkuat di semesta Cael, yang telah ditempa api abadi Bolcán. Hastea lah perpanjangan tanganku, pelindung Akaśa dari luka dan hangus yang dihadirkan Gehenna.

Saat itu, Akaśa sedang berbangga. Tsovakal, panglima perang Gehenna, terluka parah terkena tebasan Hastea saat duelku dengannya di langit Cael. Sayangnya, aku gagal menghabisi nyawanya saat itu juga. Seekor naga Máv̱ros dengan cekatan menyelamatkan Tsovakal yang hanya sejengkal lagi dari tebasan penghabisan Hastea.

Namun, kebanggaan seluruh Akaśa seketika sirna ketika malam itu Gehanna melancarkan serangan luar biasa yang melunturkan mental prajurit-prajurit Akaśa. Smertl, seorang Azrail terhebat yang pernah hidup di Cael, dengan sihir hitamnya berhasil memanggil Pianto, hujan kepedihan, yang efeknya kemudian langsung dirasakan seluruh serdadu Akaśa, tak terkecuali aku dan ksatria-ksatria lainnya.

Kuperintahkan seluruh pasukanku untuk mundur dan bertahan. Namun, beberapa dari mereka yang tertinggal, menjadi korban amukan api-api yang dilontarkan naga-naga Máv̱ros tanpa jeda.

Malam itu, hingga tujuh puluh tiga hari setelahnya, Pianto menjadi mimpi buruk bagi Akaśa.

***

Tak ada yang bisa dilakukan selain membiarkan satu persatu benteng pertahanan Akaśa direbut pasukan-pasukan Gehenna, hingga tak tersisa lagi satu benteng pun selain gerbang Dazca, gerbang terakhir sebelum memasuki ibukota kerajaan dan istana. Sihir-sihir putih pertahanan yang dijampi-jampikan penyihir penyihir-penyihir terbaik Akaśa tak kuasa membendung kedahsyatan Pianto.

Cahaya menunjukkan separuh dirinya di hari ke sembilan ratus sembilan puluh tujuh. Malam itu aku dihampiri seorang gadis misterius dalam mimpiku. Ia memperkenalkan diri sebagai Shireena, peri kedamaian negeri Cael. Ia menyampaikan satu kalimat pendek setelahnya, “damai Cael ada di tanganmu”.

Kalimat tersebut terngiang berulang di pikiranku. Kuceritakan mimpiku kepada Raja, dan penasihat-penasihatnya. Tapi tak satupun dari mereka yang mengerti apa yang dimaksud Shireena dalam mimpiku. Gelap pun kembali menguasai Akaśa.

Namun, esok harinya, demi Akaśa dan orang-orang yang kucintai, kuputuskan untuk menghadang sendirian pasukan Gehenna yang tinggal sekepakan naga saja untuk menyerbu Dazca. Raja dan penasihat menahanku, bagi mereka, opsi terbaik adalah menyerah kalah, agar tak bertambah lagi nyawa yang tersia-sia. Tapi tekadku sudah bulat. Shireena dan kalimatnya lah yang menguatkanku.

***

Di depan Dazca, aku, Aspralga tungganganku, dan Hastea di tanganku bersiap menyambut musuh yang menyerbu. Kulihat naga-naga Máv̱ros dan prajurit-prajurit Gehenna dengan gagah menuju Dazca. Smertl sang Azrail nampak bersemedi khusyuk di atas naga Máv̱ros terbesar.

Sesaat setelahnya lah awal keajaiban bagi Cael. Hastea di genggamanku mengeluarkan cahaya menyilaukan seterang matahari. Dan aku kehilangan sebagian kesadaranku. Hastea dan aku menyatu. Aspralga pun terbang di luar kebiasaannya. Seolah digerakkan oleh sang pemilik semesta, ia membawaku dan Hastea menuju Smertl dan naganya. Kurasakan energi hitam yang sedemikan besar berusaha mendorongku, tapi seolah ada perisai besar tak terlihat yang melindungiku.

Hastea kemudian seperti berbicara padaku, “hunuskan aku tepat di dada Smertl”. Kulakukan apa yang ia perintahkan tanpa kesulitan. Kemudian yang kuingat hanya putih yang tak berkesudahan.

***

Putih perlahan berganti warna-warna. Kesadaran mulai menghampiriku. Aku tersenyum. Kurogoh sesuatu dalam tas besarku. Pensil. Kemudian kutuliskan catatan-catatan kecil pada secarik kertas di atas meja yang tadi sempat kutiduri. Di barisan paling atas, tertulis besar-berar “Akaśa dan Gehenna”. Lalu kugaris bawahi tiga kata tersebut. Dongeng ini harus menang! Kupandangi lagi poster besar warna-warni di dinding seberang mejaku yang mengantarku tidur tadi. Kertas besar itu mengejakan “Lomba Dongeng Mimpi”.

“You may say I’m a dreamer,
But I’m not the only one.
I hope someday you’ll join us.
And the world will be as one.”


[fin]



*) Diinspirasi dari lagu Imagine - John Lennon

Ditulis oleh @__adityan dalam http://deetzy.tumblr.com

No comments:

Post a Comment